Mohon tunggu...
Novel Batuhieum
Novel Batuhieum Mohon Tunggu... -

DENGAN NOVEL INI AKU INGIN BALAS DENDAM |Penulis: A. Ranggasetya| |Genre: Romance| |Penerbit: Kalika, September 2012| |ISBN: 978-979-9420-28-2| |Tebal: iv + 268 halaman| |Blog Penulis: www.ranggasetya.wordpress.com|

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Harapan Naif Seorang Kekasih

12 November 2013   09:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:16 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam raya temaram. Langit bertabur bintang. Bulan mengambang di balik awan. Angin bertiup menjauhkan mendung. Goni dan Yuniar duduk di tembok pembatas teras dengan halaman. Angin dingin terus berseliweran menerpa wajah keduanya, mendorong-dorong tubuh Goni agar lebih merapat ke tubuh Yuniar. Tapi, Yuniar malu dengan kerudung yang dikenakannya, ia bergerak menjauh. Goni kecewa, menelan ludah, lalu turun ke halaman memungut beberapa batu kecil.

"Rasanya baru kemarin kamu kelas satu, sekarang sudah kelas tiga," Goni melemparkan batu itu ke kolam yang tak jauh dari tempat duduknya.

Plung! Air muncrat. Beberapa tetes hinggap di muka Yuniar.

Goni melanjutkan: "Itu artinya hubungan kita sudah berjalan dua tahun lebih, tepatnya dua tahun tiga bulan empat hari."

Yuniar tertawa: "Kamu mengingatnya sedetil itu?"

"Ya iyalah, namanya juga Goni."

Lagi-lagi..., plung! Air kolam berkeciprat ke tubuh Yuniar.

Goni tak menghiraukan delikan kesal orang yang diajak bicara: "Selama 2 tahun lebih kita bersama, aku heran sendiri, kenapa aku sanggup mempertahankannya?"

Lagi-lagi..., plung!

Yuniar memekik: "GONIII!"

Goni tak peduli. Diambilnya lagi batu sebesar kepalan tangan. Belum sempat dilempar, Yuniar keburu menangkap tangannya.
Mereka kembali duduk, kali ini agak berdekatan. Asyik, pikir Goni, jurus melempar batu tadi benar-benar ampuh.

"Kalau saja aku bukan seorang Goni, mungkin sudah lama kuputuskan hubungan kita. Membosankan! Tapi aku seorang Goni, yang sabar, yang setia. Seorang Goni sanggup bertahan, teruuuus bertahan. Karena memang cinta seorang Goni sangat besar dan dalam."

Yuniar tak bisa menahan tawa: "Dengan alasan cinta yang dalam kamu mengirim teror SMS setiap hari padaku."

"Jangan marah kalau aku kirim SMS, Yun. Itu pertanda bahwa aku takut. Takut apa? Takut kehilanganmu."

Yuniar mendesah. Ia tak tahu harus ngomong apa. Ia tahu ucapan Goni, yang melankolis abis itu, bukan sekadar gombalan belaka. Ia tahu perasaan Goni sesungguhnya. Ia tahu cinta Goni memang dalam. Tapi, soal ketakutan itu..., ah, seharusnya tak perlu.

"Tak lama lagi kamu lulus, kan, Yun?"

"Tiga bulan lagi."

"Kamu yakin lulus?"

"Yakin."

"Kuharap kamu tak lulus saja."

"Kejam!"

"Ini harapan seorang kekasih."

Goni tak mau cita-cita Yuniar kuliah di Bandung akan menjadi jurang pemisah cinta mereka.

"Kalau kamu kuliah ke Bandung, aku juga akan pergi dari Batuhieum."

Yuniar terperangah: "Pergi ke mana?"

"Batam."

"Jauh-jauh ke Batam?”

"Cari kerja."

Yuniar termangu. Diam-diam Goni bahagia melihat rona sedih di wajah pacarnya.

Tapi, eit, tunggu dulu! Yuniar menyadari jebakan itu. Perlahan ia mengumbar senyum: "Pergilah, Gon. Aku pasti akan mendoakanmu. Aku setuju niatmu ke sana cari kerja. Aku harap kamu jangan lupa kalau sudah sukses."

Hek! Goni sesak napas mendengar tanggapan itu. Dikiranya akan mendapat cegahan, eh, malah didoain.

"Kamu tak takut aku terpikat wanita cantik di sana?"

"Aku percaya kamu setia."

"Kesetiaan ada batasnya."

"Itu berarti kamu bukan jodohku."

Goni makin terhenyak. Sekarang dia termangu. Putus asa.

Beberapa menit kemudian ....

Goni memanggil lirih: "Yun!"

Hanya suara-suara malam bersahutan: gemericik air pancuran, jengkrik mengirik, kodok mengorok, suara pemuda bernyanyi di poskamling.

Yuniar diam memaku. Cahaya bulan menyiram wajahnya.

"Yun, kok diam?"

"Habis mau ngomong apa lagi?"

"Kamu ingin aku pulang?"

"Jika kamu tak tersinggung."

Diam lagi beberapa detik.

"Setelah aku pulang, kamu mau apa?"

"Belajar, siap-siap menghadapi ujian."

"Oh, aku benci sekali!"

Diam lagi.

Goni berdiri dengan lesu. Sejenak ia pandangi wajah Yuniar yang menunduk.Tak lama ia berbalik. Tak bicara sepatah kata pun ia melangkah turuni teras. Hatinya sakit dan kecewa.

Di luar halaman, Goni menendang pagar bambu. Untungnya sang pagar tertanam kuat, jadinya Goni harus terjengking-jengking menahan sakit di jari kelingking. Ia juga harus merelakan tali sandalnya putus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun