Tak berhenti di situ, kemampuan menggarap sawah atau ladang juga menjadi faktor keberhasilan bertani. Ini berkaitan dengan soft skill dan hard skill. Memprediksikan kebutuhan pangan ke depan yang paling dicari masyarakat, mengatur pola pertanian terhadap cuaca yang terjadi, bahkan perencanaan pertanian yang efisien, hingga ketekunan, ketelitian, kesabaran, dan kerja keras wajib dimiliki oleh seorang petani dalam menggarap lahan pertaniannya.
Melihat tiga poin tersebut, akankah mega konsep pertanian modern (penggunaan teknologi dan pengelolaan hasil pertanian) memberikan dampak yang besar bagi kesejahteraan petani bahkan masyarakat sekitar, baik dari segi ekonomis dan sosial?
Mayoritas petani berasal dari strata ekonomi kecil dan menengah, luas lahan garapan di bawah 2 hektar dengan rata-rata tanah garapan hanya 0.4 hektar saja. Ini melihat data petani yang masuk ke dalam poktan (kelompok tani), sebab syaratnya adalah luas tanah garapan sama dengan atau di bawah dua hektar.
Lahan di atas 1 hektar, masih mungkin menggunakan teknologi pertanian, sebab selain harga sewa mesin (masih terbatas dan mahalnya mesin pertanian dan hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat, di Lumajang dapat dihitung jari siapa saja pemilik mesin teknologi pertanian seperti, penanam padi dan jagung, pemanen padi dan jagung) yang lebih ringan ketimbang menggunakan tenaga manusia, waktu yang diperlukan menyelesaikan proses tanam atau panen lebih singkat dan hasil panen pun lebih banyak (ndak kalong mergo mboten diparingaken tiyang-tiyang sedoyo) daripada panen dengan sistem tradisional.
Akan tetapi, bilamana lahan kita sedikit dan memaksakan diri menggunakan mesin pertanian (biar dianggap tidak ketinggalan zaman), rugilah kita. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima setelah panen. Rugi bandar. Jadi, teknologi pertanian tepat guna digunakan oleh petani kasta atas atau yang berkecukupan, baik lahan yang luas dan modal yang besar.
Penggunaan teknologi pertanian, mesin penanam dan pemanen padi dan jagung, sebab yang sudah ada di sekitar saya ya dua mesin itu saja, sebab kedua kegiatan pertanian tersebut padat karya (banyak orang yang terlibat). Tapi semenjak menggunakan teknologi pertanian tersebut, mereka orang yang menggantungkan hidup di sektor pertanian (buruh tani) selain penggarap lahan pertanian, terpinggirkan dengan amat jauh. Semacam terjadi pemangkasan birokrasi. Lebih efektif, efisien, dan memberikan keuntungan lebih besar kepada petani. Sehingga, lambat laun tercipta kesejahteraan petani yang lebih baik.Â
Kembali lagi kepada pertanyaan di atas! Untuk saat ini (2021) masyarakat Indonesia yang bertahan hidup di sektor pertanian masih sangat banyak ketimbang pelaku sektor pertanian itu sendiri. Dengan berat hati, belum mampu mengubah tata kelola pertanian tradisional menjadi modern secara langsung dan bersamaan, masih jauh dari kata kesejahteraan petani. Bilamana dipaksakan akan menciptakan permasalahan akut seperti, pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan yang lebih parah.Â
Jadi, apa tindakan kamu sebagai petani milenial saat ini?
Bayu Samudra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H