"Cerita.., selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa, atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit daripada sang manusia... jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."Â -
Pramoedya Ananta Toer, siapa yang tak kenal salah satu sastrawan terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Apalagi di kalangan para pecandu literasi. Sastrawan kelahiran Blora ini telah menghasilkan puluhan karya yang telah diterjemahkan lebih dari 42 Bahasa.Â
Salah satu karya yang dapat dibilang masterpiece nya yaitu Bumi Manusia. Novel ber genre roman sejarah ini sebenarnya satu dari empat series novel yang dinamai Tetralogi Buru, karya yang ditulis Pram saat menjadi tahanan politik di pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979).Â
Hanya bermodalkan ingatan dan catatan arsipnya, Pram menulis Bumi Manusia sebagai seri pertama Tetralogi Buru hingga novel ini terbit pada tahun 1980 dan sempat dilarang oleh rezim Soeharto karena dianggap mengandung paham Marxisme-Leninsme.Â
Baca juga: Aspek Hukum dalam Novel "Bumi Manusia"
Tetralogi Buru tediri dari Bumi manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tapi tenang, seri ini dapat kalian baca secara terpisah tanpa khawatir tidak nyambung.  Sebelum me-review buku ini, saya akan meringkas buku ini secara singkat agar kalian mendapat gambaran seperti apa ceritanya....
Ringkasan isi buku
Bumi Manusia mengambil latar pada penghujung abad ke-19 (1890-1899) di negeri tercinta ini yang dulu namanya masih Hindia Belanda.Â
Kita akan menyelami cerita melalui sudut pandang Minke, seorang priyayi pribumi sekaligus siswa HBS Surabaya (semacam Sekolah Menengah yang dikelola Kolonial Belanda).Â
Ia merupakan pribumi yang cerdas, pandai menulis serta begitu membanggakan peradaban Barat karena menurutnya negara barat melahirkan modernisasi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.Â
Pada suatu waktu dia menerima ajakan temannya, Robert Suurhof untuk memenuhi undangan makan malam di rumah Nyai Ontosoroh, seorang gundik sekaligus pengusaha.Â