Ada kawan saya, kawan kuliah dulu, dia suka piara kucing. Nah, setelah menikah dikaruniai seorang putra. Setelah usia dua tahunan, si putra dikenalkan kepada anak kucing. Ya seperti penjelasan di atas, anak dengan serius mengamati perilaku kucing.
Meski awal-awal, si anak merasa takut, sebab selama ini yang dia tahu dan orangtuanya hanya memberikan benda mati, mobil-mobilan, robot-robotan, bola, dan sebagainya. Jelas membuat sang anak kaget, hah ini apa? kok gerak-gerak sendiri?
Akhirnya setelah beberapa hari, si anak mulai akrab dengan kucingnya. Tiap hari selalu main bersama, meski si kucing yang selalu menderita, dia tetap bahagia menemani majikannya. Cie ileh.
Namun suatu waktu, si kucing tak ada di rumah, sedangkan si anak yang baru saja pulang sekolah anak usia dini, mencari kesana-kemari, tapi tidak menemukan keberadaanya.
Si anak menangis menjerit-jerit, bukan mendayu-dayu. Si ibu langsung mengalihkan perhatian anak ke hal lain, menjanjikan kucing kesayangannya ditemukan secepatnya. Hanya berhasil meredam dua sampai empat menitan saja. Kemudian, nangis lagi. Gitu seterunya.
Sudah tidak mempan meski ditawarkan mainan lainnya. Sebenarnya mempan, tapi kumat lagi, kumat lagi, begitu. Meski kehilangan kucingnya ini sudah satu pekan, masih aja teringat. Kadang si anak tiba-tiba menyusuri pekarangan rumah, sambil bilang, pus pus meong dengan logat senyaman lidahnya, us us eong eong.
Yah, meski sudah diberikan pengertian akan suatu kehilangan, si anak tetap aja mencari dan mencari. Mungkin ini tandanya rasa kasih sayang yang tulus dan sikap setia. Beda jauh dengan si doi, ya si dia, kasih sayangnya gak tulus, sering gonta-ganti pasangan. Ambyar.Â
Gitu aja ya, sedang gak nafsu bikin tulisan. Jika kamu jadi ibu atau bapak si anak, kira-kira mau ngelakuian apa? Beli kucing anyar atau bikin anak lagi? Heheh.
Bayu Samudra