Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kritikan BEM UI, Tindakan Jokowi, dan Kecintaan Rakyat pada Presiden

29 Juni 2021   20:00 Diperbarui: 29 Juni 2021   21:08 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase dari tiga foto/dokpri (logo BEM UI dari bem.ui.ac.id , foto Jokowi dari nasional.kompas.com , dan foto rakyat dari net.com)

Pada 27 Juni 2021, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyampaikan kritikan kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo, dengan sangat kreatif perihal kegemaran Jokowi yang berbeda ucapan dan tindakan dalam menyelesaikan permasalahan kepemerintahan, sehingga menyematkan label the king of lip service kepada sang Presiden.

Tidak ada yang salah dalam konteks kritik keroyokan BEM UI tersebut. Presiden memang menginginkan sebuah kritik pedas dan keras agar pemerintah dapat bertindak lebih nyata menyelesaikan persoalan masyarakat Indonesia. Hal itu disampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI 2020, pada 8 Februari 2021, kemarin.

Terlepas dari ajakan presiden untuk menyampaikan segala kritik dan masukan kepada pemerintah. Perlu kita ketahui bersama bahwa, kritik hanyalah keluhan bukan kebencian. Jadi, kita sebagai rakyat harus rajin-rajin mengeluh kepada para penguasa agar mereka mendengar permasalahan yang terjadi dalam masyarakat dan mencarikan solusi terbaik agar masyarakat hidup sejahtera. 

Wujud daripada keluhan itulah yang amat beragam, sehingga kadang menyinggung, menyakiti, dan melanggar hati penguasa (pemerintah) maupun hukum. Maka dari itu, ketika menyampaikan kritik harus menggunakan tutur kata yang lemah lembut. Selain nyaman dipandang, elok didengar.

Akan tetapi, kita gak terbiasa menyampaikan sebuah kritik dengan tutur kata yang santun. Toh, berbagai macam riset internasional mendudukkan Indonesia pada posisi netizen yang tidak sopan, agresif, dan sak karepe dewe. Seperti riset yang dikemukakan oleh Microsoft beberapa waktu lalu. 

Cara kita mengkritik itu blak-blakan, sehingga rasanya itu pedas bahkan terbakar. Ini sudah terbiasa. Malah hampir menyamai level kepedasan cocote tonggo.

Langkah yang diambil oleh BEM UI patut diapresiasi. Sebuah kebulatan dan tekad besar yang disertai dengan data faktual, membangunkan sang raja dari tahta kepemerintahan yang tengah terlelap tidur dalam kekeliruan yang terus ditutupi dengan janji manis. 

Mungkin sebagian orang menilai usaha kritik dari BEM UI kurang tepat. Bukan tidak tepat sasarannya, melainkan kurang mendasar substansinya. Kalau saya pribadi, itu kritik yang cukup pedas dan keras sih. Toh, BEM UI menyertakan berbagai macam landasan dasar dari kalimat kritik yang dilontarkan kepada Presiden Joko Widodo.

Akan tetapi...

Presiden Joko Widodo, Kritikan BEM UI, Tindakan Jokowi, dan Kecintaan Rakyat pada Presiden (foto dari nasional.kompas.com)
Presiden Joko Widodo, Kritikan BEM UI, Tindakan Jokowi, dan Kecintaan Rakyat pada Presiden (foto dari nasional.kompas.com)
Saya menyayangkan langkah BEM UI yang hanya mengkritisi kebijakan pemerintah, tindakan yang diambil kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia, tanpa mengapresiasi langkah nyata yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi selama kurun waktu hampir tujuh tahun ini.

Sangat tidak adil rasanya, bila kita hanya menampilkan sisi negatif dari kebijakan pemerintah tanpa menyisipkan satu dua nilai positifnya. Sebab kita ini hidup di dunia, ada siang ada malam, ada aku ada kamu, ada positif ada negatif. Maka harus berimbang. 

Jangan hanya menampilkan keburukan dari orang lain, pemimpin negara, kepada rakyat. Hal itu membuat kita seakan mengarahkan dan menanamkan benih kebencian kepada masyarakat terhadap sang tokoh penguasa, bahwa dia yang tengah memimpin tidak layak menjadi pemimpin karena sisi negatif sangat banyak melekat kepada dirinya.

Maka dari itu, sajikan pula sisi positif dari sosok pemimpin yang sedang berkuasa. Sebab ini merupakan sebuah bukti bahwa kita telah berlaku adil dan sebagai remember dari perjuangan dan perjalanan hidup sang pemimpin selama bertahta.

Ketika BEM UI hanya fokus kepada inkonsistensi Presiden Jokowi, tanpa mau mengakui (dengan menyebutkan) hasil capaian kinerja pemerintahan Jokowi. Ini sama halnya, BEM UI menggiring rakyat untuk tidak mencintai Presiden Indonesia dan melupakan berbagai macam prestasi kerja sang presiden.

Oleh karena itu, kritikan BEM UI pasti menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Pro dari sisi kebenaran yang disampaikan oleh BEM UI, kontra dari sisi kebenaran yang tidak disampaikan oleh BEM UI. Semua macam kritik, tentu mendapat dua penilaian besar, baik pro (setuju) maupun kontra (tidak setuju). Sebab memiliki sudut pandang yang berbeda.

Bukan bermaksud menggurui BEM UI dan netizen yang maha benar, menyampaikan kritik itu ada polanya, ada aturannya. Kalau saya ya, sanjung dulu kemudian jatuhkan. Jadi pas, ada sisi positif dan negatif. Tarik keterkaitan antara sisi positif dan negatif yang diutarakan, sehingga menghasilkan sebuah kritik yang mengagumkan, diterima banyak orang, dan membekas dalam ingatan masyarakat. Kemudian kemas hasil penarikan hubungan itu dengan tutur kata dan bahasa yang lemah lembut agar tak menyakiti orang lain.

Tak hanya itu...

Semakin kuat badai menghempas Jokowi, rakyat semakin cinta kepada Presiden Joko Widodo.

Rakyat Indonesia, Kritikan BEM UI, Tindakan Jokowi, dan Kecintaan Rakyat pada Presiden (foto dari net.com)
Rakyat Indonesia, Kritikan BEM UI, Tindakan Jokowi, dan Kecintaan Rakyat pada Presiden (foto dari net.com)

Rakyat di Indonesia itu terbagi menjadi dua kategori besar, rakyat perkotaan dengan aksi-aksi heroik dan rakyat pedesaan dengan aksi diam menghanyutkan.

Karena saya salah satu masyarakat pedesaan, maka saya berpandangan dengan kacamata pedesaan, tetapi sesekali saya lepas agar bisa melihat dengan microskop perkotaan. 

Rakyat pedesaan tidak terlalu mengikuti konflik internal pemerintahan, entah pemerintah pusat maupun daerah. Sebab ruwet bila mengurusi hal itu. Belum tentu juga dapat uang atau tunjangan tiap bulan. Toh gak bisa membuat hidup mereka yang awalnya miskin hina menjadi kaya raya. Mustahil itu. Pesimis ya?

Rakyat pedesaan gak butuh bacotan para kaum cendekiawan di puncak kepemimpinan, mereka hanya butuh kepastian; kepastian penerimaan nutrisi atau unsur hara pada pupuk subsidi dan non subsidi bagi petani itu sama; kepastian pemerataan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan; kepastian akses yang sama terhadap internet; kepastian layanan publik yang singkat, cepat, dan tepat; kepastian pembangunan infrastruktur yang meningkatkan taraf ekonomi; kepastian tidak ada diskriminasi terhadap masyarakat pedesaan; hingga kepastian keadilan dan hukum yang sama dalam perundang-undangan.

Secara langsung, Pemerintahan Jokowi telah mewujudkan harapan atau cita-cita mulia bangsa Indonesia.

Melalui program PKH, KKS, KIS, dan KIP membantu jutaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan keluar dari kesengsaraan. Akses kesehatan menjadi sangat dekat, meski prosedurnya amburadul. Akses pendidikan bagi masyarakat semakin terbuka lebar ke jenjang pendidikan tinggi. Akses kesejahteraan sosial diwujudkan dengan program pembiayaan usaha skala mikro.

Dengan program sertifikasi tanah Indonesia, masyarakat pedesaan dapat mengukuhkan dan memperjelas secara hukum akan kepemilikan hak atas tanah yang mereka tempati bertahun-tahun. Selain itu, pembangunan infrastruktur (jembatan, bendungan, waduk, jalan tol, bandara, hingga jaringan internet) sangat memberdayakan masyarakat sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Wujud nyata itulah yang dilihat oleh masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Dengan banyaknya kemudahan tersebut, masyarakat semakin percaya bahwa Jokowi adalah presiden yang benar-benar pemimpin, mendengar keluhan masyarakat.

Masyarakat gak mau tahu, bukan berarti mau tempe ya, panjangnya proses pengambilan keputusan dari tangan sang presiden. Mereka hanya akan melihat seberapa besar presiden mengabulkan doa-doa mereka. 

Saya sampai gak bisa berkata-kata lagi, betapa indahnya kebijakan pemerintahan Jokowi yang memprioritaskan kepentingan masyarakat Indonesia. Terlepas dari gelut dahsyat sang presiden dengan lembaga pemerintah yang ada.

Ingat, presiden bukanlah Tuhan. Suara rakyat juga bukan suara Tuhan. Sehingga, sang presiden kadang mengambil sebuah keputusan yang bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat, tapi sering pula direvisi. Suara rakyat bukan suara Tuhan, sebab rakyat kadang diperintah berkata A oleh orang-orang yang berkepentingan dalam tahta kekuasaan.

Jadi, kritikan BEM UI hanyalah sebuah keluhan atas ketidaksesuaian perkataan dan perbuatan Presiden Jokowi, bukan suatu ujaran kebencian. Bukankah begitu?

Bayu Samudra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun