Sejarah dari lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warwan Adam, menyebut isu PKI adalah "Khayalan". Sementara Buya Syafi'i Ma'arif menyebut isu PKI adalah "isu tak bermartabat."
Gus Dur dalam sebuah kesempatan pernah memberikan pandangannya terkait peristiwa 65. Beliau memutuskan meminta maaf karena banyak dari kalangan nadhliyin yang terlibat. Beliau mengungkapkan jika tidak salah sikap keras NU pada PKI, karena pilihannya membunuh atau dibunuh. PKI dan NU itu korban keadaan, sementara tidak adil juga menimpakan semua kesalahan ke PKI, seolah-olah pihak tentara yang bersih. Tentara dalam hal ini angkatan darat, Soeharto, karena beberapa penelitian kontemporer membahas soal hal tersebut.
Gus Dur juga mengemukakan soal tidak ingin menyebarkan kebencian pada generasi muda NU, beliau ingin anak muda NU tidak tuna sejarah dalam melihat pelbagai prahara politik. Agar beban sejarah lebih ringan ke depan, langkah lebih bijak dalam menilai sesuatu.
Namun kata-kata bijak diatas masih tak berlaku pada era kekinian. Masih ingatkah kita pada Seorang pria yang diamankan aparat Kepolisian Sektor Kepanjen. Pria bernama Siari (36), Warga Dusun Mulyosari, Desa Sumberejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, ini diamankan petugas karena mengenakan kaos bergambar Palu Arit, simbol lambang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). (Baca : http://beritajatim.com/peristiwa/266122/urus_surat_ke_samsat_pakai_kaos_pki,_siari_ditangkap.html)
Kemudian masih ingatkah kita terhadap penangkapan lima mahasiswa asal kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, diamankan Polres kota Ternate, Rabu 11 Mei  2016. Mereka ditahan, lantaran memiliki kaos yang diduga sebagai lambang komunis. Penjelasan dari aparat penegak hukum, lambang tersebut memiliki unsur kesamaan dengan logo Partai Komunis Indonesia (PKI).( http://www.viva.co.id/berita/nasional/771232-pakai-baju-pki-lima-mahasiswa-ternate-ditangkap).
Mari kita ingat lagi penangkapan yang dilakuakan Polres Ternate menahan dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Adlun Fiqri dan Supriyadi Sawai karena mengenakan kaos dengan akronim PKI. Meskipun PKI yang dimaksud dalam kaos tersebut singkatan dari Pecinta Kopi Indonesia. (Baca: https://news.detik.com/berita/d-3210276/pemuda-pemakai-kaos-pecinta-kopi-indonesia-resmi-ditahan-terkait-komunisme).
Alsan-alasan aparat penegak hukum menangkap mereka, mengacu pada TAP MPR 2005 Junto pasal 107 huruf A UU No 20 Tahun 1999 tentang keamanan Negera.
Berangkat dari kasus di atas saya ingin bertanya ada apa dengan mereka?. Kenapa mereka di atas ditangkap dan di intrograsi, padahal mereka tidak menyalahi aturan dan tidak diatur dalam UU terkait dengan pengunaan kaos ataupun membaca buku yang berbau PKI kemudian ditangkap. Padahal negara kita adalah Negara demokrasi, uuups masih demokrasi gak ya negera kita?
Padahal Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menginstruksikan kepada jajarannya agar menonton film G30S/PKI. Instruksi ini ditujukan untuk seluruh satuan di TNI baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara. Apakah intruksi panglima TNI Gatot Nurmantyo tidak menganggu keamanan Negara?
Kenapa saya mempertanyakan hal tersebut, secara tidak langsung instruksi tersebut tidak jauh berbeda dengan dengan seseorang yang memakai kaos di atas. Padahal niat dari seseorang di atas tidak ingin menyebarkan ideologi PKI.
Walaupun alasan Jendral menginstruksikan melihat Film G30 S PKI untuk memberikan pengetahuan sejarah kepada para prajurit TNI. Gatot juga mengajak masyarakat untuk menonton film ini, dan disambut luas oleh publik. Sejumlah SMA sudah menggelar aksi nonton bareng film G30S/PKI. Namun Mendikbud Muhadjir Effendy melarang siswa SD dan SMP menonton film ini. Menurut Muhadjir, film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI seharusnya tidak ditayangkan untuk penonton semua umur.
Menurut pengamatan saya masyarakat umum merasa terganggu dengan isu tersebut. Pertanyaannya adalah kenapa para prajurit TNI Â tidak diberi instruksi untuk membaca buku yang berkaitan dengan sejarah PKI saja?, itu saya kira lebih edukatif dan tidak memunculkan kegaduhan di masyarakat. Sekaligus keamanan Negara juga tidak terganggu.
Selamat jalan September, selamat datang Oktober "Hidup Sumpah Pemuda". Merdeka!!
*Aktivis Melawan Lupa/Pak e Pancaazimat*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H