Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah untuk Konsisten?

29 Juli 2020   08:25 Diperbarui: 29 Juli 2020   08:45 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keraguan selalu menyertai setiap langkah seseorang. Besar atau kecil tetap jadi batu sandungan yang mengancam perjalanan kita sebagai manusia. Jika tersandung kita akan jatuh dan butuh proses untuk dapat bangkit seperti sedia kala. 

Maka dari itu, diperlukan konsistensi terhadap pilihan yang diambil. Untuk dapat konsisten kita butuh komitmen. Artinya, kita yang berbuat maka kita pula yang bertanggung jawab. Begitu pula dengan pilihan, kita harus bertanggung jawab atas pilihan yang telah dipilih. 

Membentuk sikap konsisten sangatlah sulit apalagi pada seorang anak yang baru lulus SMA. Orang dewasa saja terkadang tidak memiliki konsistensi. Banyak godaan yang membelokkan pikiran kita sehingga gagal menempuh tujuan awal. Kegagalan tersebut membuat kita menyesali tindakan yang kita ambil. 

Itulah mengapa kita harus berkomitmen terhadap pilihan atau tujuan awal agar konsistensi selalu berada dalam benak kita.

Nikmati Kuliahmu
Pada masa itu, kita adalah anak yang baru lulus SMA dan paling banyak akan memilih melanjutkan pendidikan. Kita ikut berbagai macam jalur seleksi bahkan ikut bimbel biar tambah pinter. 

Namun saat itu semua tercapai---kita diterima di perguruan tinggi idaman atau terpaksa masuk ke perguruan tinggi tertentu---ternyata rasa kebahagiaan itu pudar setiap hari hingga muncul perasaan bosan, jenuh, letih, lelah bahkan tidak sanggup meneruskan studi. Hal inilah yang membuat pikiran kita ragu akan pilihan kita sendiri. 

Bersamaan dengan itu, lahirlah alasan-alasan menyudahi pilihan itu. "Kalau kerja kita dapat uang, kuliah ngeluarin uang. Mending kerja aja, nggak perlu ketemu dosen, mikir praktik atau buat esai," mungkin perkataan tersebut terbesit di benak kita. 

Apakah karena itu, kita rela melepas apa yang telah diperjuangkan? Kita mungkin lupa betapa sulitnya menembus gerbang perguruan tinggi, berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk ikut segala macam tes seleksi, bimbel dan kita lepas begitu saja?

Saya akui, kuliah itu berat dan memakan biaya besar. Maka, tidak semua anak lulusan SMA menempuh pendidikan tinggi. Akan tetapi, ada sebagian anak lulusan SMA dari keluarga kurang mampu (berada di bawah garis kemiskinan) berhasil mendobrak pintu gerbang pendidikan tinggi. Contoh, seorang anak buruh pasir ternyata dapat melanjutkan pendidikan. 

Masalah kuliah itu berat bukan alasan bagi kita yang ingin meraih cita-cita. Semua itu dilakoni dengan cinta sehingga hati dan pikiran selalu senang dan riang. Nggak ada beban. Masalah biaya kuliah bukan hambatan bagi anak orang beruang, tapi ini kendala bagi anak dari keluarga miskin seperti anak seorang buruh pasir. Berapa sih upah seorang buruh pasir? Kok bisa nyekolahin anaknya hingga perguruan tinggi. Buat biaya hidup saja tidak cukup, kok bisa? 

Mereka mengandalkan Tuhan karena Dia yang memberi rezeki. Setiap hari hanya dapat upah lima puluh ribu dan menjelang bayar biaya kuliah anaknya dalam waktu sepuluh hari kerja dapat uang lima juta, eh ada dermawan ngasih sepuluh juta. Benar, Tuhan itu memberi apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Udah, lunas biaya kuliahnya. 

Rezeki itu datang tanpa disangka-sangka. Mereka anak dari keluarga miskin dalam kesehariannya hanya bersyukur dan bersungguh-sungguh. Bersyukur atas nikmat Tuhan mereka bisa kuliah, kebutuhan ini itu tercukupi, dan biaya kuliah pun terbayarkan. Bersungguh-sungguh dalam belajar karena mereka tahu berasal dari kasta mana. Mereka ingin membuktikan bahwa anak seorang buruh pasir dapat sukses seperti mereka (jadi direktur, pengusaha, gubernur maupun presiden).

Pilihan itu harus dikerjakan secara tekun dan konsisten, tidak memandang asalmu dari mana, baik anak orang kaya maupun anak orang miskin. Siapa yang mampu tekun dan konsisten maka, ia akan berhasil. Janganlah kita mengeluh atas ketidaknyamanan dalam proses itu. 

Cukuplah kita bersyukur dan bersungguh-sungguh menjalani segala perjalanan ruang dan waktu karena komitmen akan tertanam dengan sendirinya bersama sikap tersebut.

Nikmati Pekerjaanmu
Bekerja juga butuh konsistensi, bukan kuliah saja. Bekerja itu susah dan cari penghasilan sulit. Benar. Apalagi yang bekerja di pabrik kayu. Selain beban kerja berat juga disertai ancaman kesehatan seperti polusi udara dan kebisingan mesin pabrik. 

Kita yang bekerja kadang mengeluh capek, letih, lelah, gaji terlalu kecil, beban kerja bikin stres, dan semacamnya. Keluhan ini yang memunculkan pilihan enggan bekerja dan memutuskan untuk berhenti tanpa alasan yang jelas. Kita resign dan nganggur ini tindakan paling bodoh dalam hidup kita. 

Mereka di luar sana ngemis-ngemis di pabrik tahu misalnya, nggak dikasih. Malah kita yang sudah dapat pekerjaan minta berhenti dengan alasan macem-macem. Yang namanya bekerja itu ya capek, ya letih, ya lesu, ya lelah, ya begitu sistem upahnya, dan beban kerja begitu. 

Kita seharusnya bersyukur bisa bekerja dapat penghasilan bisa membantu orang tua. Terus kalau sudah berhenti, susah cari kerja nganggur akhirnya. Oleh karena itu, kita harus berkomitmen dengan diri kita sendiri. Kalau bekerja harus bersungguh-sungguh, jalani dengan ikhlas agar semua terasa ringan.

Lain cerita saat kita resign dari pabrik A dan pindah ke pabrik B. Konsistensi bekerja tetap ada dalam diri kita. Berbeda dengan kita resign dan nganggur itu tandanya konsistensinya luntur atau memudar. Resign dan bekerja lagi itu boleh dilakukan. Berarti ada hal-hal yang menjadi pertimbangan untuk melakukan pindah kerja. Kriteria orang seperti ini mampu mengatasi masalah dengan baik. 

Misalnya gaji di pabrik A dua juta per bulan dan di pabrik B tiga juta per bulan dengan beban kerja yang sama. Mengeluh gaji rendah ya pindah kerja bukan berhenti bekerja. Hal ini boleh dilakukan asal tidak terlalu sering, contoh dalam satu tahun kita sudah pindah pada tiga perusahaan. Ini salah, berarti kita sudah kehilangan komitmen dalam diri kita bahkan kehilangan rasa bersyukur, sungguh-sungguh, dan ikhlas.

Jika kita mampu bersikap sungguh-sungguh, ikhlas, dan bersyukur dalam bekerja niscaya komitmen sudah tertanam kokoh pada diri kita. Ketika komitmen sudah ada maka kita akan selalu konsisten terhadap pilihan yang dipilih, karena pilihan itu adalah tanggung jawab kita sendiri.

Nikmati Pernikahanmu
Salah satu tujuan hidup kita ialah menikah. Setiap orang diwajibkan untuk menikah karena menikah sebagian daripada ibadah. 

Menikah itu gampang yang sulit dan berat adalah menjalani kehidupan setelah menikah, apalagi menikah di usia muda yang mana kematangan emosional, kematangan berpikir, dan kematangan spiritual belum cukup mampu menghadapi liku-liku rumah tangga hingga pada ujungnya terjadi perceraian. 

Jika hal itu menimpa seseorang berarti ia belum mampu berkomitmen, sebab menikah itu perpaduan komitmen antara istri dan suami untuk membina keluarga dan berusaha konsisten dalam kondisi apa pun.

Lulus SMA kita pilih menikah. Sungguh pilihan yang sangat berat, apalagi bagi kaum wanita. Jarang seorang laki-laki yang baru lulus SMA langsung menikah, sebab ia harus bekerja dan berpenghasilan terlebih dahulu baru boleh menikah, karena laki-laki menanggung tanggung jawab besar untuk menafkahi kehidupan keluarga. 

Dengan menikah kita jadi terikat, tidak bebas, tidak seperti pada masa SMA atau masa lajang. Kita akan dibebani berbagai macam aturan seakan membuat diri kita terkekang, terkurung, dan terisolasi. Pada akhirnya perasaan tidak nyaman dalam keluarga muncul akibat pertengkaran hingga perselisihan atau perceraian. 

Terlebih lagi kita sendiri belum memiliki tingkat kedewasaan sebab masih dibimbing orang tua. Patut diketahui bahwa sekat-sekat itu, kita sendiri yang membuatnya.

Hal-hal seperti itu seharusnya tidak terjadi ketika kita mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga, menjaga keharmonisan, saling mengerti dan memahami juga terbuka. 

Upaya tersebut merupakan salah satu komitmen di antara suami istri sehingga mampu konsisten terhadap pilihan. Membina keluarga tidak mudah, banyak godaan menerpa, masalah datang silih berganti, tetapi jika dilandasi dengan komitmen maka halang rintang tersebut akan mudah ditangani. Sehingga tercipta kehidupan keluarga yang harmonis dan bahagia.

Di dunia ini ada orang yang mampu bersikap konsisten terhadap dua pilihan bahkan tiga pilihan sekaligus. Baik melanjutkan pendidikan tinggi dan bekerja, melanjutkan pendidikan tinggi dan menikah, memasuki dunia kerja dan menikah, bahkan melanjutkan pendidikan tinggi, memasuki dunia kerja dan menikah. 

Mereka adalah orang dengan tingkat kedewasaan tinggi, tingkat kematangan pikiran sempurna dan tingkat emosional stabil. Orang dengan kriteria tersebut tidak sepenuhnya berasal dari orang dewasa dengan usia lebih dari 30 tahun, melainkan ada yang lebih muda yakni mulai 20 tahun. 

Teman saya kebetulan perempuan, ia satu kelas di SMA juga lulus bersama saya. Ia kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan saya, lalu ia menikah dan bekerja. Luar biasa sempurna. Tak terbayangkan ia memiliki tingkat kedewasaan, tingkat kematangan pikiran dan tingkat emosional yang sangat sempurna, padahal usianya sebaya dengan saya yakni 20-an tahun. 

Saya tanya rahasianya, "komitmen" katanya. Jadi benar, dengan kita berkomitmen maka konsistensi terhadap pilihan yang dipilih dapat tercipta atau terwujud dan membawa kita pada puncak kebahagiaan.

Kesulitan dalam menjalani hidup pasca SMA akan dirasakan oleh semua orang, tidak mengenal kasta bawah maupun kasta atas, semua rata dan pasti merasakan. Tak jarang banyak yang gagal menghadapinya mulai berhenti kuliah karena drop out, dipecat perusahaan dan perceraian dalam rumah tangga. Sayang, kita tidak bisa mempertahankan apa yang kita bangun dan perjuangkan untuk mendapatkannya. 

Semua berawal saat kita tidak memiliki komitmen terhadap pilihan, mudah goyah, tersulut amarah dan menuruti hawa nafsu. Runtuh, segalanya runtuh hancur berkeping-keping. Meninggalkan penyesalan dan penderitaan di masa depan. 

Namun, ketika pilihan-pilihan itu dibangun berdasarkan komitmen yang kuat maka, semua halang rintang dapat dilalui dengan mudah dan konsistensi terhadap pilihan akan tercipta dalam benak kita yang membawa pada puncak kejayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun