Mohon tunggu...
Putri Pamuji
Putri Pamuji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ba'ti Putri Pamuji (Putri), Mahasiswa S2-Akuntansi Universitas Airlangga Surabaya

Putri, Lahir di Trenggalek, 12 Oktober 1988 Sedang menempuh studi Magister Akuntansi di Universitas Airlangga Surabaya; Read-Write Enthusiast; Culinary Business Fighter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keviralan sebagai Pemantik Respons: Sebuah Opini dengan Menilik Kembali Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual

12 September 2021   11:35 Diperbarui: 12 September 2021   11:46 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak kasus pelecehan maupun kekerasan seksual terkuak beberapa bulan terakhir. Tidak lepas dari peran organisasi kemanusiaan maupun banyaknya warga net yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Kepedulian terhadap hak asasi manusia dan perbaikan moral generasi penerus bangsa semakin dapat dirasakan

Serentetan kasus pelecehan dan kekerasan seksual pernah terjadi dan mengalami penanganan yang lamban. Bahkan ada yang menuai kontroversi terkait tanggapan maupun keputusan badan yang berwenang.

Salah satu contoh adalah kasus pemerkosaan salah satu mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2017. Permasalahan belum dapat diselesaikan sampai dengan tahun 2019, bahkan pelaku tidak mendapatkan sangsi apapun.

Kasus berikutnya masih ingat dengan Baiq Nuril? Mantan pegawai honorer di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Mataram, Nusa Tenggara Barat yang menjadi korban pelecehan seksual secara verbal dari Kepala Sekolah. Keputusan peradilan berakhir dengan Baiq Nuril-lah yang mendekam di penjara.

Meskipun saat ini sudah dilakukan revisi untuk undang-undang yang sering disalahgunakan itu, bagaimana pandangan masyarakat? Bagaimana dampak psikologis terhadap korban kasus serupa? Akankah korban memutuskan untuk menyampaikan perasaan dan penderitaannya atau lebih memilih untuk memendam?

Melihat pengalaman dari beberapa penanganan kasus yang telah terjadi menjadikan para korban merasa ragu untuk speak up, apalagi untuk mengajukan pelaporan kepada pihak berwajib. Kekhawatiran korban "takut dipojokkan" membayangi.

Di satu sisi korban ingin mendapatkan keadilan tetapi di lain sisi terdapat keraguan serta kekhawatiran yang besar akan diberikan dukungan proses yang memadai atau bahkan mendapatkan perlakuan yang sebaliknya.

Belum lama ini, terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang laki-laki kepada jamaah perempuan yang sedang melaksanakan sholat Ashar di Mushola Jatinegara pada Jumat (4/6/2021). 

Aksi ini terekam CCTV dan terdapat seorang saksi jamaah perempuan yang rela membatalkan sholat kemudian terus meneriaki pelaku sehingga pelaku berhasil ditangkap oleh jamaah beramai-ramai. Kejadian ini viral di media sosial dan laporan atas kasus tersebut dikabarkan langsung diterima dan diproses oleh kepolisian setempat.

Menyusul kasus yang sedang berjalan, yaitu kasus perundungan dan dugaan kekrasan seksual di KPI. Bukan sekedar kasusnya yang marak, kronologi untuk bisa sampai ditanggapi pihak berwajib pun bisa menjadi banyak sorotan. Menuai banyak opini dan pemberitaan.

Menilik kembali kronologi perundungan di KPI telah dialami korban berinisial MS sejak tahun 2011. Tindakan terus dialami MS sampai dengan puncaknya pada tahun 2015 terjadi pelecehan dan kekerasan seksual. Tahun 2017 melakukan pelaporan via surat elektronik kepada Komnas HAM dan diarahkan untuk melapor kepada kepolisian. 

Dua tahun berselang, MS melapor ke kepolisian dan diarahkan untuk diselesaikan secara internal perusahaan. Tidak mendapatkan penanganan yang serius, bahkan dipindahtugaskan ke divisi lain, MS melaporkan kembali pada tahun 2020 ke kepolisian. Akhirnya pada tahun 2021 menjadi viral di media social dan Polres Jakarta Pusat akhirnya menangani kasus ini dengan serius.

Opini berkembang di masyarakat ketika membuka satu-per-satu perjalanan kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini. Diperlukan sebuah proses yang panjang dan tidak sederhana untuk bisa mendapatkan dukungan dari pihak yang berwenang. Bahkan saat ini keviralan seolah memiliki peran yang lebih besar untuk memantik respon yang berwenang dibandingkan dengan laporan kasus yang dilayangkan oleh terduga korban itu sendiri.

Benar bahwa setiap badan negara memiliki prosedur masing-masing yang tidak dapat dibantah. Namun demikian, harapan kami sebagai masyarakat adalah badan-badan negara ini dapat saling bersinergi dalam menanggapi permasalahan di masyarakat karena sepanjang masyarakat melihat, badan-badan negara ini berada dalam satu naungan pemerintahan yang satu yaitu pemerintahan Republik Indonesia.

Tidak mungkin kita akan terus terpuruk dengan mengendapnya kasus-kasus amoral atau bahkan sengaja menepis kasus amoral yang terjadi di tengah masyarakat Semua harus bersuara. Bukan hanya perkara keadilan bagi korban apalagi perkara pencemaran nama baik ketika terbongkar dan terbukti sebagai pelaku. Ini masalah moralitas generasi penerus untuk melanjutkan cita-cita menjadi bangsa yang beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun