Mohon tunggu...
Jazir Hamid
Jazir Hamid Mohon Tunggu... Tutor - PLAT AB I Pelaku Wisata

➡ Mengeluh adalah tanda kelemahan jiwa. [Soekarno]

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cerita Pilu Sang Buruh Batik

21 Mei 2020   04:06 Diperbarui: 28 Mei 2020   13:08 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik Lukis. Foto By #RyanRamadhan

Proses kerja pembatikan begitu rumit dan membutuhkan daya kreativitas dan kesabaran dari para pembuatnya. 

Batik tulis yang dikerjakan secara manual diawali dengan persiapan berupa pencorek-an atau penggambaran motif batik dengan pensil pada kain katun putih polos maupun media kain mor. 

Kemudian kain yang telah bermotif tersebut diberi lilin atau malam yang digoreskan dengan alat yang disebut canting sesuai motifnya . 

Tahap ini didisebut dengan ngenggreng, proses ini paling banyak menyita waktu dan tenaga, setiap pelekatan bentuk pada motif tertentu terkadang harus menggunakan satu tarikan nafas hingga tidak memberi bekas potongan-potongan bentuk yang kurang baik, atau dikenal dengan istilah mbleber. 

Pengalaman adalah modal para buruh menentukan hasil akhir dari proses ini. 

Proses selanjutnya adalah memberi isen-isen pada bidang kosong dalam motif. Isen-isen ini ada bermacam-macam bentuk isian, ada titik-titik (cecek) ada sisik melik, sawut, rik-rik dan masih banyak lagi bentuk isen-isen yang akan menjadikan batik lebih bernilai dan berkesan cantik. 

Proses selanjutnya adalah memberi warna pada kain dengan cara mencelup atau coletan yang dilanjutkan dengan menghilangkan lilin batik dengan mengerok atau melorod. Beberapa proses ini harus dikerjakan dengan telaten dan berkesinambungan agar menghasilkan kain batik yang berkualitas.

Perkembangan batik yang kian meng-global tampaknya tidak serta merta mensejahterakan pekerjanya, menjadi buruh batik masih terkesan jauh dari sejahtera, rumah berdinding kayu, bambu dan bata seadanya menjadi pemandangan yang umum. 

Awal stagnasi perkembangan hidup para buruh batik ini diawali oleh ketergantungan mereka terhadap pemberi order kerja atau perantara yang mengorganisir pekerjaan buruh dari pemesanan batik baik itu pengusaha, badan usaha, maupun perorangan yang berasal dari Yogyakarta, Bali hingga Sumatera. 

Proses pemesanan ini mengalami deformasi dari penyelenggara perantara order kerja diawali ketika terjadi persetujuan kerja sang perantara dengan pemesan, ia akan melanjutkan pesanan kepada para buruh berikut jumlah dan upah yang akan diberikan, namun sang perantara justru memanipulasi upah buruh dengan kesepakatan membeli batik yang telah selesai dikerjakan para buruh tersebut dengan harga sangat murah kemudian menjualkannya kembali kepada pemesan dengan harga lebih mahal, dari sini ia mendapatkan keuntungan tanpa perlu bersusah payah membatik. 

Hal ini tentu tidak menguntungkan buruh batik sebagai pekerja yang paling berat bertanggung jawab menanggung kualitasserta kecermatan produksi. 

Para buruh batik tidak memiliki negosiasi yang menguntungkan mereka karena bagi buruh yang terpenting adalah mereka harus bekerja jika tidak, tentu tidak mampu memenuhi kebutuhannya meski upah yang diberikan kurang dari mencukupi.

Perantara order produksi ini ditentukan melalui proses birokrasi dari "manajemen" paguyuban setempat atau yang menjabat sebagai ketua. Tidak hanya itu, ia pun biasa menyeleksi buruh yang akan ia jatah kerja, proses seleksi tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi para buruh karena mereka hanya ditentukan oleh kuasa perantara.

“Biasanya kalo hubungan kita dekat sama juragan pesenan-nya lancar, tapi jika tidak ya susah, karena keluarganya juga sama-sama pembatik, mesti kerjaannya dikasihkan keluarganya dulu baru kita”,

 Begitu penjelasan Ibu saah satu pembatik sembari mengelus dada.

Petaka semacam ini mengawali ketidakberdayaan para buruh batik dalam mengorganisir secara mandiri pekerjaan membatik karena ketersediaan usaha batik mereka sangat bergantung pada pesanan. 

Ketika perantara yang sekaligus menjadi kapitalis desa ini mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menjual batik kepada pemesan atau pengusaha batik, kemudian akan menjadi komoditas barang karena batik akan dijual di toko atau department store milik pengusaha, dan tentu akan dijual dengan harga yang berlipat-lipat hingga sang pengusaha mendapatkan surplus value dari produk batik ini.

Order-an yang dikerjakan buruh batik Desa wukirsari hanya berjalan pada pelekatan lilin dengan canting saja, pencorek-an atau penggambaran motif batik dengan pensil biasanya sudah ditentukan oleh pemesan atau memang tidak semua buruh memiliki kemampuan untuk membuat motif bahkan beberapa di antaranya hanya menerima order-an yang telah diberi motif sebelumnya. 

Bagi buruh yang memiliki kemampuan menggambar motif ini biasanya sering mendapatkan kepercayaan dari perantara bahkan diberi upah tambahan. Proses yang tidak kalah penting yang tidak digarap oleh para buruh batik adalah pewarnaan baik pen-colet-an dan pe-lorod-an. 

Hal ini dikarenakan ketidaktersediaan alat serta tempat yang mencukupi bagi para buruh, bahkan beberapa di antaranya mengaku kurang memahami proses yang memang mengharuskan beberapa kali proses pengulangan hingga menghasilkan warna yang diinginkan. 

Maka ketika akulumasi kerja dibuat berdasarkan rasionalisasi produksi menjadi barang jadi para buruh batik tidak mendapatkan tempat sebagaimana sebuah unit pekerja utuh, mereka tidak dapat berbuat banyak dalam hal menuntut upah selayaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun