Jika ketiga pertimbangan tersebut dijadikan pemberat terjadinya kehamilan, kalian (pasangan suami istri) terlalu egois.
Orangtua mana yang tak bahagia mendengar putrinya hamil? Mertua mana yang tak sumringah mendengar menantunya hamil? Tetangga mana yang tak kegirangan mendengar pengantin baru sedang hamil?
Orangtua dan mertua adalah keluarga besar yang tak henti-hentinya menanti kabar kehamilan dari pernikahan putra-putrinya. Mereka tak sabar pengen menggendong cucu, putu (dalam bahasa Jawa), kompoi (dalam bahasa Madura), dan sebutan lainnya. Kabar itu selalu ditunggu oleh mereka.
Lalu bagaimana dengan pasangan yang sejatinya tak menunda kehamilan, tapi selalu mengalami kegagalan untuk hamil?
Dunia ini sangat lengkap. Masalah dapat datang karena kita yang membuatnya sendiri. Masalah dapat menimpa kita atas kehendak sang Kuasa. Jadi beragam cara masalah menyelimuti kehidupan kita.
Bagi pasangan suami istri yang sejak awal menginginkan kehamilan, berharap punya momongan. Namun tak kunjung berhasil. Juga menjadi masalah dalam pernikahan.
Berbagai cara dilakukan untuk memburu dua garis biru, baik konsultasi ke dokter spesialis kandungan, melakukan serangkaian olahraga guna memancing kesehatan organ reproduksi, menjajal berbagai model hubungan enaena, dan mengonsumsi ramuan herbal dan obat-obatan. Semua cara dilakukan, tapi hasil selalu nihil.
Semakin lama, semakin tua. Semakin lama, semakin kepikiran. Pada kondisi inilah, pernikahan dipertaruhkan.Â
Pasangan suami istri yang memiliki komitmen kuat, bakal tetap bersabar dan berusaha menjalankan kehidupan pernikahan yang dibangun. Namun, bagi mereka yang menyerah pada keadaan dan kenyataan, memilih jalan perpisahan. Sangat disayangkan.
Ada kisah nyata di lingkungan saya. Izinkan saya bercerita sejenak. Semoga kalian tetap betah menatap tulisan ini.