Bagaimana bila hanya mengandalkan pada usaha saja?
Misal kita mengikuti undian kupon berhadiah. Dari 100 ribu kupon undian yang disebar, kita memburu sebanyak 60% dari semua kupon. Mayoritas kupon undian adalah milik kita. Secara matematis, kita memiliki kesempatan dan peluang besar mendapatkan hadiah dari undian kupon berhadiah.
Setelah memasuki waktu pengundian, tak satupun seri nomor kupon hasil pengundian merupakan milik kita. Melainkan kebanyakan milik orang lain. Mengapa demikian? Kita tidak beruntung. Jangan berprasangka panitia penyelenggara undian tidak adil, sebab undian tersebut bukan suatu keadilan, melainkan keberuntungan.
Kembali pada kasus saya sendiri. Saya termasuk Kompasianer baru, walaupun sudah terdaftar sejak 2018. Hasil artikel saya masih sedikit, hanya 144 artikel. Padahal Kompasianer lain sudah tembus 500-an artikel. Mengapa saya dapat centang biru dan mereka tidak? Sebab saya beruntung.
Dengan demikian, sebesar apapun usaha yang kamu keluarkan untuk mencapai tujuan atau target hidupmu belum tentu menjamin keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut.
Saya berusaha keras untuk dapat lolos SNMPTN, lolos seleksi sekolah kedinasan dengan belajar lebih giat, mengikuti les khusus, hingga mengeluarkan biaya yang tergolong lumayan, tapi hasil semua tes menyatakan saya gagal. Padahal sudah berusaha semaksimal mungkin. Lah, dari kejadian ini saya mulai ragu bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Buktinya saya dikhianati oleh usaha saya sendiri.
Bagaimana bila hanya mengandalkan pada keberuntungan saja?
Itulah mengapa kita harus percaya terhadap adanya Tuhan. Keberuntungan diberikan oleh Tuhan pada semua manusia, bahkan semua makhluk ciptaanNya. Akan tetapi bukan dilakukan oleh tangan Tuhan sendiri, melainkan diperantarai oleh sesama makhluk ciptaanNya.
Jika kita hanya mengandalkan keberuntungan tanpa melakukan sesuatu hal atau mengeluarkan usaha apapun, maka keberhasilan tidak pernah tercapai dan hanya jadi mimpi manis.Â