Fenomena anak akhir-akhir ini seperti kurang mendapat perhatian orang tua, lepas kontrol dari orang tua, tindak kriminal anak, kenakalan anak, dan aksi tak terpuji lainnya membawa dampak terhadap tumbuh kembang anak.Â
Seorang anak yang mestinya hanya bermain (dakon, engklek, kelereng, layangan, bekel, lompat tali, gobak sodor), belajar, dan memahami norma yang berlaku di lingkungan malah tidak dijalankan sama sekali dan tidak peduli pada aturan yang ada.
Sesungguhnya apa yang dilakukan anak dalam tindakan negatif adalah keteledoran orang tua. Namun, para orang tua selalu menyalahkan arus teknologi yang menerjang kehidupan alami anak.Â
Saya tidak menyangkal hal itu, sebab memang benar adanya. Kelalaian orang tua yang membiarkan anak berenang di sungai teknologi tanpa bimbingan. Akhirnya, anak tumbuh sebelum waktunya.
Otak anak adalah memori kosong yang perlu diisi. Bukan dengan isian negatif akan tetapi, isian positif bagi keberlangsungan anak. Tenyata, dokumen merah lebih banyak daripada dokumen hijau dalam komputer kehidupan. Oleh karena itu, orang tua kudu berperan aktif dalam menyeleksi dokumen sebelum masuk ke memori anak.
Salah satu penyebab anak dewasa sebelum waktunya ialah sikap selektif orang tua terlalu kendor sehingga tidak bisa memfilter masukan isian bagi anak. Selain itu, pengaruh adanya teknologi yang tumbuh dan berkembang di samping anak.
Pertama, tontonan anak.
Televisi tontonan anak yang utama. Setiap rumah pasti memiliki tv. Program-progam tv didominasi oleh sinetron (sinema elektronik) yang mana adegan dewasa lebih banyak, tetapi berlabel R (remaja).Â
Percuma, ada label SU (semua usia), R (remaja), R-BO (remaja hingga bimbingan orang tua), dan D (dewasa). Sangat disayangkan. Di lain sisi, orang tua membebaskan anak menonton stasiun tv kesukaannya asal tidak boleh tilik adegan pertarungan atau kekerasan di layar kaca.
Kehadiran internet memberikan keleluasaan anak dalam menonton apapun. Apalagi ditopang lahirnya aplikasi berbagi video terpopuler sejagat raya, Youtube.Â
Youtube tak luput dari tontonan anak. Youtube mengembangkan kualitas SDM penonton juga mematikan kreativitas bahkan pikiran anak. Membuat candu dan membahayakan. Apa yang tidak ada di Youtube? Semua tersedia. Anak disodori banyak vidio bahkan anak dapat mencari vidio apapun, tak terkecuali vidio pornografi.
Kedua, perilaku orang sekitar anak.
Anak pengamat yang baik. Cermat, teliti, dan tepat. Anak layaknya bunglon meniru apa yang di lihat. Perkataan dan perbuatan. Ketika ia tak sengaja mendengar kata jancuk. Maka, perkataan itu diungkapkan di lain waktu dan tertanam dalam pada ingatannya. Begitupun perilaku. Direkam, dicermati, dan ditirukan.
Ketiga, lemahnya pengawasan lingkungan oleh masyarakat.
Masa bodoh adalah budaya yang terus dipegang teguh oleh mayoritas masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Jangan kira di desa tak ada budaya masa bodoh.Â
Masyarakat atau orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dengan anak yang menyimpang akan sukar memberi nasihat lebih-lebih menghentikannya. Mereka beranggapan bukan urusannya, bukan kewenangannya, dan bukan tanggung jawabnya.
Hal tersebut budaya salah. Justru dengan masyarakat turut memberikan pengawasan dan pelarangan maka dapat menciptakan suatu kondisi lingkungan yang aman, damai, dan tentram. Coba pikir.Â
Bagaimana jadinya, jika anak tetangga yang masih seumur singkong melakukan seks pra nikah dengan anak kita? Ini adalah tindakan puncak atas sikap bodoh amat terhadap perilaku kita yang membiarkan kedua anak tersebut berpacaran. Masih cinta monyet. Ngak bakal lama.Â
Untuk saat ini, cinta monyet lebih berbahaya ketimbang cinta sejati. Karena monyet, berpikir semaunya hanya mengedepankan nafsu belaka.
Sebenarnya anak-anak kita telah dewasa sebelum waktunya. Aksi pacaran, sayang-sayangan, cinta-cintaan adalah akibat tontonan anak yang sengaja dibiarkan orang tua.Â
Coba tilik sejenak. Merokok juga tindakan hasil mengamati, mencermati, dan meniru perilaku orang tua bahkan orang sekitar anak. Seks pra nikah bagi anak dibawah 17 tahun adalah akibat tontonan porno di internet maupun media sosial.
Lantas apa ramuan mujarab agar anak tetap menjadi seorang anak sesuai dengan usianya? Hanya satu. Kontrol atau pengawasan orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H