Mohon tunggu...
Cahaya Hati
Cahaya Hati Mohon Tunggu... -

A woman

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi (Saya Tidak Baca Apa yang Saya Tandatangani), Artikel Ilmiah dan Kelelahan Mental

10 April 2015   05:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika mendengar pernyataan Bapak Joko Widodo, Presiden RI, bahwa dia tidak membaca terlebih dahulu ketika menandatangani Keppres soal kenaikan uang muka mobil para pejabat, reaksi saya adalah, WHAT??? Did you really say that, Mr. President? Bagaimana mungkin seorang pimpinan negara menandatangani sesuatu yang dia tidak mengerti? Dimana tanggung jawabnya? Dunia dan akherat? Dia bukan sedang berperan menjadi presiden tapi presiden beneran yang goresan penanya menentukan nasib ratusan juta rakyat. Lebih mengerikan, Pak Jokowi seperti tidak merasa itu sebuah kesalahan tapi kewajaran karena dokumen yang harus dia tandatangani sangat banyak, katanya. (Lupakan ngeles-nya para fans Pak Presiden yang bilang beliau sudah baca dulu, ini strategi dsb. Karena saya tidak yakin para fans ini mempunyai kemampuan supranatural  melihat menembus ruang dan waktu ataupun kemampuan membaca pikiran orang lain).

Kalau dalam penulisan artikel ilmiah, hampir setiap kalimat yang ada dalam artikel harus ada referensinya (penulis, penerbit/jurnal, tahun terbit, halaman yang dijadikan referensi, dsb). Sebelum di-submit, naskah di “attack” ramai-ramai oleh para co-author untuk menemukan kesalahan yang mungkin ada karena nama mereka nantinya akan ikut terpampang. Lalu supervisor (professor) akan mencoret-coret dengan saran perbaikan dan pertanyaan kalau ada yang tidak jelas. Kesalahan yang diperbaiki bukan cuma isi tapi juga bahasa sampai titik koma. Bagian data-data, grafik dan table dan skema apalagi, sudah jauh-jauh hari (dan berkali-kali) dipresentasikan oleh penulis utama kepada boss dan rekan.

Proses perbaikan ini dilakukan berulang-ulang. Tidak peduli profesornya punya  kesibukan lain yang seabreg-abreg. Tidak boleh dan tidak bisa ngeles. Setelah rasanya semuanya sudah ‘sempurna’ baru dikirimkan ke jurnal untuk minta diterbitkan. Tapi tidak akan diterbitkan begitu saja, ada team jurinya (professor yang punya keahlian di bidang yang sama) juga di sana, 3 sampai 5 orang. Juri akan membaca dengan teliti lalu memutuskan apakah artikel tersebut layak terbit atau tidak. Kalaupun layak, selalu ada perbaikan-perbaikan yang  mereka minta atau pertanyaan-pertanyaan tentang isi artikel yang masih tidak jelas bagi mereka para juri.

Setelah diterbitkan, kalau ternyata hasilnya tidak bisa diulang oleh kelompok peneliti yang lain atau berbeda atau kesimpulannya tidak betul, siap-siap penulis dan supervisor /professor/boss menghadapi masalah besar. Dari tidak lagi dipercaya oleh komunitas ke-ilmuwannya, artikelnya ditarik (sangat memalukan), dipecat dari jabatan sampai tidak boleh lagi melakukan penelitian seumur hidup.

Tentu ada perbedaan antara dunia eksakta dengan dunia sosial. Tapi, dokumen negara juga seharusnya diperlakukan dan diperhatikan sedetaildan seteliti penulisan artikel ilmiah yang digambarkan di atas. Dan presiden itu seperti supervisor/professor, pemimpin yang akan memanggul tanggung jawab utama kalau ada kesalahan. Dia harus tahu betul apa yang di-submit atas namanya. Apalagi tanggung jawab seorang presiden jauh melebihi seorang professor, sebuah negara dengan ratusan juta rakyat yang hidup dan bernafas.Sebuah tanggung jawab yang sangat berat. Boss saya dulu kalau sedang marah bilang dia bekerja sudah seperti kuda/anjing (tapi kita bawahannya tidak banyak membantu). Presiden tentu bekerja lebih berat lagi. Obama saja sampai putih semua rambutnya sejak jadi presiden. Semua tahu, jadi presiden itu harus kuat fisik, mental dan otak.

Berbicara soal kekuatan dan kesehatan mental serta melihat kinerja Pak Jokowi serta tekanan-tekanan yang beliau alami, saya jadi terpikir, jangan-jangan Pak Jokowi terkena yang namanya “mental fatigue”?Tanda-tanda “mental fatigue”(dikenal juga dengan “burnout”) atau kita sebut saja kelelahan mental diantaranya sulit berkonsentrasi dan memecahkan masalah, merasa tidak berdaya, mudah marah. kehilangan semangat dan kecintaan pada pekerjannya sehingga tidak peduli lagi kerjanya benar atau salah, bagus atau buruk. Kelelahan mental disebabkan karena stress yang berat dan berkepanjangan (seperti stressnya seorang presiden yang terus menerus ditekan, ditagih sana-sini, harus belajar banyak hal, mesti berpikir keras memecahkan masalah, dll). Tentu saja ini adalah pikiran spontan saya saja mengenai kondisi Presiden Jokowi. Kalau beliau tidak ada indikasi mengalami kelelahan mental, syukurlah.

Kalau iya, semoga para staff Presiden bisa lebih perhatian dan membantu agar beliau bisa pulih, segar dan bersemangat lagi menjadi presiden. Demi bangsa Indonesia. Periksa kesehatan beliau secara berkala, kasih makanan bergizi prima, yang cukup semua vitamin, minerals dsb agar beliau berfungsi maksimal. Kasih pertimbangan agar beliau tidak perlu bekerja sampai kelelahan tapi berkerja smart (blusukan2 yang buat pencitraan dilewatkan saja, misalnya). Setiap dokumen yang harus ditandatangani, kasih beliau briefing sampai beliau paham (ini juga biar para staff tidak dijadikan kambing hitam nantinya).  Tentu para staff sudah jauh lebih mengerti hal ini, bukan?

Selain itu, kalau beliau mau ngasih sambutan atau pidato, terutama di hadapan pemimpin negara lain, mbok dibuatkan konsep pidatonya atau naskahnya sekalian. Kalau perlu kasih beliau latihan jauh-jauh hari. Jangan gengsi, para pembicara yang sudah mumpuni saja masih bikin konsep dan latihan juga kok sebelum berbicara di depan umum. Perhatikan juga penampilannya, tidak perlu harus gagah tapi jangan amburadul juga. Ini demi martabat bangsa. Kalau sekarang kadang saya merasa Jokowi itu seperti seorang presiden terlantar. Ditelantarkan juga tidak dipatuhi oleh para staff dan bawahan lainnya.

Halah, jadi kemana-mana.  Intinya sih saya sangat kecewa pada Pak Jokowi ,salah satunya, kok beliau bisa dengan enteng berkata bahwa dia tidak membaca apa yang dia tandatangani? Di dunia saya, ini adalah “ a big NO NO”. Di dunia kerja yang lain mungkin begitu juga walau tidak se- rigorous dunia scientific. Kalau dugaan saya salah tapi memang karakter Jokowi memang seperti itu (menggampangkan masalah, malas membaca, nggak mikir, lepas tanggung jawab) dan beliau tidak niat berubah, maka; God, help us all…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun