Kehidupan asmara itu bergejolak tak menentu. Kadang selangit, kadang selangit-langit. Gak pasti. Apalagi jalinan kasih tanpa status. Serba salah.
Dunia ini lengkap. Ada pria ada wanita. Ada suka ada duka. Ada cinta ada benci. Ada lawan ada kawan. Semua berkaitan dan berhubungan. Layaknya jam dinding. Setiap satu jam, ketika anak panah selalu bertemu. Pas. Gak lebih gak kurang. Presisi.
Pernah gak, pada suatu waktu diri kita saling berhubungan (baca: dekat, hingga semua tentang dia, kita tahu, begitupun sebaliknya) dengan si dia. Lama banget, hingga tahunan. Statusnya masih temenan, sahabatan. Lama-lama, tingkat kebaperan naik. Entah karena gak kunjung ada lamaran masuk atau memang gak mau ngelamar. Sukanya nunggu si dia, karena sudah nyaman. Nyaman semuanya. Bukan sayang semuanya. Toh kita gak sedang bernyanyi, satu dua tiga sayang semuanya.
Kenyamanan yang diberikan si dia kepada kita, ternyata membawa butir-butir cinta di salah satu pihak. Bukan keduanya. Ibarat pepatah, bertepuk sebelah tangan.
Rasa nyaman, bukan perkara status sosial, status pendidikan, bahkan status ekonomi. Sekali lagi, rasa kenyamanan tak berkaitan dengan siapa yang menjalin hubungan, siapa pun berhak memberikan kenyamanan. Tak usah memandang lulusan sarjana universitas ternama. Sugih melarat. Melainkan, keikhlasan dan ketulusan hati.
Siapa pun yang ikhlas dan tulus, ia bakal mendapat tempat di hati lawannya (baca: yang menjalin hubungan).
Padahal, sikap ikhlas dan tulus merupakan fondasi menjalani hidup. Suku mana pun, agama apa pun, dan budaya bagaimana pun mengajarkan hidup harus ikhlas dan tulus. Jadi, jangan baper bila ada teman ataupun sahabat yang memberikan kenyamanan pada diri kita.Â
Karena rasa nyaman belum tentu sayang.
Menurut saya pribadi, hubungan muda-mudi yang saling menunjukkan kenyamanan dalam berinteraksi adalah suatu hal wajar. Bukan perkara yang berlebihan. Apa daya, manusia itu bukan robot. Yang tak punya perasaan, yang tak bisa terluka, dan yang tak dapat merindu. Manusia itu rapuh. Rapuh dalam hati.
Sebenarnya, rasa nyaman itu timbul karena kedua belah pihak sama-sama membuka hati. Saling terbuka, tanpa menutupi apa-apa yang harus ditutupi. Tidak mengarah pada hal lainnya. Sekadar terbuka. Bukan buka baju.
Keterbukaan. Hubungan yang baik antara diri kita dengan dia, akan menimbulkan kenyamanan. Entah nyaman dalam berinteraksi bahkan nyaman dalam berperasaan. Sehingga, ada ikatan batin yang tak mampu dijelaskan secara ilmiah. Jadi sangat sukar dipecahkan.
Berawal dari keterbukaan, semua sikap manusiawi keluar dengan sendirinya. Mengalir mengikuti arah komunikasi yang terbentuk. Sudah. Kita mulai membangun kedekatan, jasmani dan rohani. Maka terciptalah suatu jalinan kokoh yang tak putus-putus, kecuali salah satu pihak tersayat hatinya.Â
Kejujuran. Berlaku jujur berperan penting atas mulusnya interaksi kenyamanan. Dengan mengatakan dan berbuat sejujur-jujurnya, dia bakal menilai diri kita pantas mendapat nilai lebih. Ada nilai tambah. Kedekatan yang dibalut dengan kejujuran, bakal bertahan lebih lama.
Hal ini yang diperlukan oleh kita bersama. Sebab kejujuran tak hanya terpaku pada profesi dan keluarga. Namun juga relasi. Sendi utama yang merekatkan hubungan antar manusia.
Apabila pertemanan yang plus-plus (baca: lebih akrab) khususnya antar lawan jenis. Sangat bagus untuk dilanjutkan. Sebab jodoh itu gak ada yang tahu. Hanya Tuhan yang kuasa. Oleh karena itu, manfaatkan kesempatan yang ada. Alon-alon asal klakon. Jangan main nyelonong. Ada adabnya.
Kesabaran. Jujur tanpa sikap sabar, percuma. Tindakan bakal tak karuan. Tak terkendali. Tak terkontrol. Sangat disayangkan. Menjalin hubungan perlu kesabaran. Apabila sudah sabar dan merasa diri kita seorang penyabar. Bagus, tapi jangan menganggap diri kita paling sabar. Apalagi sabar dengan pamrih.
Kita bakal merasa nyaman pada seseorang, apabila dia mampu terbuka, jujur, dan sabar.
Jadi, hati-hati. Jika kita menemukan seseorang seperti itu. Jangan sampai jatuh hati. Karena isi hati manusia bisa berubah-ubah, walau hanya sedetik saja. Perlu waktu lebih lama untuk menyelami kehidupannya. Berarti rasa kenyamanan bakal nambah? Itu risiko. Teguhkan hati.Â
Apakah rasa nyaman bakal mendatangkan rasa sayang?
Banyak alasan bagi diri kita untuk meninggalkan seseorang, begitupun sebaliknya. Dia meninggalkan kita, pas sayang-sayange. Padahal, hubungan yang dijalin sudah kuat lahir batin. Berakar dalam. Tiba-tiba pergi dan menghilang. Ajaib.
Inilah luka. Pedih yang disebabkan oleh rasa kenyamanan diluar batas kewajaran. Kita terlalu mengandalkan dan menggantungkan dirinya, tanpa kita sadari dia sudah diandalkan oleh orang lain. Bukan kita. Ikhlaskan. Relakan.
Biarkan hati ini luka. Bila tak begini, kita gak bakal punya pengalaman. Sebab pengalaman adalah guru terbaik. Dari situasi dan kondisi yang memaksa kita move on, kita belajar banyak hal. Jangan bermain perasaan. Sembuhnya lama. Bahkan dibawa mati.
Setelah rasa nyaman itu nyaman dirasakan. Dia pamit. Dia dijodohkan. Dia melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dia milik orang lain. Dia pergi. Sangat singkat, langsung lenyap. Sirna tak berbekas.
Bukan tidak sayang. Karena sayang tidak harus memiliki.
Banyak yang terjebak dalam kondisi ini. Begitupun saya. Dia gak punya atau belum ada perasaan seperti apa yang saya rasakan. Walaupun ada, pasti bukan untukku.
Jadi, kalau kamu gak bisa sayang pada seseorang. Jangan beri dia kenyamanan berlebih. Karena bekas lukanya, kekal sepanjang hidupnya.
Bayu Samudra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H