Tak cuma itu. Saya pun terjun bebas ke dalam lautan si Y. Tumpah ruah bersama para kreator konten video. Hidup semakin berwarna dan berpelangi.Â
Video yang kita unggah dapat like, coment, dan diri kita di subscribe senangnya gak ketulungan. Tombol-tombol itu sakral. Jadi pengen selalu didapat dari para penonton.
Hingga pada akhirnya....
Saya merasa sangat tertekan dengan aktivitas media sosial. Saya harus bersikap sesuai apa yang mereka (followers) inginkan. Saya kehabisan jam santai bersama keluarga, sebab selalu natap layar. Saya pun mengalami kegagalan berpikir, konsentrasi mudah buyar.
Selain itu, saya sering dicaci apabila konten yang saya suguhkan tak memikat hati followers. Saya kehabisan ide, sehingga gak ada satu pun unggahan pada laman akun medsos saya.Â
Saya harus membalas (melayani) pertanyaan-pertanyaan yang dikirim followers di akun medsos, baik kolom komentar hingga dm. Kalau gak dibalas, saya takut mereka hilang. Kalau dibalas, saya kewalahan.
Intinya saya hidup seperti ditekan oleh aktivitas para followers. Padahal saya punya kehidupan sendiri yang jauh lebih nyata dan nikmat. Kenapa saya harus menjalani dua kehidupan yang berbeda? Dunia nyata dan dunia digital.
Memang benar, dunia digital menjadi ladang penghasilan. Bahkan jadi penghasilan utama. Tapi apakah iya, saya harus berada dalam titah para followers?
Selama saya bermain media sosial, saya dihantui dengan perasaan untuk selalu terlihat sempurna. Setiap konten yang akan diunggah, harus dibuat sebagus dan sebaik mungkin agar dapat mendulang like, coment, dan share yang besar serta followers yang banyak.
Jadi kayak suatu keharusan, saya menampilkan diri dan kehidupan saya tergambar perfect di mata para followers. Yang hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan nyata saya.