Dua pekan saya tidak aktif di Kompasiana. Tidak kirim tulisan dan tidak hadir di berbagai stand tulisan para Kompasianer. Hal ini bukan semata-mata mengabaikan kerja keras Kompasianer dalam menciptakan dan mengunggah tulisan, terutama berbagi tips yang sangat berguna bagi kehidupan kita. Melainkan ada sebuah aktivitas yang sangat tidak bisa ditinggalkan (waktu luang yang terbatas).
Tulisan saya pada akhir Juli, sempat diganjar artikel utama pada dua pekan berturut-turut. Dan pada 16 Agustus 2021, saya unggah tulisan pertama di bulan Agustus sebagai titik awal menabung kembali.Â
Selama 15 hari, tidak satupun notifikasi saya jalin interaksi. Seakan akun Kompasiana saya kehilangan tanda-tanda kehidupan, mati seketika. Hingga hari ini (20/08/2021) belum ada notifikasi komentar pada tiap tulisan di bulan Agustus yang saya balas.Â
Bukan bermaksud mengabaikan, tapi belum menemukan waktu yang tepat dalam membalas satu per satu jejak para Kompasianer dalam tulisan saya. Harap dimaklumi ya, kawan sekalian.
Baiklah kita kembali ke judul saja. Mengapa harus menulis di Kompasiana?
Pertama, menulis di Kompasiana berbeda dengan menulis di platform lainnya yang sejenis.
Saya kenal Kompasiana pada Juli 2018, pas bertepatan dengan acara menjelang IMF di Bali. Sebelumnya, saya sudah sering menulis di platform Blogger milik Google. Namun sensasi yang saya dapatkan, ketika menulis di Blogger gak senyaman seperti saya menulis di Kompasiana.
Ini bukan masalah fitur yang ditawarkan oleh kedua platform. Melainkan masalah perasaan. Memang sulit menjelaskan sebuah perasaan, sebab tiap orang bakal menilai perasaan dari berbagai sudut pandang. Jadi, hasilnya pun beragam.
Menulis di Kompasiana, seakan kita memiliki kehidupan baru. Sebuah kehidupan komunitas yang senantiasa ada orang baru yang memberikan warna. Terlebih lagi, Kompasiana ini diibaratkan sebagai rumah kita bersama.Â
Lain halnya ketika saya menulis di platform lain, tidak ada tanda kehidupan (interaksi). Jadi, ketika saya mengunggah tulisan ya hanya sekadar unggah saja. Gak ada aktivitas lainnya, misal ada orang lain yang berkomentar untuk sekadar menambahkan informasi ataupun menyapa sesama narablog.
Kehidupan itulah yang tidak saya temukan pada platform menulis di dunia digital saat itu. Hingga saya bisa berkenalan pemilik Kompasiana dan betah berlama-lama tinggal di dalam rumah kita bersama.
Ketika saya tidak aktif berkompasina misalnya, seperti yang telah berlangsung beberapa hari terdahulu, saya punya hutang. Ada sebuah kewajiban tak tertulis dalam syarat dan ketentuan Kompasiana yang belum saya penuhi, yakni berkunjung ke beberapa stand para Kompasianer.
Entah hanya sekadar memberi vote sebagai bentuk presensi, bahkan mengirimkan satu dua kalimat pada kolom komentar. Inilah yang menjadikan tulisan para Kompasianer bernyawa. Ada kecanduan untuk senantiasa menulis di Kompasiana.
Kedua, berburu K-Reward.
Salah satu yang menjadi penyemangat setiap Kompasianer untuk tetap menulis ialah K-Reward. Ya itung-itung untuk ganti biaya kuota internet. Kalau ada lebihnya ya buat nambah uang jajan.
Benefit inilah yang jarang saya temui pada platform menulis di dunia digital. Tapi tak menutup kemungkinan ada platform yang memberikan hal serupa bagi para kreatornya.Â
Namun bila saya amati, kebetulan saya juga pernah nulis di platform lain dan saat ini sudah tidak aktif, sebab persyaratan untuk mendapatkan reward tuh agak rumit, soalnya platformnya bergerak di bidang cerpen dan novel. Jadi saya harus memproduksi cerita, sedangkan saya gak mahir buat cerita. Nyeritain aib tetangga yang udah valid aja saya gak bisa, apalagi bikin cerita fiksi.Â
Ketiga, menciptakan rasa kekeluargaan.
Rumah kita bersama ini penuh akan rasa kekeluargaan. Hal ini berkaitan dengan sikap para Kompasianer yang senantiasa berinteraksi dengan sesama Kompasianer. Keramah-tamahan mereka tergambar nyata dalam setiap kalimat pada kolom komentar.Â
Tak hanya itu, sesama Kompasianer juga saling menguatkan bilamana ada Kompasianer yang mengalami musibah. Berbagai macam doa kebaikan tercurah setiap waktu. Sungguh nuansa yang tidak dapat ditemukan pada platform menulis manapun.Â
Jadi, itulah alasan mengapa saya betah ngontrak di Kompasiana. Jangan ada lagi drama tidak sedap di rumah kita bersama ini.
Bayu Samudra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H