Mohon tunggu...
Novel Batuhieum
Novel Batuhieum Mohon Tunggu... -

DENGAN NOVEL INI AKU INGIN BALAS DENDAM |Penulis: A. Ranggasetya| |Genre: Romance| |Penerbit: Kalika, September 2012| |ISBN: 978-979-9420-28-2| |Tebal: iv + 268 halaman| |Blog Penulis: www.ranggasetya.wordpress.com|

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Korban Kesalahpahaman Praktek Poligami

16 November 2013   11:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:06 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu, di masa orde baru, ketika Abah Wira masih menjabat kepala desa Batuhieum, berbagai upaya dilakukan untuk mensosialisasikan program KB, dari mulai penyuluhan setiap bulan di balai desa sampai memasang spanduk di jalan-jalan. Hasilnya tidak mengecewakan, pembekakan jumlah penduduk dapat ditekan.

Bi Ratih, ibunda Nenden, adalah salah satu perempuan yang ikut ber-KB ria. Semasih pacaran dengan Kang Hamid, Ratih muda mendambakan keluarga kecil keluarga bahagia. Terwujud, Kang Hamid memberinya anak tiga. Satu laki-laki bernama Goni adalah anak pertama, disusul Nenden dan kemudian si bungsu Eyay. Bahagiakah Ratih? Ternyata keluarga kecil tidak membuat hati perempuan 36 tahun itu merasa tentram. Ia dan ketiga anaknya kecewa karena ternyata Kang Hamid mendua cinta.

Awal masalah itu hanya terhitung sejak lengsernya Wira Sudrajat dari kursi kepala desa. Pak Hardi, masih famili dekat Wira, dipilih secara demokratis untuk mengemban tugas memimpin desa. Di bawah kepemimpinan Pak Hardi, KB seakan-akan kehilangan pamornya, tergerus oleh program yang satu ini: poligami. Istri empat, anak banyak, rejeki meriah adalah cita-cita mulia Pak Hardi sejak dini.

Di masa Pak Hardi inilah istilah poligami mulai dikenal warga, spanduk dibikin gede, terpasang di muka lapangan dekat kantor kepala desa: BERPOLIGAMI UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA BESAR YANG SAKINAH. Pak Hardi sendiri memboyong tiga istri. "Istri ke-4 masih dicari," selorohnya dalam pertemuan para poligamer sekecamatan Lebaksari. Pada kesempatan itu pula ia mengemukakan bahwa poligaminya tanpa dorongan hasrat seksual, melainkan karena ingin menjalankan sunah Rasul. Yap, selama orang yang menjalankannya benar-benar diniatkan karena Allah serta mampu bersikap adil bijaksana secara ja smani dan materi, poligami bukan sesuatu yang tabu untuk dipraktekkan. "Poligami itu bagus karena bisa mencegah perbuatan selingkuh yang sekarang sudah menjadi trend di kalangan artis dan pejabat," katanya lagi. Tapi, apa pun alasan-alasan yang dikemukakan Hardi, orang-orang terlanjur mengidentikan poligami dengan masalah libido, maka mau tak mau program itu mengundang kontroversi di kalangan istri, terutama bagi ibu-ibu yang suaminya berlibido menggebu.

Dan Bi Ratih mesti jadi korban kesalahpahaman praktek poligami, Kang Hamid yang dipuja-puja semasa gadisnya ternyata sudah ancang-ancang hendak menyunting perawan cantik asal desa Ciborelang. Bi Ratih dipersilakan memilih: mau dimadu atau cerai. Ratih berusaha lapang dada, demi anak-anak ia memilih dimadu. Sejak itulah, hanya seminggu sekali Ratih dan anak-anaknya dapat bercengkrama dengan Hamid, karena ternyata Hamid lebih suka tinggal berlama-lama dengan istri mudanya yang masih bahenol di Ciborelang.

Goni tak terima. Ia murka atas ketidak-adilan bapaknya. Hampir dua bulan lamanya ia tak menegur Kang Hamid layaknya anak kepada bapak. Sampai pada suatu hari, Goni pergi sendiri ke Ciborelang dan berkoar di depan bapak serta ibu tirinya: "Kalau Bapak tak membelikan aku motor, jangan harap aku sudi memanggilmu bapak!"

Terang saja Kang Hamid merah padam. Ia menampar Goni, mengusirnya seperti mengusir gelandangan borokan. Goni pulang dengan memendam kebencian.

Seminggu kemudian, Kang Hamid datang mengendarai Supra Fit yang masih mengilat ke Batuhieum. Sepeda motor itu ditinggalkannya dengan amanat agar Goni memanfaatkannya untuk menambah-nambah nafkah keluarga. Kang Hamid juga memberi pilihan pada kedua anak perempuannya: ikut Bapak atau Ibu. Nenden dan Eyay memberi jawaban dengan cara memeluk ibunya. Maka terucaplah tanpa sendat kata-kata cerai dari mulut Kang Hamid.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun