Secara mendasar wanita ditempatkan pada posisi terendah dalam strata sosial. Paling bawah. Lebih rendah dibanding pria. Seakan wanita tak mendapat tempat yang layak, tak memiliki kuasa, tidak boleh berkuasa.
Wanita dipandang lemah, mungkin karena memiliki sifat yang lemah lembut atau sikap keibuan. Secara morfologi wanita lebih indah, anggun, dan menawan. Ini kodrati. Pria dipandang tangguh, mungkin karena memiliki sifat yang kuat dan berani. Tak kalah beda, pria dikenal gagah, sangar, dan kekar. Ini kodrati. Menjadi wanita atau menjadi pria itu sudah kodrat. Artinya pemberian dari Tuhan semesta alam.
Perbedaan ciri khas tersebut bukanlah patokan memeringkat siapa yang berkuasa, siapa yang pantas di atas. Faktanya, kodrat seorang wanita ditempatkan di bawah kodrat seorang pria. Wanita selalu nomor dua dan pria selalu nomor satu.
Namun perihal asmara, wanita selalu benar dan pria selalu salah. Mungkin peringkat tersebut adalah peringkat tandingan atas posisi wanita yang selalu berada di belakang pria.Â
Oleh karena itu, wanita sering mendapat perilaku diskriminatif di mana pun berada. Entah di negerinya, masyarakatnya, dan rumahnya sendiri. Maka dari itu, muncullah aksi unjuk rasa yang menuntut kesetaraan gender, perilaku yang sama terhadap wanita, tidak mendiskriminasi, dan tidak merendahkan wanita. Intinya wanita ingin bebas dan merdeka. Bebas dari anggapan lemah dan menggantungkan. Merdeka dari segala hukum aturan yang menomorduakan wanita.
Upaya para wanita yang mencari keadilan, kesetaraan gender, perlakuan sama terhadap wanita yang telah dilakukan sejak dahulu tak sia-sia, sebab sangat membuahkan hasil. Kini, wanita memiliki kebebasan dan kemerdekaan. Tak ada lagi perilaku diskriminatif terhadap wanita, memandang rendah wanita, dan pikiran menjadikan wanita sebagai objek seksual semata.
Sebenarnya, pria dan wanita memiliki posisi yang setara, memiliki kemampuan yang sama, memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang serupa. Akan tetapi, karena hukum tak tertulis wanita diposisikan dalam strata sosial yang rendah. Padahal, Tuhan semesta alam memandang pria dan wanita dari budi pekertinya bukan jenis kelaminnya.
Aksi protes yang dilakukan para wanita adalah langkah nyata menyatakan kekeliruan hukum yang berlaku. Jika pada waktu itu, tidak ada protes, tidak ada aksi kesetaraan gender, sangat jelas masa depan wanita akan tetap suram. Wanita tak akan menjadi apa-apa. Wanita akan selalu di dapur, sumur, dan kasur.
Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam. Seorang anak bangsawan, sesosok wanita menjadi pelopor dan penyala obor pendidikan bagi kaum wanita Jawa. Dialah Raden Ajeng Kartini. Berkat keberanian Kartini, para wanita mulai menyadari bahwa kodrat seorang wanita bukanlah kewajiban mutlak sebagai usaha pengabdian di dapur, sumur, dan kasur. Melainkan pengabdian yang jauh lebih luas, lebih moderat, dan lebih manusiawi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!