Petani di Indonesia jumlahnya puluhan juta. Mereka adalah produsen dalam rantai konsumsi kebutuhan publik. Para petani ibarat mata air penghidupan. Sebab, petanilah yang menghasilkan berbagai macam pangan, baik padi (beras), jagung, singkong, ubi, kacang, sayuran, dan buah-buahan. Merekalah pahlawan pangan tanpa tanda jasa.
Petani itu beragam. Petani penyewa. Petani berdasi. Petani besar. Petani sedang. Petani kecil. Hingga petani mikro. Variatif, tapi tugas pokok mereka adalah sama—bercocok tanam. Menjadi penyuplai kebutuhan bahan pokok baik di desa hingga kota sekelas Jakarta.
Beras berkarung 5—50 kg yang terpajang di setiap pasar tradisional, supermarket, hingga toko online pun berasal dari tanah yang sama. Tanah desa. Harganya pun terjangkau sekitar Rp9500—Rp12500/kg. Tak perlu menyemai benih, berpanas-panasan di sawah, memanen padi. Cukup menyodorkan selembar rupiah ungu. Beras pun di tangan.
Akan tetapi, pernahkah kita berpikir tentang keluh kesah para petani?
Sebagian dari kita tentu memikirkan hal itu. Apalagi bagi mahasiswa program studi pertanian di seluruh Indonesia, pastilah paham permasalahan petani Indonesia.
Perlu diingat, bahwa petani di Indonesia ada dua kelompok besar. Petani yang bernaung di bawah kelompok tani dan petani yang beratap jerami. Keduanya sama-sama berlangit Indonesia. Perbedaan mencoloknya ada pada praktik pertanian. Bukan teknik tanam. Tapi manfaat yang didapat dari pemerintah sangat berbeda.
Pertama, proses mendapatkan benih tanaman.
Harga jual dan produk tanaman pun berbeda. Ada pemisahan antara petani kelompok tani dengan petani non kelompok tani. Ambil contoh, benih jagung pertiwi 2 dengan pertiwi 3.Â
Sama-sama varietas jagung hibrida tapi beda peruntukan. Jagung pertiwi 2 hanya diperjualbelikan kepada petani kelompok tani. Sedangkan, jagung pertiwi 3 dipasarkan untuk umum (petani kelompok tani maupun non kelompok tani).
Harganya berbeda jauh. Satu kilogram jagung pertiwi 3 dibanderol Rp45000 dan 5 kg jagung pertiwi 2 hanya seharga Rp70000. Bayangkan perbandingannga berapa? Ini fakta di lapangan.Â
Entah ini kebijakan pemerintah atau hanya akal-akalan distributor benih, saya tak tahu pasti. Yang pasti dan nyata, itulah yang sekarang terjadi.
Sialnya, saya bukan petani dengan kelompok tani. Bulan lalu saat tanam jagung, saya harus merogoh rupiah sebesar 180 ribu rupiah hanya untuk benih. Itu pun hanya 4 kg. Cukup tidak cukup ya dicukupkan. Lain dengan biaya penanaman, perawatan, pemupukan, dan pemanenan nanti. Jauh lebih besar lagi.
Kedua, proses mendapatkan pupuk.
Sama halnya dengan mendapatkan benih tanaman. Harga pupuk berlainan. Khusus petani kelompok tani memiliki harga sebesar 120—150 ribu rupiah per 50 kg. Bagi petani non kelompok tani dibuka angka 230—280 ribu rupiah per 50 kg. Ini terjadi sudah berlangsung cukup lama, sejak akhir Mei hingga saat ini—Agustus.Â
Sebelum korona, harga pupuk masih 90—110 ribu rupiah bagi petani kelompok tani dan 120—150 ribu rupiah untuk petani non kelompok tani. Harga melambung saat korona. Padahal, petani kesusahan mencari sesuap nasi.
Ketiga, masalah harga jual.
Banyak tengkulak beragam pula harga yang dtawarkan. Tengkulak padi membanderol per kilogram gabah Rp4000—5000 saja. Tengkulak jagung pun variatif, ada yang memberi harga 800—3000 rupiah per kilogram jagung. Harga tersebut tak terpengaruh siapa petaninya, entah petani kelompok tani maupun petani non kelompok tani.
Itulah beberapa masalah pertanian Indonesia. Bukan lagi hama tanaman atau cuaca ekstrim sebagai faktor utama gagal panen. Namun, kebijakan pemerintah atau hanya permainan membajak sawah yang saling lempar lempung satu sama lain. Saya kurang paham betul. Akan tetapi, hal tersebut nyata terjadi pada kami—pata petani Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah petani telah sejahtera? Sejahtera bagi petani besar. Pas-pasan bagi petani sedang. Menggeh-menggeh bagi petani mikro. Apalagi petani penyewa yang kudu bayar sewa. Tak sebanding dengan pendapatan saat panen. Merugi? Tentu.
Pos-pos pengeluaran petani lebih besar ketimbang pos pendapatan. Terutama petani non kelompok tani yang memang sedari awal memiliki perbedaan pengeluaran.
Untung bagi petani besar dan lahan milik sendiri. Sengsara bagi petani mikro dan penyewa lahan pertanian. Pusing tujuh keliling. Bahkan bakal mati berdiri jika terkena hama dan musim pancaroba. Kerugian pasti didapat. Gagal panen. Rugi sejagat.
Sungguh petani Indonesia belum sejahtera dan merdeka. Kita berharap petani Indonesia lebih sejahtera dan merdeka esok nanti.
Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H