Sinta pun keluar. "Sudah?" tanya Ibrahim dari kejauhan. Sinta tersenyum tanda kesiapan jiwa raganya. Keduanya meninggalkan rumah gedek itu.
"Andai di sini ada stasiun. Pasti aku naik kereta menuju Bukit Karet," ungkap Sinta. Gelak tawa Ibrahim mengerutkan dahi Sinta. Seakan tak terima atas pernyataannya. "Sabar, orang sabar disayang Tuhan. Mana mungkin di sini ada kereta, lihat sekelilingmu apakah bukit-bukit itu terlihat datar?" menimpali angan Sinta.
Letih, lesu, dan lelah telah dirasa. Langkah kaki kian berat. Senja pun menyapa dan langit semakin gelap. Bukit Karet masih jauh tapi sudah kelihatan puncaknya. Ibrahim memutuskan untuk bermalam di sini---di bukit Sukesih. Sinta setuju. Mereka mendirikan tenda di bawah pohon pinus penghuni bukit. Dingin dan indah pemandangannya. Ibrahim membuat api unggun dan Sinta berhias di dalam kemah.
Sinta keluar. Duduk di depan nyala api sambil memandang langit penuh bintang "indah tanpa rembulan," katanya. Ibrahim menoleh mendengarnya "kata siapa tidak ada rembulan," sahut pria tampan itu. "Rembulannya sedang duduk di depanku menatap jilatan api yang berkobar," goda Ibrahim. Hanya senyum terpahat di wajah Sinta.
Ibrahim mendekap tubuh Sinta dari belakang. Tanpa perlawanan seakan pasrah. Mungkin, ia butuh tambahan kehangatan. "Kuingin, kau memberi kesan terindah bagiku," bisik Sinta. Matanya sayu, tubuhnya lemas, ia pejamkan mata dan terlelap di pelukan Ibrahim. Sinta sempat melihat kala Ibrahim mencumbu bibirnya. Ia diam dan merasakan sentuhannya. Lelaki itu meniduri Sinta. Api pun padam. Tetapi hangat masih menyelimuti keduanya dalam kelelahan bercinta.
Kibas kupu-kupu membangunkan mereka. Terkapar lemah di tanah tanpa baju hanya kutang menempel di dada. Keduanya saling menatap. Tersenyum, malu, dan tersipu. Mereka merapikan diri, tiada kata keluar dari lisannya. Hanya saling tatap saat berpapasan.
Semua usai dan Ibrahim mengawali percakapan "Ayo berangkat!" Sinta menunduk menghampiri Ibrahim, berjalan di belakangnya menuju Bukit Karet.Â
Pikirannya kacau. Kehormatannya direnggut. Raganya membara. Ia mengambil belati di saku celananya. Menggenggam erat dan berlari ke Ibrahim.
Gemuruh entak kaki hentikan langkah Ibrahim dengan menoleh perlahan. Nahas, Sinta telah menusukkan belati tepat di dada Ibrahim. Ibrahim roboh terlentang. Tatapannya kosong dan perlahan kelopak matanya menutup. Nadinya hilang, detak jantungnya berhenti. Darah berlumuran keluar dari jantungnya. Belati pun berdarah.
Sinta berdiri di atas jasad Ibrahim. Menyesali perbuatannya hingga air mata menetes ke tubuh Ibrahim. Ia berlari menaiki bukit di jalan yang sama. Memikul dosa untuk kedua kalinya. Hingga akhirnya, ia terperosok jatuh menggelinding ke lembah Bukit Sukesi.
(bersambung)