Mungkin para perencana kota di masa pemerintahan kolonial belanda tidak pernah membayangkan masa depan Batavia alias Jakarta seperti saat ini. Persoalan kota yang bejibun, mulai dari masalah banjir, macet, sampah, Â sulitnya akses air bersih, tawuran antar gang dan wilayah, tempat tinggal penduduk yang kumuh, dan berbagai persoalan daya dukung kota dan sosial lainnya.
Konon di era pemerintahan kolonial, Batavia ditata dengan perencanaan kota yang rapi, apik dan nyaman sebagai kota hunian ideal untuk menampung 500.000 orang penduduk yang tinggal di Jakarta. Infrastruktur perkotaan dengan fasilitas tata ruang dan tata kota yang cukup menunjang kehidupan di kota Jakarta untuk 500.000 orang penghuninya saat itu cukup nyaman sebagai kota besar.
Air sungai Ciliwung yang masih bersih asri dan daya dukung infrastruktur yang memadai, menjadikan Batavia menjadi pilihan tempat tinggal nyaman yang menjadikannya sebagai pilihan utama menjadi ibu kota negara setelah masa kemerdekaan sebagai kelanjutan ibu kota pemerintahan kolonial Belanda.
Saat ini, Jakarta dengan angka populasi penduduk di tahun 2021 mencapai 11, 25 juta orang, jauh dari daya tampung dibandingkan masa Batavia yang direncanakan oleh para ahli tata kota di era kolonial Belanda.
Daya dukung kota untuk populasi seperti sekarang ini suka atau tidak suka, membuat penghuni nya semakin jauh dari rasa nyaman dan aman. Walaupun kondisi ketidak nyamanan menjadi hal biasa saja, tetapi Jakarta sebenarnya bukanlah kota pemukiman yang ideal.
Fakta penelitian tata ruang Jakarta akibat implementasi pembangunan kota dilapangan yang tidak konsisten dengan rancangan yang ada cukup berakibat miris dengan penurunan wilayah sampai 18 centimeter pertahun, terutama didaerah Jakarta Utara yang dikhawatirkan berisiko miris, tenggelam dimasa mendatang sebagai akibat wilayah reservoir yang berubah menjadi bangunan padat penduduk.
Bisa jadi, aktivitas kota yang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi/ bisnis, politik, budaya dan pusat berbagai bidang aktivitas kehidupan lainnya menjadi daya sihir bagi penghuni nya untuk tetap memilih Jakarta sebagai tempat hunian yang rela bermacet dan berbanjir ria termasuk menerima risiko ketidak nyaman dan aman itu. Namun idealkah bila kondisi kota Jakarta seperti ini untuk tetap bertahan sebagai ibukota Negara?
Di masa lalu, sebagai seorang insinyur dan berpengetahuan sejarah, Presiden Soekarno sebenarnya menyadari persoalan tata ruang kota Jakarta itu dan pernah mempunyai gagasan bahwa pada suatu saat ibu kota negara harus dipindahkan dari Jakarta keluar pulau Jawa. Visi pemindahan ibu kota negara ke wilayah di pulau Kalimantan yang baru dapat terwujud di era pemerintahan Presiden Jokowi dengan berhasilnya rencana pemindahan ibukota negara itu diwujudkan melalui Undang undang yang diterbitkan di tahun 2022.
Pilihan pemindahan ibukota negara yang baru diluar Jawa menjadi salah satu pilihan pengembangan wilayah dan penyebaran populasi, pembangunan dan kemakmuran yang lebih merata untuk tidak terkesan Java centris, yang walaupun awalnya ribet dan menantang, namun diyakini dapat memecahkan beberapa persoalan pengembangan wilayah dan persoalan kota kota besar padat penduduk di Pulau Jawa.
Pro kontra soal pemindahan ibu kota negara dari Jakarta pastilah selalu ada, terutama bagi pihak pihak yang merasa dirugikan atau sulit untuk move on.
Sejatinya, orang Indonesia memang bukanlah gambaran bangsa dengan jiwa yang suka berinvasi atau penakluk wilayah baru seperti halnya Colombus penemu benua baru Amerika atau para astronout yang menantang penaklukan wilayah sampai ke ruang angkasa.
Mungkin bangsa Indonesia lebih condong dengan budaya guyub berprinsip mangan ora mangan pokoke ngumpul.