Beberapa waktu lalu, BKKBN dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan pendataan ke rumah-rumah penduduk. Perihal pendataan keluarga dan survei SDGs desa. Terus apa kaitannya dengan judul di atas?
Dalam pendataan keluarga yang digelar oleh BKKBN. Ada berbagai macam pertanyaan mengenai kesejahteraan keluarga. Tapi saya gak akan bahas hal itu. Sedangkan, survei SDGs desa lebih mengarah pada kesejahteraan desa, meski indikator penilaiannya kebanyakan mengenai unit rumah tangga atau keluarga.
Lantas apa yang mendasari saya menulis artikel ini? Jika tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan?
Pada borang pengisian pendataan tersebut, baik pendataan keluarga dan survei SDGs desa, sama-sama membutuhkan suatu jenis dokumen kependudukan. Dokumen apakah itu?
Ada KTP, kartu keluarga, KIA, kartu BJPS Kesehatan, kartu BPJS Ketenagakerjaan, sertifikat tanah, dan beberapa dokumen lainnya. Kenapa harus mereka? Sebab dokumen pokok bagi seorang penduduk.Â
Pendata tidak dapat mendata seorang penduduk bila tidak memiliki dokumen kependudukan. Sebab membutuhkan nomor identitas kependudukan, yang NIK ini tertera di kartu keluarga bahkan KTP.Â
Tenyata, banyak masyarakat pedesaan yang tidak memiliki dokumen kependudukan. Parahnya lagi, KK pun tak punya. Bagaimana bisa menikmati layanan publik, bila kartu identitas saja tidak ada?
Sebab, sebelum seorang warga negara Indonesia memenuhi syarat kepemilikan dokumen kependudukan, maka diwajibkan memiliki kartu keluarga, sebagai identitas tunggal. Selebihnya, bila sudah memenuhi usia minimal maka bisa menggunakan kartu identitas lain sebagian pengenal diri.
Dari rumah ke rumah, masalah kepemilikan dokumen kependudukan pun beragam. Ada yang tidak punya KK, tapi punya KTP. Ada yang punya KK tapi tidak punya KTP, padahal sudah memenuhi syarat pembuatan identitas diri. Ada yang tidak punya sertifikat tanah, tapi sudah ditempati berpuluh-puluh tahun.