Ramai berita atas terpilihnya Bupati Kabupaten Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore. Bukan masalah menang gugatan hasil pilkada. Juga bukan kerena terpapar covid-19 akibat pemilu dalam masa pandemi. Melainkan, bupati terpilih merupakan WNA. Amerika Serikat asalnya. Jauh amat ya?
Tulisan ini tidak mau mencari kronologi Orient masuk bursa pilkada. Apalagi, menang pemilu. Biarkan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan Masyarakat Sabu Raijua yang membicarakan hal tersebut. Â Saya tidak sedang memojokkan permasalahan ini kepada siapa pun. Yang jelas, kita kaget mendengar berita itu.
Terlepas dari masalah administrasi kependudukan dan tahapan penetapan sebagai pemimpin suatu daerah. Saya bakal mengemukakan pendapat, apa jadinya bila seorang asing, warga negara asing, bukan warga negara Indonesia menduduki jabatan kepemerintahan. Entah sebagai staf, lebih-lebih seorang pemimpin.
Menjadi seorang pemimpin, tentunya harus memiliki jiwa kepemimpinan. Intinya tidak sewenang-wenang, tidak memaksakan kehendak pribadi, tidak mengkhianati kepercayaan masyarakat, tidak berlaku buruk dalam pemerintahan, dan tidak mendiskriminasi suatu keragaman minoritas dalam tubuh negara.
Piye critane, kok iso wong luar dadi bupati luwih-luwih dados persiden. Opo wes entek, stok pemimpin dalam negeri? Mosok, pemimpin kate impor sisan. Â Wes talah, cukup dageng sapi wae seng impor.
Orang cerdas di Indonesia ini banyak. Lulusan luar negeri pun berjajar dari Sabang sampai Merauke. Apalagi pemimpin. Pemimpin jadi-jadian ada. Pemimpin partai politik ada. Pemimpin perusahaan terkemuka ada. Pemimpin demonstrasi juga ada. Pemimpin berbalut Pancasila ada. Semua ada. Gak bakal kehabisan model pemimpin untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Namun, apa jadinya bila warga negara asing menjadi pemimpin di dalam tubuh Pertiwi? Apakah antibodi tubuh bakal menyerang. Masyarakat Indonesia akan menolak keras. Terang saja, mungkin bakal diagung-agungkan. WNA di mata masyarakat Indonesia, kan lebih indah. Apa ya, ini berlaku dalam kursi pemerintahan?
Seorang warga asing, boleh jadi pemimpin di Indonesia. Misal, pemimpin pabrik. Karena pabriknya ada di Indonesia. Mengolah sawit atau nikel. Contoh lagi, warga asing jadi dosen pembimbing kala kita skripsi. Dia pemimpin. Gak masalah kan? Lalu, bila duduk di kursi pemerintahan? Beda lagi urusannya.
WNA boleh jadi pemimpin di Indonesia, lebih-lebih pejabat. Asal masyarakat setuju. Namun hukum tidak pernah setuju atas kompensasi itu. Ada aturannya.
Menjadi seorang pejabat dalam pemerintahan Indonesia haruslah warga negara Indonesia. Bagaimana bila ada WNA yang mau terjun? Jelas ditolak. Misal, seorang WNA melepas kewarganegaraannya. Apakah bisa bergabung dalam jajaran kepemerintahan? Gak semudah itu. Ini bukan beli gunda maupun kangkung di pasar. Ini masalah kepemimpinan bangsa.