Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Empat Kali Gagal Masuk PTN Idaman dan Tiga Kali Ditolak Sekolah Kedinasan

19 Maret 2021   22:45 Diperbarui: 20 Maret 2021   06:54 1984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat kali gagal masuk PTN idaman dan tiga kali ditolak sekolah kedinasan, jangan menyerah, banting setir saja

Bagaimana perasaanmu ketika mengalami kegagalan? Tetap berjuangkah atau hanya menyesali tindakan dan menyalahkan diri sendiri? 

Saya harap, kamu berjuang meraih kesuksesan tersebut, kesuksesan yang dicita-citakan.

Kegagalan dapat menimpa kita dalam segala hal, mulai dari pendidikan, sosial budaya, pekerjaan, asmara, politik, hingga ekonomi. Namun, tulisan ini hanya membatasi diri pada kegagalan di bidang pendidikan. Ya, kegagalan menempuh pendidikan tinggi.

Pasca lulus SMA, ada tiga pilihan hidup yang biasa dihadapi oleh kebanyakan orang, antara lain menikah, bekerja, dan melanjutkan studi. Mutlak. Memilih salah satu atau ketiganya sekaligus. Namun, fokuskan mana prioritas kamu.

Menikah, kemudian mulai merintis usaha. Bekerja, lalu menikahi pasangan. Melanjutkan studi pendidikan tinggi, juga diselingi dengan bekerja paruh waktu. Bekerja, tak terasa sudah punya cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Melanjutkan studi, tapi kemudian membuka usaha kecil-kecilan. 

Namun, tulisan ini tidak sedang membahas pilihan tersebut. Hanya salah satu saja. Melanjutkan studi pendidikan tinggi.

Kita semua tentu merasakan bahagia dan bangga atas kelulusan waktu SMA dulu. Kita pun berpikir, nggak bakal lagi ada masalah dalam hidup kita. Nyatanya, itu semua baru permulaan dan di balik keceriaan tersimpan kesedihan. 

Bagi kita yang memilih melanjutkan studi pendidikan tinggi, akan menimbang berbagai pertimbangan untuk dapat memutuskan, lanjut studi atau berhenti studi (baca: menunda studi).

Masuk perguruan tinggi nggak gampang. Tidak semudah mengklik pilihan PTN di laman penerimaan mahasiswa. Sulit, susah, berdarah-darah, dan terpincang-pincang.

Setujukah akan hal tersebut? Barang kali ada yang tidak setuju, tidak masalah. Saya hanya tanya, bukan melakukan interogasi.

Tindakan apa yang kita ambil bila kita gagal masuk PTN idaman? Langkah apa yang kita tempuh ketika ditolak sekolah kedinasan? Apakah diri kita masih tegar atas kegagalan yang berkali-kali menimpa kita? Bagaimana jalan terbaik mencapai kesuksesan di tengah kegagalan yang begitu banyak menerpa?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Izinkan saya membagi kisah pengalaman pribadi. 

Beberapa waktu lalu, saya lulus SMA. Saya mengikuti seleksi masuk PTN dengan model SNMPTN. Memaksimalkan pilihan, dua PTN dan tiga program studi. 

Entah mengapa saat mengisi laman pendaftaran PTN. Pikiran dan hati tertuju pada PTN ternama di Indonesia, yang berada di Depok sebagai pilihan pertama, sedangkan pilihan kedua jatuh kepada PTN di Malang, bukan nama Kodam.

Berminggu-minggu saya tunggu hasilnya. Setelah tiba pengumuman, menang (is) lah saya. Bukan cengeng, hanya tak menduga saja. 

Meski sebetulnya, saya bukan siswa tercerdas dengan nilai akademik yang mapan, setidaknya masih ada angka tujuh. 

Dari tiga puluh lima siswa yang mendaftar pada SNMPTN, hanya lima siswa saja yang disambut hangat. Salah satunya teman saya, masuk di PTN tertua di Banjarmasin.

Oke...menenangkan pikiran dan hati sangat diperlukan. Sesekali meneteskan air mata di pojokan rumah dan di pojokan sekolah. Akhirnya, tiba pendaftaran jalur kedua, SBMPTN. 

Waktu itu masih ujian reguler, tulis pakai tangan. Sekarang sudah berbasis komputer. Dulu, kalau salah mengisi di lembar jawaban, kudu menghapus hingga bersih, seputih-putihnya, risiko robek sangat tinggi. Robek, jelas tidak dinilai. 

Saat itu, saya dibebankan biaya ujian SBMPTN sebesar 250 ribu dan ujian di luar kota. Berhubung saya tidak tinggal dekat lokasi ujian SBMPTN. Maka, saya harus menempuh perjalanan 75 km, pergi pulang 150 km. Saya menyadari pilihan PTN di jalur SNMPTN terlalu tinggi dan penuh angan. 

Saya turunkan standar perguruan tinggi yang saya ambil dan hanya memilih PTN yang dekat dengan domisili saya, Malang (kalau ini yang nama Kodam) dan Jember .

Tiba pengumuman hasil tes SBMPTN, langsung tak suwek-suwek seng jenenge kertas tanda bukti pendaftaran kae. Gagal untuk kedua kalinya. 

Keluarga menguatkan, begitu pun teman SMA. Hanya satu orang yang lolos pada SBMPTN di SMA saya dari tiga puluh siswa. 

Teman saya yang juga satu kelas, memang cerdas di fisika dan kimia. Dia lolos masuk ke PTN ternama teknologi di Surabaya.

Foto calon mahasiswa yang menempuh ujian UTBK SBMPTN (foto dari edukasi.kompas.com)
Foto calon mahasiswa yang menempuh ujian UTBK SBMPTN (foto dari edukasi.kompas.com)
Nggak patah semangat, masih ada sekolah kedinasan. Oke, saya putuskan daftar. Sekolah dinas yang saya pilih berlogo dominan warna biru di bawah naungan Kemendagri, dan berlokasi ujian di Surabaya.  

Mirisnya, jadwal ujian pas pagi hari. Sesi kedua, jam sembilan kudu stand by di lokasi. Akhirnya, dari Lumajang berangkat jam 4 pagi, belum ada tol, sehingga terjebak macet.

Tiba di terminal Bungurasih, cepat-cepat cari ojek menuju lokasi tes.  Bahkan sampai di lokasi ujian masih telat meski naik ojek dan masuk diantrian paling akhir. 

Saya tanya pendaftar lain, dia menyatakan ini pengecekan berkas bagi sesi kedua. Matilah aku dan langsung grasa-grusu mengeluarkan lembar kartu ujian dan identitas kependudukan. Masih ngos-ngosan, tak sempat duduk berleha-leha, toleh kanan toleh kiri.

Persaingan ketat, ada delapan ribu pendaftar dan hanya tujuh ribu pendaftar yang maju tahap tes SKD. 

Saya pun gagal mencapai batas minimum, hanya kurang satu soal agar poin saya ada di zona aman. Ini Kegagalan ketiga kalinya.

Saya pulang dengan kekecewaan dan penyalahan diri sendiri. Kecewa akan berbagai macam kegagalan. Menyalahkan diri sendiri akibat terlalu pede berhasil lolos masuk PTN dan sekolah kedinasan. 

***

Apa yang saya lakukan? Menunggu seleksi masuk PTN tahun mendatang? Tidak. Saya tidak menunggunya. Saya harus melangkah maju. Yang berlalu biarlah berlalu.

Saya mendaftar di PTN yang berpusat di Tangerang, tapi punya cabang di Jember. Jujur saja, PTN ini bukan PTN yang saya kenal baik. Saya mendapatkan info tersebut dari seorang guru matematika yang menempuh pendidikan magister di sana sehari setelah  pengumuman hasil SBMPTN yang mengecewakan

Sungguh tak pernah terbayangkan saya mendaftar di PTN yang tak dikenal masyarakat luas. Tapi akhirnya diterima. Daftarnya pun satu hari sebelum penutupan pendaftaran mahasiswa baru. Bondo nekat lan niat. 

Apakah saya berhenti mengejar masuk sekolah kedinasan? Tidak, saya masih lanjut. Mungkin karena terkontrak otomatis, sehingga saya sangat memberatkan pilihan melaju di sekolah kedinasan.

Tahun berikutnya, saya mendaftar lagi di sekolah kedinasan yang sama dan hasilnya lumayan membaik di angka 375.  Namun ternyata belum membawa saya pada keberhasilan.

Saat saya sudah menjalani masa pembelajaran sebagai mahasiswa di Tangerang. Karena masih belum puas kali karena belum dapat menaklukkan sekolah kedinasan. Tahun berikutnya, saya ikut untuk ketiga kalinya. Berharap semoga lolos, sebab kalau sudah yang ketiga kali, pasti lolos. Nyatanya, sama saja. Gagal maleh. Habis sudah kesempatan saya mendaftar untuk keempat kalinya. 

Sudah semakin tua, hampir dua puluh satu tahun. Dan September tahun mendatang, saya terhitung angka dua puluh dua, jelas auto gagal ikut seleksi sekolah kedinasan di mana pun.

Jadi, akhirnya tetap stay di PTN yang sedang saya tekuni. Meski model perkuliahannya tidak seperti umumnya, berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Jarak jauh dan terbuka. Pasti kalian sudah mampu menebaknya. 

***

Saya gagal lima kali masuk PTN maupun sekolah kedinasan. Empat PTN menolak saya terang-terangan. Tiga kali tes sekolah kedinasan, tiga tahun berturut-turut, gagal. Empat tahun berjuang untuk lolos. Namun tetap gagal.

Mengapa saya masih mengejar kegagalan tersebut? Mengapa saya masih mau-maunya daftar sekolah kedinasan, meski ujungnya gagal?

Alasan saya sangat sederhana, yaitu saya tidak mau menyerah. Mungkin kemampuan saya di bawah rata-rata, tapi semangat pantang mundur, pantang menyerah, berkobar begitu panas. Akhirnya daftar terus.

Banyak teman SMA saya yang mengatakan hal itu buang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Kalau udah ditolak sekali, sudah jangan masuk di tempat yang sama. 

Tapi, saya bukanlah dia yang punya pemikiran begitu. Saya sudah pertimbangan, jika saya mengganti pilihan sekolah kedinasan di tahun kedua, otomatis, kegiatan belajar selama satu tahun sirna begitu saja, karena jelas beda teori memecahkan soal seleksi. 

Apalagi beragamnya persyaratan yang berbeda tiap sekolah kedinasan, bikin tambah ruwet. Akhirnya, tetap pilih sekolah kedinasan yang sama hingga tiga kali, meski selalu gagal.

Foto keberhasilan mengalahkan kegagalan yang menghantui (foto dari pexeles/Victor Freitas)
Foto keberhasilan mengalahkan kegagalan yang menghantui (foto dari pexeles/Victor Freitas)

Intinya, jangan sekali-kali menyerah pada keadaan dan kenyataan. Terus perjuangkan hingga kita tidak dapat memperjuangkan secara mutlak, entah akibat ketentuan yang menjegal langkah kita.

Apakah kita wajib membanting setir bila menemui kebuntuan tujuan (baca: kesuksesan)?

Saya dengan lantang mengatakan, iya. Banting setir itu perlu agar mencapai kesuksesan.

Impian berkuliah di kampus ternama harus pupus akibat sering ditolak. Mungkin nggak tau diri, nilai akademik ada angka tujuh, kepedean mendaftar di PTN terkenal. Jelas, ditolak mentah-mentah.

Harapan memiliki masa depan lebih cerah dengan berkuliah di sekolah kedinasan. Juga hancur berantakan akibat syarat mendaftar yang tak lagi terpenuhi karena melampaui batas usia mendaftar. 

Hal yang tak terduga dan tak terbayangkan, saya masuk ke PTN yang sama sekali tak mengenalinya. Tak tau asal usulnya. Pokoknya daftar aja dulu. Gampangnya gitu.  

Otomatis, semua rencana pengambilan program studi pun berubah drastis. Dari awalnya mau terjun payung ke prodi eksak, bioteknologi dan peternakan. Harus diubah dalam hitungan detik. Saat ditanya petugas pendaftaran PTN dadakan tersebut. Akhirnya, asal jeplak setelah membaca singkat brosur pendaftaran. 

Sungguh di luar rencana dan nalar. Pengambilan keputusan mendadak. Tergesa-gesa, tanpa pertimbangan. Modal dengkul dan senyuman. 

Akhirnya menjatuhkan pilihan pada program studi di FISIP. Nggak lagi eksak. Terlebih udah cukup bosan melihat angka, rumus, dan kalkulator. Pusing sudah. Ingin yang baru.

Pilihan selalu terbuka lebar. Datangnya pun tiba-tiba. Kadang tanpa pertimbangan matang. Malah itulah yang bikin bahagia dan tenang. Tidak terbebani dan tidak mengecewakan.

Kegagalan masuk PTN idaman dan ditolak sebanyak tiga kali pada sekolah kedinasan, membuat saya terus semangat mengejar cita-cita dan tidak pantang mundur. 

Artinya, apabila kamu, yang saat ini sedang berjuang meloloskan diri pada SNMPTN, UTBK SBMPTN, bahkan seleksi masuk sekolah kedinasan. Jangan menyerah jika kamu gagal. Jangan berhenti melangkah jika kamu kalah. Pantang mundur. Maju terus sampai dapat.

Kegagalan ada karena kita berada dalam kondisi yang tidak tepat. Bukan karena kemampuan kita yang rendah. 

Gagal satu kali, janganlah menyerah. Gagal seribu kali, janganlah menyerah. Berjuanglah dan jangan takut gagal (lirik lagu Jangan Takut Gagal *).

*lupa siapa penyanyinya.

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun