Menikah itu perlu kesiapan mental. Bukan hanya siap tempur saat malam pertama. Soal itu bisa belakangan. Yang paling penting, kesiapan mental dulu. Bukan perkara siap menerima pasangan apa adanya, tapi kesiapan menghadapi gempuran peluru fitnah yang ditembakkan di masa-masa kritis.
Pernah tidak merasakan hal yang paling sedih, paling hancur, dan paling menyesal atas pilihan yang telah dipilih saat ini? Yang hal tersebut menimpa diri kita sebelum pelaksanaan akad nikah. Pikiran kita jelas tak karuan, melayang-layang entah kemana, memikirkan hal yang seharusnya tak pernah dipikirkan.Â
Hari yang ditunggu-tunggu, diidam-idamkan, dinanti-nanti, dan dipuja-puja hancur sebelum dilalui. Runtuh ambruk tak bersisa. Rata dengan tanah. Hati dan pikiran kita benar-benar jatuh sekoyong-koyongnya dari ketinggian setinggi-tingginya. Setinggi mata memandang.Â
Bagaimana tidak? Diri kita yang sudah menyiapkan seluruh rangkaian acara pernikahan, mulai dari persiapan akad nikah, kesiapan catering (wedding organizer), hingga hal-hal yang tak penting sekali pun sudah disiagakan guna pelaksanaan resepsi pernikahan.Â
Kegagalan adalah suatu kondisi yang membuat diri kita hancur sehancur-hancurnya dan bodoh sebodoh-bodohnya. Salah mengambil tindakan adalah konsekuensi tepat ketika kegagalan menimpa.
Tiba-tiba datang sebuah kabar dan bukti keburukan pasangan kita, bukti dia sudah menikah, bukti dia sudah berkeluarga, bukti dia sudah punya anak, bukti dia selingkuh, bukti dia sudah tidak perjaka atau perawan lagi, bukti dia sudah pernah hamil, dan bukti dia anak orang tak baik (germo).
Kabar itu jelas menghancurkan dan memporak-porandakan impian kita menikah dengannya. Kabar itu pun menjegal proses pernikahan. Yang tadinya bakal diselenggarakan lusa, tetiba batal tanpa konfirmasi.Â
Hal ini akan membuat kedua calon mempelai menjadi saling curiga, saling tak percaya, dan saling menyesali tindakannya. Seakan-akan diri kita sudah mencoreng wajah ibu bapak kita. Melaburnya dengan tai kucing. Mempermalukan keluarga hingga se-kecamatan.
Maka dari itu, untuk dapat menghindari konflik di masa kritis, kita harus memiliki kesiapan mental, ketegaran mental, ketangguhan mental, dan kejernihan hati dan pikiran.
Entah dari sumber yang mana, mereka pandai mengolah data dan fakta yang sangat minim untuk dikukus dan digoreng guna menghasilkan santapan panas menyinyirkan.
Kencangnya angin itu menerpa menjelang akad nikah, membuat kepercayaan diri runtuh seketika. Kita pun dibius agar tak mampu mengingat masa-masa indah bersamanya. Seakan tak ada lagi kenangan manis di benak kita. Semua gelap gulita.
Artikel ini ditulis berdasarkan kisah nyata, yang baru saja terjadi beberapa hari kemarin. Kejadian itu menimpa teman SMP saya. Saya kebetulan tau dan pernah satu kegiatan dengan calon suaminya. Dan saya sangat menyayangkan adanya fitnah tersebut.
Teman saya itu pacaran udah sembilan tahun, bukan waktu yang singkat untuk membina hubungan layaknya suami istri. Banyak lika-likunya. Hanya saja gak melakukan hal anu yang bikin nganu itu saja. Saya akui, calon suaminya kuat iman dan teman saya pun tahan terhadap godaan.Â
Saya sebagai teman hanya bilang, yang menjalani hidup itu kamu, yang tau baik buruknya pasanganmu ya kamu sendiri, jadi kalau hubunganmu baik tentu baik, jangan dengarkan omongannya tetangga, udah yakin sama diri sendiri. Tetangga emang suka gitu, ngerasani dan menebar fitnah. Jika kamu berantakan dengan dia, kamu bakal dirasani juga. Hidup mereka itu penuh rasan-rasan.Â
Intinya, sebesar apapun badai yang bakal menerpa diri kita, hadapi dengan kesiapan mental dan kejernihan hati dan pikiran. Gitu aja. Gak ruwet. Hidup dibuat simple aja.
Bayu Samudra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI