Hal ini tentu tidak menguntungkan buruh batik sebagai pekerja yang paling berat bertanggung jawab menanggung kualitasserta kecermatan produksi.
Para buruh batik tidak memiliki negosiasi yang menguntungkan mereka karena bagi buruh yang terpenting adalah mereka harus bekerja jika tidak, tentu tidak mampu memenuhi kebutuhannya meski upah yang diberikan kurang dari mencukupi.
Perantara order produksi ini ditentukan melalui proses birokrasi dari "manajemen" paguyuban setempat atau yang menjabat sebagai ketua. Tidak hanya itu, ia pun biasa menyeleksi buruh yang akan ia jatah kerja, proses seleksi tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi para buruh karena mereka hanya ditentukan oleh kuasa perantara.
“Biasanya kalo hubungan kita dekat sama juragan pesenan-nya lancar, tapi jika tidak ya susah, karena keluarganya juga sama-sama pembatik, mesti kerjaannya dikasihkan keluarganya dulu baru kita”,
Begitu penjelasan Ibu saah satu pembatik sembari mengelus dada.
Petaka semacam ini mengawali ketidakberdayaan para buruh batik dalam mengorganisir secara mandiri pekerjaan membatik karena ketersediaan usaha batik mereka sangat bergantung pada pesanan.
Ketika perantara yang sekaligus menjadi kapitalis desa ini mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menjual batik kepada pemesan atau pengusaha batik, kemudian akan menjadi komoditas barang karena batik akan dijual di toko atau department store milik pengusaha, dan tentu akan dijual dengan harga yang berlipat-lipat hingga sang pengusaha mendapatkan surplus value dari produk batik ini.
Order-an yang dikerjakan buruh batik Desa wukirsari hanya berjalan pada pelekatan lilin dengan canting saja, pencorek-an atau penggambaran motif batik dengan pensil biasanya sudah ditentukan oleh pemesan atau memang tidak semua buruh memiliki kemampuan untuk membuat motif bahkan beberapa di antaranya hanya menerima order-an yang telah diberi motif sebelumnya.
Bagi buruh yang memiliki kemampuan menggambar motif ini biasanya sering mendapatkan kepercayaan dari perantara bahkan diberi upah tambahan. Proses yang tidak kalah penting yang tidak digarap oleh para buruh batik adalah pewarnaan baik pen-colet-an dan pe-lorod-an.
Hal ini dikarenakan ketidaktersediaan alat serta tempat yang mencukupi bagi para buruh, bahkan beberapa di antaranya mengaku kurang memahami proses yang memang mengharuskan beberapa kali proses pengulangan hingga menghasilkan warna yang diinginkan.
Maka ketika akulumasi kerja dibuat berdasarkan rasionalisasi produksi menjadi barang jadi para buruh batik tidak mendapatkan tempat sebagaimana sebuah unit pekerja utuh, mereka tidak dapat berbuat banyak dalam hal menuntut upah selayaknya.