Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wanita Karier dan Stigma Seksisme yang Meruntuhkan Impian Wanita Indonesia

13 April 2021   11:00 Diperbarui: 13 April 2021   11:57 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita selalu dipandang lemah dan seksi (foto dari pixabay.com)

Secara mendasar wanita ditempatkan pada posisi terendah dalam strata sosial. Paling bawah. Lebih rendah dibanding pria. Seakan wanita tak mendapat tempat yang layak, tak memiliki kuasa, tidak boleh berkuasa.

Wanita dipandang lemah, mungkin karena memiliki sifat yang lemah lembut atau sikap keibuan. Secara morfologi wanita lebih indah, anggun, dan menawan. Ini kodrati. Pria dipandang tangguh, mungkin karena memiliki sifat yang kuat dan berani. Tak kalah beda, pria dikenal gagah, sangar, dan kekar. Ini kodrati. Menjadi wanita atau menjadi pria itu sudah kodrat. Artinya pemberian dari Tuhan semesta alam.

Perbedaan ciri khas tersebut bukanlah patokan memeringkat siapa yang berkuasa, siapa yang pantas di atas. Faktanya, kodrat seorang wanita ditempatkan di bawah kodrat seorang pria. Wanita selalu nomor dua dan pria selalu nomor satu.

Namun perihal asmara, wanita selalu benar dan pria selalu salah. Mungkin peringkat tersebut adalah peringkat tandingan atas posisi wanita yang selalu berada di belakang pria. 

Oleh karena itu, wanita sering mendapat perilaku diskriminatif di mana pun berada. Entah di negerinya, masyarakatnya, dan rumahnya sendiri. Maka dari itu, muncullah aksi unjuk rasa yang menuntut kesetaraan gender, perilaku yang sama terhadap wanita, tidak mendiskriminasi, dan tidak merendahkan wanita. Intinya wanita ingin bebas dan merdeka. Bebas dari anggapan lemah dan menggantungkan. Merdeka dari segala hukum aturan yang menomorduakan wanita.

Upaya para wanita yang mencari keadilan, kesetaraan gender, perlakuan sama terhadap wanita yang telah dilakukan sejak dahulu tak sia-sia, sebab sangat membuahkan hasil. Kini, wanita memiliki kebebasan dan kemerdekaan. Tak ada lagi perilaku diskriminatif terhadap wanita, memandang rendah wanita, dan pikiran menjadikan wanita sebagai objek seksual semata.

Sebenarnya, pria dan wanita memiliki posisi yang setara, memiliki kemampuan yang sama, memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang serupa. Akan tetapi, karena hukum tak tertulis wanita diposisikan dalam strata sosial yang rendah. Padahal, Tuhan semesta alam memandang pria dan wanita dari budi pekertinya bukan jenis kelaminnya.

Aksi protes yang dilakukan para wanita adalah langkah nyata menyatakan kekeliruan hukum yang berlaku. Jika pada waktu itu, tidak ada protes, tidak ada aksi kesetaraan gender, sangat jelas masa depan wanita akan tetap suram. Wanita tak akan menjadi apa-apa. Wanita akan selalu di dapur, sumur, dan kasur.

Wanita selalu dipandang lemah dan seksi (foto dari pixabay.com)
Wanita selalu dipandang lemah dan seksi (foto dari pixabay.com)
Masyarakat Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah masyarakat yang dahulu memandang wanita selalu di bawah dan belakang. Tak ada satu pun wanita yang di depan. Tak satu pun wanita berpendidikan. Tak bakal ada secercah sinar harapan yang mengubah nasib wanita. 

Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam. Seorang anak bangsawan, sesosok wanita menjadi pelopor dan penyala obor pendidikan bagi kaum wanita Jawa. Dialah Raden Ajeng Kartini. Berkat keberanian Kartini, para wanita mulai menyadari bahwa kodrat seorang wanita bukanlah kewajiban mutlak sebagai usaha pengabdian di dapur, sumur, dan kasur. Melainkan pengabdian yang jauh lebih luas, lebih moderat, dan lebih manusiawi.

Wanita boleh berprofesi. Tidak ada aturan wanita dilarang berprofesi. Wanita boleh memimpin. Tidak ada aturan wanita dilarang memimpin. 

Kini wanita mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan mutlak menjadi seorang wanita seutuhnya. Tanpa kekangan, tanpa diskriminasi, dan tanpa perlakuan seksisme. Wanita setara dengan pria. Namun, apakah kesetaraan kedudukan wanita dapat menggusur kedudukan pria? Iya.

Pria dan wanita dibekali dengan kemampuan yang sama. Hanya berbeda cara pengolahan kecakapan. Apabila seorang pria lebih cakap maka ia pantas memimpin. Apabila seorang wanita lebih cakap dari pria, maka ia pantas pula memimpin. Jadi, kesetaraan gender membawa pola persaingan yang sehat. Antara pria dan wanita sama-sama berjuang mendapatkan profesi terbaiknya masing-masing.

Tidak ada yang merasa dirugikan dengan adanya kesetaraan gender. Jika ada, mungkin sebagian kecil para pria yang terlalu nyaman memanfaatkan ketimpangan hukum terhadap wanita. Dia berkuasa karena wanita dipandang rendah.

Kenyataan di lapangan, wanita masih saja mendapat perilaku diskriminatif. Seakan tak pernah pudar pandangan bahwa wanita berada di bawah kodrat pria. Wanita sering mendapat perlakuan pelecehan seksual di tempat kerja. Memang tak bisa memungkiri, wanita merupakan objek seksual, wanita terlalu seksi untuk bekerja.

Akan tetapi, bilamana kita bekerja dengan profesional tanpa melihat jenis kelamin, maka pekerjaan akan terasa begitu mengasyikkan. Tapi ini mustahil, masih ada saja pikiran nakal dari kita, selaku pria, terhadap wanita. Pikiran nakal itu manusiawi dan nafsusiawi. Sudah kodratnya seperti itu. Apa harus ada perusahaan khusus wanita (pria) yang pekerjanya wanita (pria) semua? Mungkin dulu sebelum ada kesetaraan gender ada, tapi sekarang sudah tidak ada. Jika masih ada tolong tambahkan di kolom komentar.

Wanita yang bekerja (foto dari pixabay.com)
Wanita yang bekerja (foto dari pixabay.com)

Menjadi wanita karier bukanlah perjalanan mudah dan mulus. Banyak tantangan dan hambatan yang sejatinya menjatuhkan kodrat wanita agar tetap berada di bawah pria.

Wanita kadang dilarang berpendidikan tinggi. Biasanya terjadi pada masyarakat pedesaan. Masih memegang teguh prinsip hidup kuno. Oleh karena itu, sangat jarang ditemui wanita berpendidikan tinggi di pedesaan. Paling tinggi mengenyam pendidikan hanya sebatas lulus SMP. Seakan ada pembatas yang kokoh, melarang wanita memiliki pendidikan tinggi.

Tragisnya, wanita pedesaan dipaksa menikah sejak usia remaja, paling muda mulai umur lima belas tahun. Masalah administratif prasyarat pernikahan dapat diakali dengan pemalsuan tahun kelahiran. Fakta yang nyata terjadi. Bagaimana bisa wanita pedesaan menikmati hak-haknya yang telah diperjuangkan sejak dulu? 

Peran penting orangtua lagi-lagi dibutuhkan dalam hal ini. Pentingnya pemberian pendidikan yang tinggi bagi anak perempuan, wanita harus ditingkatkan. Pemerintah pun telah mewajibkan setiap anak mengenyam pendidikan minimal dua belas tahun dan membebaskan biaya pendidikan. Semua keputusan tergantung pada kesadaran para orangtua dalam mementingkan pendidikan bagi anak perempuannya.

Wanita yang memiliki profesi, dinilai sebagai upaya melanggar kodrat wanita. Wanita seakan tidak boleh keluar rumah, harus selalu di dapur, sumur, dan kasur. Wanita karier sangat dikecam oleh masyarakat, meski telah nyata adanya kesetaraan gender.

Seorang wanita yang berhasil dan sukses mendapatkan pekerjaan impian atau profesi idaman adalah hasil jerih payah dan usahanya sendiri. Bukan hasil karena menggoda (baca: menjual keperawanannya) atasan untuk dapat duduk di kursi jabatan penting, melainkan usaha kerja keras dan kecakapannya dalam bekerja.

Stigma seksime yang tumbuh dalam masyarakat dijadikan batu sandungan bagi wanita yang mengejar impian. Kita sebagai masyarakat yang jauh lebih maju pola pikirnya, harus mengesampingkan dan menyingkirkan pemikiran semacam itu. Pria dan wanita berhak berkompetisi secara sehat dan adil. 

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun