Orang Jawa bilang "ono rego, ono rupo" ada harga, ada pula rupa. Maksudnya harga menentukan kualitas barangnya.
Premium merupakan Bahan Bakar Minyak yang oleh orang kami disebut "bensin" yang banyak dibutuhkan masyarakat karena murah dan motor pun juga bisa jalan. Ternyata Premium dan Pertalite ini tergolong bahan bakar dengan kualitas rendah, dan tidak ramah lingkungan "katanya", pantas saja murah. meski sebenarnya dirasa mahal bagi kebanyakan orang. jadi ungkapan "ono rego ono rupo" tersebut pantas dan cocok.
Menanggapi isu yang berkembang soal rencana penghapusan Bahan Bakar minyak (BBM) Premium maupun Pertalite menurut saya tidak pelu berlebihan.
Sekiranya itu harus dilakukan ya lebih baik dilakukan. Jika memang benar mau dihapus tentu alasannya harus logis dan masuk dinalar masayarakat.
Sebab disadari maupun tidak "masyarakat"lah yang bakal menerima imbas atas penghapusan ini. Sebab selama ini "masyarakat" yang paling banyak menggunakan
Cuman yang jadi pertanyaannya, Pertalite maupun Premium dikatakan sebagai bahan bakar yang dinilai tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 20 Tahun 2017 kenapa juga Pertamina masih menjualnya sampai saat ini.
Apakah isu penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite tersebut hanya sebagai tindakan meraba raba dan berandai andai, ataukah hanya sekedar permainan market yang tak layak dipertontonkan kepada rakyat yang tidak bodoh.
Selama ini memang secara pribadi saya memilih Bahan Bakar Minyak (bensin) menurut istilah saya, karena itu yang saya anggap paling murah di antara bahan bakar yang ada.
Katakanlah Premium atau Pertalite untuk kendaraan saya, soal dampak bagi kendaraan sendiri terus terang tidak begitu saya perhatikan. Untuk Premium sudah jarang saya temukan dan tidak pernah lagi menggunakannya.
Begitu juga dengan "mbah Paijo" juga memilih Premium untuk bahan bakar auto rickshaw miliknya jika masih bisa mendapatkannya. Sepengetahuan saya Premium sudah jarang sekali yang menjualnya di Yogyakarta. Kalaupun ada mungkin hanya di beberapa Pom Bensin saja.
Soal standar RON maupun "RAN" atau apalah, "mbah Paijo maupun Bude Mar" tidak mau tau. Yang jelas mereka hanya perlu membeli apa yang dijual karena memang membutuhkan.
Kalau yang dijual dianggap membahayakan lingkungan atau bisa mempercepat kerusakan mesin bukan salah yang beli dong.
Lalu salah siapa? Tentu yang salah yang menjual. Kalau memang demikian kenyataannya, maka yang demikian orientasinya hanya sebatas keuntungan semata, tanpa melihat dampak yang mengiringinya.
Jika alasan yang dikemukakan di atas benar, maka itu bisa dianggap sebagai alasan yang logis dan mungkin bisa diterima oleh banyak orang.
Meski saya yakin hal itu akan menuai protes dan demo dari masyarakat, bukan saja dari "masyarakat tanpa kelas" tapi masyarakat yang paling tinggi kelasnya pun justru akan menyeponsori untuk aksi demo "simpatik" terhadap penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) berlabel Premium dan Pertalite" ini. Tapi mudah mudahan hal itu tidak terjadi.
Namun yang perlu diingat adalah, bahwa pegguna bahan bakar yang dimaksud adalah hampir 90 persen "masyarakat tanpa kelas" sebab mereka juga mengunakan alat transportasi untuk menunjang kelancaran usahanya.
Contoh paling sederhana; mbah "Paijo" yang notabenenya sebagai kakek tukang becak yang sudah tidak begitu bertenaga untuk menggenjot pedal becaknya, sementara masih punya semangat berjuang mencari nafkah untuk menopang hidupnya, maka "mbah Paijo" melakukan modifikasi dengan mesin motor.
Jadilah kemudian sebagai Becak Motor (auto rickshaw) sehingga tidak perlu menggenjotnya (mengayuh) dengan kaki,
Konsekwensinya "mbah Paijo" harus membelikan bahan bakar Rp. 8000,- agar becaknya bisa dijalankan untuk menarik penumpang, mengantar bakul pasar Bringharjo ke rumahnya di Ngasem Rp. 15.000,- maka mbah paijo masih punya keuntungan Rp. 7.000,-.
Jika dalam satu hari bisa menarik penumpang 5 dengan jarak tempuh yang sama, maka mbah paijo punya keuntungan penghasilan Rp. 67.000,- Tidak usah dihitung kotor bersihnya keuntungan tersebut, karna yang jelas "mbah Paijo" hanya sekedar butuh makan hari itu, ada sisa untuk makan maka disimpen untuk jaga jaga perawatan becaknya.
Kalau Pertamina atau pemerintah berpihak kepada "mbah Paijo" tentunya akan mencari solusi bagaimana agar becaknya bisa berjalan dengan bahan bakar yang ramah lingkungan dan bisa dijangkau.
Barangkali hal demikian perlu kiranya pemerintah segera memikirkan dan mengambil kebijakan yang tepat agar masyarakat "tanpa kelas" bisa ikut merasakan naik kendaraan menyusuri jalan beraspal yang setiap tahun juga ikut membayar pajak.
Jika ini bisa dilakukan, maka itulah langkah bijak Pemerintah -- Pertamina sebagai wujud keperdulian terhadap masyarakat "tanpa kelas" yang benar benar tulus menjalani hidup tanpa kepentingan apapun selain menghamba kepada Tuhan dan patuh terhadap aturan negara tanpa direcoki dengan tindakan manipulasi ataupun korupsi. Untuk urusan kandungan Research Octane Number (RON) sekali lagi "mbah Paijo" tak mau tau dan tak mau memusingkannya.
Biarlah itu menjadi urusan yang punya kepentingan. Namun "mbah Paijo" tetap berdoa andai saja Premium terpaksa dihialngkan karna "katanya" dianggap tidak ramah lingkungan semoga ada gantinya yang lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Jazir Hamid: Imogiri, 20 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H