Banyak orang sambat terhadap kehidupannya. Sebagian dari kita kadang berkeluh kesah atas ketidaknyamanan tersebut.
Misalnya cara mengajar dosen, interaksi antar mahasiswa, tertekan tugas yang berlebihan, tuntutan mencapai nilai maksimum, dan lainnya. Para pekerja dengan segudang target pekerjaan, tanpa libur lembur terus, seberkas lelah yang tak terobati, dan masalah gaji di bawah kewajaran harus ditelan paksa agar mampu bertahan hidup.
Seorang ibu rumah tangga berusia belia bersama beban hidup mengurus anak, menjadi pahlawan di tengah keluarga, mengatur tata kelola keuangan dengan berdasar pada cinta dan kasih, segan mengubur harapan dan impian hidup bebas tanpa ikatan seorang istri.
Begitu juga sosok ayah muda bergelut terik matahari mencari lembar rupiah, sebagai bentuk tanggung jawab seluas samudra menafkahi anak istri.
Baca juga : Fakta Roda Kehidupan yang Belum Diketahui
Semua menggerutu seakan tak terima nasibnya seperti itu. Sebetulnya yang membuat ruwet itu, ya kita sendiri. Kita yang tidak bisa memposisikan diri sesuai dengan ketentuan atau aturan sehingga masalah selalu muncul dalam kehidupan.
Bagaimana cara memposisikan diri? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
Seperti halnya cara mengajar dosen yang tidak sesuai dengan harapan, benak kita harus memposisikan diri untuk menyukai mata kuliah dosen tersebut.
Jangan melihat siapa yang mengajar tapi apa yang diajarkannya, lambat laun kita akan terbiasa dan niscaya mensyukuri cara mengajar tersebut. Tanamkan prasangka positif karena positivitas mengantarkan kita pada kebahagiaan.
Jangan melulu komplain bahkan membandingkan dengan masa lalu sebab proses penyelesaian masalahnya berbeda. Boleh kita membandingkan kehidupan yang lalu asal berorientasi pada kemajuan bukan malah kemunduran.
Baca juga : Hikmat Tuhan Penuntun Kehidupan
Sekarang saya dapat ilmu yang tidak diajarkan di sekolah dulu, namun dengan beban yang jauh lebih berat ketimbang dulu. Salah satunya, ilmu yang beterbaran di Kompasiana dari berbagai macam penulis sejagat raya.
Melalui contoh tersebut, apakah kita hanya ingin berilmu sedikit dengan tingkat ringan seumur hidup? Tentu tidak bukan? Kita harus melangkah demi selangkah, sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta, dan setingkat demi setingkat.
Kita harus maju, berkembang, dan menjadi lebih baik bukan malah meratapi kesusahan dengan kenyamanan pada masa lalu.
Bukan, bukan begitu maksudnya. Ijazah tidak menentukan kamu dapat bekerja sesuai dengan keinginanmu. Ibu Susi Pudjiastuti lulusan SMP jadi menteri, Ibu Sinta Retno Wati lulusan S-1 jadi guru SD. Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan bukan apa yang kamu inginkan. Jadi, berijazah rendah sekali pun kita tetap memiliki peluang dan kesempatan jadi orang besar nanti. Biar Tuhan yang menghendaki semua itu terjadi.
Tugas kita sekarang adalah berusaha semaksimal mungkin dalam menghadapi segala kenyataan dan selalu berlapang dada atas hasil yang diraih.
“Saya wanita lulusan SMA langsung menikah, punya anak, tiap hari mengurus anak, suami, dan mertua. Pergi sebentar harus izin suami, melaksanakan kewajiban dan tugas istri. Ribet dan susah. Nggak bebas kayak dulu.”
Stop, nggak boleh mikir begitu. Itu pilihan kamu artinya kamu sanggup dan siap menerima kenyataan itu setelah menikah. Nggak perlu disesali. Buat happy saja. Kita tahu kan menikah itu ibadah, syukur dong kamu sudah menjalankan ibadah sebagian di antara kita belum, syukur dong kamu udah punya anak.
Pasangan yang nikah lama saja belum diberi momongan, syukur dong kamu sudah punya pengalaman berumah tangga tahu pahit manisnya keluarga. Penulis aja belum, boro-boro rumah tangga pacar aja tidak punya. Aduh, curhat.
Apa yang kita jalani saat ini. Apa yang kita miliki detik ini. Syukuri itu nikmat Tuhan.
Dengan bersyukur kita mikir, masih ada orang yang tidak seberuntung kita di luar sana. Kita jangan mendongak ke atas tapi pandanglah ke bawah sebab, kita menyadari Tuhan memberikan kecukupan atas hidup kita, ketimbang mereka yang jauh dari kata cukup. Begitu pun orang yang di bawah harus melihat orang yang ada di bawahnya. Itulah cara agar diri kita lebih bersyukur.
Baca juga : Bersyukurlah Kita Mengalaminya
Memposisikan diri di tengah kehidupan nyata membuat kita gagal dalam menghadapi berbagai masalah. Dulu, kita diposisikan menjadi seorang pelajar yang patuh pada aturan sekolah dan hukum. Tapi, kini kita dituntut mengambil posisi yang harus dipegang teguh supaya kehidupan dapat berjalan dengan baik bersama hukum alam.
Maka masalah yang datang harus ditangani dengan cepat dan tepat bukan mencari cara kembali ke masa lalu atau membandingkan kehidupan lampau yang sejatinya tingkat penyelesaian masalahnya pun berbeda.
Dahulu belajar kini bekerja, dulu meminta uang kini memberi uang, kemarin hidup santai hari ini dikejar deadline. Hal ini terjadi karena kita berproses untuk maju. Jadi, tidak perlu kita berangan-angan kembali ke masa itu lagi, biarkan masa itu menjadi kenangan hidup untuk diceritakan di waktu mendatang.
Hidup itu seperti mendaki tangga, ketika kita naik ke tingkat yang lebih tinggi kita tidak bisa kembali ke posisi semula. Itu aturan Tuhan dan seterusnya begitu tanpa revisi tiada perubahan.
Cukup dijalani dengan kepala dingin, ikhlas, dan bersyukur sebab mengantarkan kita pada puncak kebahagiaan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H