Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Sinta

1 Oktober 2020   07:20 Diperbarui: 1 Oktober 2020   07:29 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala langit jingga, Sinta pijakkan langkah menuju surga kecil di ujung Bukit Karet. Peluh mengucur deras dari ubun-ubunnya. Ribuan anak tangga berkamuflase jalan batu yang licin karena daun mahoni. Buat Sinta berdebar untuk menyembah Sang Kuasa. Usai menunaikan kewajiban, Sinta tak punya pilihan selain terjun dari ketinggian 1756 mdpl. Sinta bersama senter kuningnya menyusuri jalan curam nan berliku. Dingin malam menyetubuhi lekuk indah Sinta tanpa permisi, buatnya merintih tak berdaya.

Lewat ladang Pak Sarmito, Sinta teringat pesan ibunya "Nak, kalau lewat di ladang Pak Sarmito, jangan menyalakan senter!" dan Sinta langsung mematikan senternya. Nahas sudah setengah perjalanan senter kuningnya tak dimatikan. "Sebab, khawatir macan itu menyergapmu hidup-hidup Nak," tutur Ibu Sinta. Mendengar daun ribut tanpa angin menerjang, seketika Sinta berhenti membisu dan mematung. "Apa iya ada macan di sekitarku?" tanya hati Sinta.

Detak jantung menggebu, kakinya bergetar, keringat panas hujani tubuhnya, dan ia pejamkan mata. Aughkrrr... Aughkrrr..., sontak Sinta kaget dan matanya melotot ke depan, tercengang mulutnya menganga. Macan ganas itu tepat di wajahnya, siap mengoyak tubuh Sinta dengan taring dan cakar bisanya. Srewet, hening dan sunyi tanpa suara apa pun.

Tubuhnya terpental. Napas tak berirama. Keringat menggenangi dahinya sembari mengatur tekanan darah yang menjalar tak karuan. "Untung saja hanya mimpi, Tuhan masih sayang padaku," ucap Sinta.

Hari yang cerah tanpa titik awan di angkasa melukis langit biru. Sayang, pagi itu Sinta bangun dengan mimpi kelamnya kembali. Sinta menutup diri perihal mimpinya bahkan pada wanita renta di depannya. Mereka bungkam walau mulutnya terus mengecap hidangan di atas meja makan. Hanya terdengar riuh kicau burung menyambut surya dari balik Gunung Tambora.

"Sinta."
Tiba-tiba lamunannya buyar. "Iya, Bu?"
"Pergilah ke Bukit Karet dan berikan belati ini padanya," sambil menyerahkan sebuah belati. "Nanti ditemani Kang Ibrahim."

Sinta keheranan. Nama tempat itu sama persis dengan mimpi yang menghantuinya. Tanpa sepatah kata pun, Sinta mengangguk setuju.

Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah, Sinta langsung menghampiri dan membuka pintu. "Siapa kamu?" tanya Sinta. Seorang pemuda gagah berparas tampan, kulitnya putih, dan menggendong ransel hijau cokelat di punggungnya. "Aku Ibrahim," jawabnya "yang akan menemanimu ke Bukit Karet." Sinta memanggil ibunya.

Ibu buru-buru keluar dari kamar. "Ada apa, Nak?"
Sinta diam.
"Nak Ibrahim," sapa ibu Sinta.

Sinta masih diam, tetapi matanya terus memandang Ibrahim. Kemudian, ia bergegas menyiapkan keperluan selama perjalanan.

Ibrahim mengitari taman kecil di depan rumah Sinta. Ada anggrek, krisan, matahari, kamboja, dan banyak lainnya. Sayang belum berbunga, kupu-kupu pun tiada. Dor, Ibrahim terkejut. Menoleh ke seluruh penjuru halaman, ia dapati balon merah muda di jendela kamar rumah Sinta meletus karena panas mentari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun