Di sela-sela kesibukannya mengajar, ia juga menyibukan diri mengamati dan memahami penderitaan hidup pribumi Sumatra. Ia sempat mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang atas permintaan Semaun, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada waktu itu.
Jejak Politik & Pelarian
Tan Malaka mulai menginjak dunia politik saat menjadi ketua PKI pada tahun 1921, namun ia diusir oleh kolonial Belanda dari Indonesia karena dianggap ancaman. Ia lalu tinggal di Belanda dan aktif berpolitik dengan golongan Marxis, bahkan hampir terpilih dalam parlemen Belanda sebagai wakil Partai Komunis Belanda.Â
Tak banyak yang tahu bahwa Tan Malaka pada 12 November 1922 di Moskwa, pernah berpidato mengkritik habis-habisan tesis Lenin tentang "perjuangan melawan Pan-Islamisme".Â
Di depan Kongres IV Komintern (Kongres Komunis Internasional) Tan Malaka mengusulkan pendekatan yang lebih positif dan menuntut kaum komunis agar mau bekerjasama dengan kelompok-kelompok revolusioner muslim.
Karir politiknya semakin naik dengan menjadi wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Di satu sisi, hubungannya dengan PKI semakin renggang karena ia tidak setuju akan rencana pemberontakan PKI tahun 1926 karena dianggap terlalu terburu-buru. Pemberontakan itu gagal total dan PKI menyalahkan Tan Malaka hingga ia keluar dari PKI.Â
Tahun-tahun selanjutnya merupakan masa-masa pelarian, bak dalam film-film spionase ia berpindah dari satu negara ke negara lain karena diburu oleh intelejen Belanda dan Inggris. Ia pernah tinggal dan mengajar di Filipina, Cina, Hongkong, serta Singapura hingga pada tahun 1942 ia berhasil kembali ke Medan dan tinggal di Banten Selatan. Pada masa ini, Tan Malaka mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh revolusi Indonesia.
Merdeka Seratus Persen
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bagi Tan Malaka bukanlah arti kemerdekaan sesungguhnya, baginya bangsa ini belum merdeka. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menandakan bahwa kemerdekaan tidak dapat diperoleh melalui meja perundingan, namun harus melalui revolusi.Â
Dengan semboyan "merdeka seratus persen", Tan Malaka dengan keras menentang politik diplomasi Soekarno-Hatta. Pada hari terakhir Kongres Purwokerto 16 Januari 1946, Tan Malaka bersama tokoh revolusi lain seperti Jenderal Soedirman membentuk "Pesatuan Perjuangan" yang mengadopsi program tujuh butirnya, di antaranya:Â 1). Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%, 2). Pemerintah rakyat, 3). tentara rakyat, 4). melucuti tentara jepang, 5). mengurus tawanan eropa, 6). menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh, 7). menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh. Persatuan Perjuangan menjadi kelompok oposisi pertama yang menjadi lawan kabinet Sjahrir.
Pada 17 Maret 1946, Tan Malaka dituduh sebagai dalang penculikan perdana mentri Sjahrir dan ditahan tanpa diadili. Seakan tak kapok setelah dilepaskan dari tahanan 16 September 1948, bukannya menyudahi aksinya, ia tetap kekeh mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas berdirinya partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan "anti-fasisme, anti-imperialisme dan anti-kapitalisme".