Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi Kita: (Masih) Jika Bisa Dipersulit, Mengapa Dipermudah?

23 November 2021   19:19 Diperbarui: 23 November 2021   19:28 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aparatur sipil negara, tombak wajah pelayanan publik (liputan6.com)

Mengapa kondisi ini mewarnai birokrasi kita?

Lemahnya pengawasan aparatur/birokrat, baik pengawasan internal maupun eksternal. 

Pengawasan salah satu tombak tegaknya birokrasi di Indonesia. Bilamana pengawasan tidak dijalankan secara benar dan tegak maka, akan timbul berbagai macam bentuk pelanggaran/penyelewengan. Seperti halnya pungutan liar yang seakan menjadi tradisi bagi aparatur dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, yang seyogianya masyarakat tidak perlu membayar bentuk pelayanan apapun terkecuali sudah jelas tertera dalam peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia. 

Seperti contoh pada pelayanan permintaan informasi publik, baik berupa salinan atau draft informasi publik pada lembaga pemerintah yang dapat dikenai biaya penyalinan dokumen dan biaya pengiriman (pos). Hal ini memang jelas diatur pada peraturan perundang-undangan tentang pelayanan informasi publik. 

Sedangkan, jika pelayanan pembuatan e-ktp atau surat-surat kependudukan lainnya dibebankan biaya yang melampaui batas kewajaran atau yang seharusnya tidak ada beban biaya pelayanan adalah bentuk dari pungutan liar yang ada dalam sistem birokrasi Indonesia.

Ketidaktahuan masyarakat dalam beban biaya pada pelayanan publik ini dijadikan ladang bonus rezeki bagi aparatur nakal dan beringas di Indonesia. Mematok beban biaya tinggi, nyatanya pelayanan tetap saja rumit dan selalu meminta uang/biaya tambahan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat berpendapat bahwa pelayanan jika dapat dipersulit mengapa dipermudah.

Jika membayar biaya yang lebih tinggi malah pelayanan semakin molor. Itulah sebab masyarakat enggan terlibat dalam urusan pemerintahan/birokrasi. Pasalnya selalu tentang uang, uang, dan uang namun kerja nol besar.

Jadi, lemahnya pengawasan internal (dalam diri organisasi/lembaga) dan pengawasan eksternal (masyarakat dan lembaga lainnya menurut hirearki kekuasaan—BPK atau Badan Pengawas Daerah) dan ketidaktahuan masyarakat tentang kejelasan biaya yang dikeluarkan dalam layanan publik adalah penyebab birokrasi kita—birokrasi di Indonesia—mendapatkan citra buruk dari masyarakat (berbelit-belit, lama, biaya tinggi, dan pelayanan tidak ramah) yang menimbulkan istilah sinisme kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah.

Mengapa pungutan liar (pungli) menjadi ciri pelayanan umum oleh birokrasi kita?

Ketidaktahuan masyarakat pada tata urutan/prosedur, beban biaya, dan proses pelayanan umum itulah yang menjadi santapan empuk para pihak/mafia pungutan liar. Mengingat biaya tinggi terhadap jenis pelayanan tertentu dengan janji pelayanan dilaksanakan dalam waktu singkat tetapi, nyatanya melenceng sangat jauh, pelayanan tak kunjung selesai, uang sudah keluar banyak dari kantong masyarakat.

Aparatur memberikan solusi pelayanan yang cepat, singkat dengan tambahan beban biaya pada calon korban pungutan liar (masyarakat). Ketidaktahuan masyarakat itulah menyebabkan masyarakat menyetujui jalan pintas yang nyatanya, menjerumuskan dirinya sendiri. Janji pelayanan diselesaikan dalam waktu singkat tapi, tak kunjung usai. Masyarakat pun kecewa dan malas berhubungan dengan birokrasi/pemerintahan. Hal inilah yang menjadikan ciri khas birokrasi pelayanan publik di Indonesia.

Terkadang ada saja cara licik para birokrat/aparatur dalam melakukan pungutan liar, baik dengan membuat peraturan perundang-undangan bodong/ilegal tentang beban biaya pelayanan bahkan adanya ancaman bagi masyarakat yang enggan membayar biaya pelayanan, seperti dihiraukan pelayanannya, diancam lama proses pelayanannya, dan sebagainya. 

Itulah dampak dari pengawasan internal dan eksternal yang kurang bekerja keras dalam penanganan pelayanan umum/publik yang bersih unsur pungli. Jika hal itu (peraturan perundang-undangan bodong) dalam beban biaya pelayanan publik maka, ada permainan panas antara aparatur dengan lembaga lainnya, baik eksekutif maupun kepolisian. Ini hanya prasangka saya, misalkan benar-benar ada itu artinya birokrasi Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Apakah hal itu terjadi karena gaji pegawai di birokrasi kita rendah?

Masalah gaji pegawai birokrasi mungkin menjadi salah satu penyebab/motivasi bagi pegawai untuk melakukan tindakan pungli. Itung-itung uang jajan harian. Jika kita menelaah tentang perolehan gaji birokrat/pegawai negara, baik dari golongan I hingga golongan IV maka ada kemungkinan besar menjadi latar belakang pungli dilakukan. Hal ini mengingat bahwa beban kerja birokrat/pegawai/aparatur terkadang tidak sesuai dengan jumlah gaji yang diterima. 

Misalnya, staf administrasi/tata usaha di gaji satu bulan sebesar 2,5 juta rupiah dan seorang satpam digaji dengan besaran senilai 3 juta rupiah. Memang, adil itu tidak harus sama rata. Namun, apakah mungkin seorang staff administrasi dengan tugas yang cukup banyak dibanding tugas satpam malah digaji lebih kecil dari satpam. Dengan latar belakang inilah, pungli dilakukan oleh beberapa birokrat/pegawai/aparatur dalam birokrasi di Indonesia.

Jika memang benar masalah gaji menjadi faktor pendorong terjadinya pungutan liar (pungli). Lantas, apakah pantas seorang eselon I atau pegawai tingkat IV maupun staf di wilayah provinsi melakukan pungli? Apakah memang gaji yang diterima dirasa kurang mencukupi kebutuhan hidup? Ini hanya akal-akalan mereka. Jika hidup dengan mengikuti kebutuhan hidup maka gaji itu cukup, namun jika mengikuti gaya hidup maka gaji itu tak akan cukup bagi birokrat/pegawai/aparatur tersebut dalam memenuhi gaya hidup.

Misalnya, pemerintah pusat mengeluarkan undang-undang tentang kenaikan gaji aparatur, baik di tingkat paling bawah hingga paling atas setinggi 80—100%. Apakah menjamin pungutan liar hilang dalam sistem birokrasi kita? Jika tidak, alasan utama para birokrat/pegawai/aparatur birokrasi melakukan pungli adalah masalah internal pribadi dalam diri orang itu sendiri. Yang ada, malah kantong APBN jebol akibat belanja pegawai yang kian hari kian membengkak, tapi aksi dan penunaian kewajiban malah diabaikan atau sengaja dikerjakan asal-asalan.

Dia mengejar kekayaan berlimpah namun dengan cara tidak benar sehingga, merugikan masyarakat dan mencemari citra birokrasi yang sejatinya bersih, suci, dan tulus. Jika iya, masalah gaji menjadi latar belakang perilaku pungli. Lantas, mengapa masih ada pungli dalam tatanan birokrasi pelayanan umum di negeri ini? Mengingat kenaikan gaji ASN/birokrat/pegawai/aparatur telah diteken oleh Presiden Republik Indonesia beberapa tahun lalu.

Apakah kenaikan gaji dan atau remunerasi akan membantu meminimalisasi perilaku birokrasi kita di atas?

Kenaikan gaji/renumerasi tidak menjamin 100% pungutan liar pungli hilang dan lenyap pada birokrasi Indonesia. Semua tergantung pada hati dan pikiran sang birokrat/pegawai/aparatur itu sendiri. Berlaku jujur atau curang. Para birokrat/pegawai/aparatur birokrasi tidak menjamin, jika kenaikan gaji dapat meminimalisir terjadinya pungli. Jika dalam hati/mental mereka masih ingin mengejar kekayaan dan mengikuti gaya hidup dengan mengesampingkan tugas dan kewajiban yang telah diemban guna melayani masyarakat.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang intensif terhadap semua birokrat dengan tetap memperhatikan kesejahteraan birokrat. Hal tersebut telah diupayakan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan membentuk badan saber pungli. Masyarakat dapat secara langsung melaporkan pungutan liar/pungli yang ditemui dalam birokrasi pelayanan umum di Indonesia kapanpun, dimanapun dalam kondisi apapun.

Faktanya, pungutan liar mulai menjauh dalam birokrasi Indonesia. Niscaya pengawasan internal dan eksternal (badan saber pungli) dapat meminimalisir dan menghilangkan perilaku pungli dalam birokrasi Indonesia. Harapannya, pungli dapat benar-benar musnah dalam kehidupan. Meski tidak menutup kemungkinan, pungli berkamuflase dengan istilah yang berbeda tapi sama makna, memalak masyarakat.

Apakah kamu pernah menjadi korban pungli?

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun