Kematian George Floyd warga kulit hitam AS menggemparkan negeri Paman Sam. Sebuah aksi protes terhafap beberapa polisi AS yang menyebabkan Goerge Floyd tewas tersebut diluapkan dalam aksi demo besar besaran tanggal 30 Mei 2020 di beberapa kota di Amerika Serikat, bahkan sampai ke Woshington DC karena luapan protes dan kemarahan luar biasa atas peristiwa yang dialami pria kulit hitam tersebut.
Peristiwa tersebut mengingatkan kita pada peristiwa peristiwa serupa yang terjadi di Indonesia. Banyak isu sara yang menjadi penyebab adanya suatu peristiwa tak mengenakkan. Dan memang isu sara selalu menjadi hal yang sensitif dan potensi memicu konflik.
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan dan terdiri dari beribu ribu pulau yang secara fisik terpisah pisah dari ujung barat sampai ujung timur. Dari Sabang sampai Meraoke. Ini menyebabkan adanya perbedaan suku atau yang lazim disebut etnik, agama, dan ras.
Ciri ciri mendasar yang membedakan suku bangsa satu dengan lainnya adalah bahasa daerah, adat istiadat warna kulit, jenis rambut dan sebagainya, yang semua itu sangat beragam. Namun sebenarnya keberagaman suku bangsa dan budaya dan segala macamnya itu tidak menghalangi terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan apa bila ada sikap toleran dari seluruh masyarakat.
Kurangnya rasa toleran dan ”Tepo seliro” sedikit banyak bisa menimbulkan gesekan gesekan yang pada ahirnya diangkat pada isu SARA. Hal ini akan menjadi ancaman besar terhadap keutuhan NKRI. Banyak kasus yang terjadi di negara kita yang disebabkan oleh adanya isu SARA ini, meskipun hanya dari persoalan sepele namun jika itu menyangkut harga diri sebuah golongan tertentu bisa menjadi besar seperti yang terjadi pada kasus George Floyd tersebut.
Contoh kasus kecil yang baru baru ini dialami oleh Andre Taulany ex vokalis grup musik Elemen dan Rina Nose dengan guyonannya dianggap melecehkan sebuah marga, yakni Latuconsina.
Ahirnya dia dipolisikan. Itu contoh kasus kecil yang bisa menjadi besar jika tidak adanya sikap toleransi dan saling menghormati satu sama lain, berpotensi menimbulkan konflik yang tidak hanya merugikan kelompok kelompok masyarakat tetapi juga merugikan bangsa kita sendiri. .
Kita ingat konflik di Ambon pada 1999. Sebuah konflik Agama terjadi setelah Reformasi 1 tahun berjalan. Konflik yang menimbulkan kerusuhan buruk antara agama Islam dan Kristen yang satu sama lain saling menyerang hingga harus terjadi beberapa di anatara mereka terbunuh. Dan konflik masih terus berjalan hingga dialihkan pada isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang terjadi di Ambon membuat kerukunan antar umat beragama di Indonesia jadi memanas hingga waktu yang cukup lama.
Kemudian ada lagi konflik Antar Suku di Sampit. Peristiwanya sudah lama sekali, tapi kebetulan tahun kemaren ketika saya ada satu proyek di sana beberapa minggu saya menginap di salah satu tokoh adat di sana dan banyak ngobrol sampai cerita di sekitar rumah yang saya tempati untuk menginap itu ketika ada kerusuhan dulu dijadikan pusat koordinasi dan mengatur strategi perlawanan. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2001 silam.
Konflik yang menyebabkan kerusuhan paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia. Penyebabnya adalah adanya salah satu warga Dayak yang dibantai oleh Warga Madura yang menetap di Kalimantan Tengah. Kedua suku saling membakar rumah dan mengakibatkan Suku Dayak merasa terjajah baik harga dirinya maupun wilayahnya.
Karena tragedi ini 500 orang dikabarkan meninggal dunia, 100 di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh Suku Dayak. Pemenggalan ini dilakukan oleh Suku Dayak karena mereka ingin mempertahankan wilayah yang saat itu mulai dikuasai oleh Suku Madura. Konflik di sampit ini ibarat film durasinya paling lama. Mungkin bisa 1000 lebih episode. Tapi ini bukan sebuah sejarah yang layak untuk dipertontonkan sebagai film.
Biarlah cukup dikenang sebagai kenangan berhqrga bagi generasi berikutnya yang kemudian bisa dijadikan pelajaran bahwa tidaklah ada faedahnya sama sekali sebuah permusuhan.
Itulah sekedar ilustrasi yang terjadi di negara kita meskipun sebenarnya masih banyak kasus yang lain yang tidak kalah mengerikan. Barangkali dari beberapa kasus tadi cukup mewakili sebagai ilustrasi yang bisa dijadikan pengingat bagi kita bahwa betapa pentingnya sebuah toleransi dalam keberagaman suku, agama, dan RAS. Di mana keberagaman ini menurut ilmu sosiologi dikenal sebagai titik pandang horizontal. Sehingga konfik yang terjadi digolongkan sebagai konflik horizontal.
Perbedaan secara vertikal dengan adalanya lapisan dalam masyarakat “Sosial Stratication”, seperti pangkat kedudukan, atau yang disebut kelas sosial. Semua ini juga sangat sensitif dalam masyarakat, apa lagi ketika musim musim politik hal ini akan terasa sekali efeknya. Namun kita percaya bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab, bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai persatuan.
Dan justru dari keberagaman ini menjadi motivasi terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam satu ikatan yang kuat yakni Tanah Air Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai ciri bangsa Indonesia yang terdapat pada lambang negara Republik Indinesia, yaitu Burung Garuda Pancasila hendaknya selalu dilestarikan dan dijadikan dasar bagi persatuan dan kesatuan Bangsa.
Perbedaan itu nyata, dan perbedaan itu indah apabila kita bisa menyerasikan. Perbedaan tidak boleh dijadikan sebab terjadinya perselisihan dan perpecahan dalam masyarakat.
Kasus George Floyd biarlah menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu memegang teguh nilai persatuan dan kesatuan negara kita yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai sila ke tiga dari Pancasila yang baru saja kita peringati kemaren, yakni tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H