Mohon tunggu...
Politik

Buwas, Rini dan Lino

2 September 2015   17:28 Diperbarui: 2 September 2015   17:36 8094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="(Komjen Budi Waseso, Sumber Gambar : Jurnal Asia.com )"][/caption]

 

 

Dalam satu minggu, pemberitaan soal penggeledahan RJ Lino menjadi sorotan utama masyarakat luas. Ada dua hal yang membuat masyarakat tercengang, pertama : "Operasi Penggeledahan dilakukan oleh Polisi" dan Kedua, "Polisi berani melakukan penangkapan-penangkapan dimana bandit yang dihadapinya adalah mafia dan kartel". Pesimisme masyarakat terhadap polisi memang tinggi dalam soal pengungkapan kasus korupsi, karena masyarakat menilai Polisi adalah bagian dari penyakit itu sendiri, namun sejak Budi Waseso naek menjadi Kepala Reserse Polri, maka anggapan itu serta merta berubah, Budi Waseso yang akrab dipanggil Buwas melakukan tindakan-tindakan brutal menghantam para mafia yang selama ini membelit negara.

Perintah Khusus Presiden Jokowi

Pada awal masa jabatan Buwas sebagai Kabareskrim, ada perintah khusus Presiden Jokowi kepada Polri yang ia sampaikan kepada Badrodin Haiti, yaitu : 'Tumpas habis mafia-mafia yang membelit negara". Perintah Presiden RI itu yang kemudian jadi pegangan Badrodin dalam menjalankan tugasnya, ditengah keraguan masyarakat soal Polri, Badrodin melakukan revitalisasi fungsi Polisi dalam penanggulangan masalah korupsi. Dan diantara jajaran yang paling berani adalah Budi Waseso, namun nama Buwas ini kerap diasosiasikan dengan nama Budi Gunawan, sehingga masyarakat banyak mencibir Buwas, bahkan setelah perang pernyataan antara Syafi'ie Ma'arif dan Buwas, muncul petisi masyarakat untuk mencopot Buwas. Tapi Buwas malah menjawab cemoohan masyarakat dengan serangan polisi pada Mafia.

Jokowi, sebagai Presiden RI seperti perang sendirian melawan mafia kartel, kerap perintah-perintahnya untuk membereskan mafia, malah terganjal di bawah. Namun amunisi tempur Jokowi melawan mafia, sedikit terbantu dengan masuknya Rizal Ramli. Awal masuknya Rizal Ramli sendiri, membuat repot pejabat-pejabat yang kerap dituding bermain proyek. Pembelian dengan hutang gila-gilaan inilah yang kemudian diingatkan oleh Rizal Ramli, RR mengingatkan salah satu skema pembelian 30 pesawat A350 membahayakan keuangan Garuda, dalam pernyataan pers-nya Rizal menyatakan :

"Minggu lalu saya ketemu Presiden Jokowi. Saya bilang, mas Saya minta tolong layanan tolong diperhatikan. Saya tidak ingin Garuda bangkrut lagi. Karena sebulan yang lalu beli pesawat dengan pinjaman 44,5 miliar dollar AS dari China Aviation Bank untuk beli pesawat airbus 350, 30 unit. Itu hanya cocok Jakarta-Amerika dan Jakarta-Eropa," (Sumber : Jokowi Ingatkan Rizal Ramli Terkait Pesawat Garuda)

Entah kenapa pemberitaan soal pembelian Garuda ini meledak hebat, pers tampaknya tahu bahwa sasaran dalam pembelian Pesawat Garuda ini adalah Rini Soemarno, menteri BUMN. Menjadi pertanyaan publik berapa besar fee yang didapat dalam pembelian itu, kemudian kenapa Garuda membeli pesawat-pesawat itu ditengah kerugian Garuda yang luar biasa besar : (Sumber : Tahun 2014, Garuda rugi 4,8 trilyun)

Rizal menyatakan bila pinjaman itu dipaksakan, maka Maskapai berpotensi bangkrut. Namun Rini Soemarno tampaknya keras sekali dengan pernyataan Rizal Ramli, ia menyatakan : (Sumber : Rini Marah Pada Rizal)  tapi lucunya : ketika pengajuan pesawat Garuda itu menjadi pertanyaan masyarakat luas, Rini justru melakukan pementahan atas ajuan pesawat di DPR, karena mungkin dia sadar proyek pembelian pesawat Garuda itu telah mendapat sorotan luas, dan dia tidak mungkin bisa bermain bebas. Rini menyatakan pembelian pesawat Garuda masih wacana dan bisa dibatalkan, Rini menyatakan pementahan itu : "Dalam LoI tidak ada komitmen apapun dan pembelian bisa dibatalkan. (Sumber : Rini Beberkan Soal Pesanan Pesawat Airbus).  Bila rencana pembelian pesawat itu tidak bermasalah kenapa Menteri Rini menyatakan pembatalan?, tentunya Rini berhitung dulu kalkulasi politiknya, apalagi setelah Rizal Ramli masuk jajaran kabinet.

 

Ributnya Rizal Ramli dan Rini Soemarno, ternyata mampu membelalakkan mata banyak rakyat. Mereka melihat ternyata persoalan Rini Soemarno, bukan semata persoalan perseteruannya dengan petinggi-petinggi PDIP juga persoalan kecurigaan adanya permainan-permainan proyek. Namun serbuan Rizal Ramli yang cerdik sayangnya tidak disambut oleh politisi-politisi PDIP, mereka terkesan membiarkan Rizal Ramli bertarung sendirian. Tidak hanya Rini Soemarno yang jadi sasaran tembak Rizal Ramli, ia dengan nekat juga menyerang proyek-proyek di PLN, tapi kemudian yang marah adalah Jusuf Kalla. Perang pernyataan Rizal-Rini dan JK semakin membuka terhadap perebutan proyek-proyek di lingkaran Istana, dan ini jelas membuat pusing Presiden Jokowi, ia yang kerja keras siang malam, jelas tidak hanya ingin ngebut soal penyelesaian proyek pembangunan, tapi ia juga harus melangkah hati-hati jangan sampai proyek pembangunan tersendat karena persoalan korupsi, menurut orang terdekat Jokowi, hal yang paling ditakuti Jokowi adalah bayang-bayang Proyek Hambalang di masa SBY, sebuah proyek dengan nilai besar tapi akhirnya mangkrak karena kasus korupsi, Jokowi ingin proyek diselesaikan zonder korupsi. 

Namun fakta politik yang dihadapi sekarang adalah Jokowi harus melihat perseteruan politik di tingkat kabinetnya. Sementara Luhut Binsar Panjaitan, tidak cukup kuat memiliki wibawa politik untuk mendamaikan perseteruan. Padahal Luhut digadang-gadang Jokowi sebagai pelindung politik, namun baik Rizal Ramli dan Jusuf Kalla jelas tidak memandang penting Luhut, mereka berasal dari kekuatan-kekuatan politik lama yang punya akar massa juga. Sementara Rini Soemarno bagaimanapun juga harus membawa kepentingan banyak orang dalam melakukan kerja politiknya di kabinet Jokowi. Bukan rahasia umum lagi, Rini-lah yang menjadi pooling fund atas dana politik kampanye Jokowi. Tentunya "tidak ada makan siang yang gratis".

 

RJ Lino dan Kasus Perpanjangan Kontrak Terminal Tanjung Priok

Kasus Lino mulai merebak, ketika Jakarta International Container Terminal (JICT) diperpanjang kontraknya. Ironisnya perpanjangan kontrak itu ternyata bukan saja "menghina kedaulatan Republik" tapi juga "menghina akal sehat", bayangkan kontrak kepada asing di tahun 1999 lebih mahal ketimbang kontrak pada asing di tahun 2015,  Pengelola asing yang memenangkan kontrak ini adalah Perusahaan milik Hongkong bernama "Hutchison Port Holding" (Sumber : SP JICT sebut harga kontrak pelabuhan asing kemurahan)

 

Kasus ini membuat marah besar Serikat Pekerja Pelabuhan JICT, mereka meminta agar petinggi Republik, menyerahkan kekuasaan JICT kepada Negara, "Karena Pelabuhan Dianggap Lambang Kedaulatan" Namun Rini Soemarno, selaku Menteri BUMN malah mengijinkan RJ Lino meneruskan perpanjangan kontrak JICT. Perpanjangan kontrak Pelabuhan kepada asing, terang membuat Menteri Perhubungan Jonan naik pitam, karena sebagai ahli bisnis Jonan melihat JICT ini sepenuhnya bisa menguntungkan buat Republik, terbukti ketika KAI bisa ia ubah dari kerugian 83 Milyar menjadi keuntungan 561 milyar (Sumber Laba KAI tembus 561 milyar). Perang RJ Lino dan Jonan, sampai pada perang mulut yang besar dan ini disaksikan oleh anak buah mereka berdua. Namun belakangan Jonan agak terdiam, sampai muncul Rizal Ramli membuka semua keadaan-keadaan. 

Rizal Ramli diminta Presiden RI membongkar semua ketidakberesan di Pelabuhan, namun tidak mudah bagi Rizal Ramli karena Priok sudah terkepung banyak mafia. Dwelling Time adalah sasaran Presiden Jokowi, ia meminta Rizal membereskan waktu Dwelling Time hanya 3-4 hari. "Batas waktunya Oktober, harus beres" kata Presiden di depan Rizal Ramli.

Perintah ini membuat Rizal harus melakukan koordinasi bersama, sadar yang dihadapi persekutuan mafia, maka Rizal meminta bantuan Kapolri dan Panglima TNI. Untuk Kapolri menyanggupi permintaan Rizal Ramli, lalu jagoan Polri Komjen Buwas diturunkan untuk membereskan, sasaran utamannya adalah RJ Lino dan persoalan yang diangkat adalah dugaan adanya permainan atas kontrak pembelian mobile crane dan simulator kapal (sumber : Bareskrim akan periksa RJ Lino). Namun kemudian Menteri Rini marah besar dan meminta agar kerja bawahannya jangan terganggu.

Menjadi pertanyaan disini, apakah kerja Pemerintah itu harus steril dari "Pengawasan Kepolisian", sementara Kepolisian ditugaskan melibas kejahatan, dan Presiden meminta tatanan negara yang bersih, jadi kalau tidak bersalah kenapa justru yang merasa dirugikan aksi Komjen Buwas, minta Buwas dicopot.

Bagaimanapun Buwas bekerja di tengah badai politik kepungan mafia, ia tidak seperti KPK, tidak seperti Novel Baswedan yang penuh sorotan selebritas, ia bekerja ditengan cibiran masyarakat, tapi ia sendirian hantam mafia sapi, operasi besar-besaran mengungkap mafia pangan, ia sendirian bekerja menghantam mafia migas dengan mengusut kasus kondensat, ia membereskan Direksi-Direksi BUMN yang diduga menjadi sarang penyamun atas dana negara, bagaimanapun BUMN harus bersih dan maju, di Pasar Modal seluruh saham-saham BUMN anjlok hebat rata-rata diatas 30%, Menteri Rini dianggap pasar gagal dalam membangkitkan BUMN padahal di Pasar Modal, kapitalisasi BUMN yang besar amat berpengaruh terhadap pergerakan saham-saham lain.

Belum lagi kemanjaan Rini Soemarno mendapatkan kucuran dana APBN senilai 48 Trilyun.  Sementara BUMN juga dipaksa untuk berhutang seperti Maskapai Garuda. Jelas aksi yang dilakukan Rini Soemarno secara fakta ekonomi mendorong pelambanan ekonomi, padahal banyak sekali lubang-lubang ekonomi yang bisa digarap dan mendorong pertumbuhan ekonomi negara.

Namun ketika Kepolisian melakukan tugas negara membereskan BUMN-BUMN kenapa Rini Soemarno marah besar, kalau memang tidak salah persilahkan saja aparat hukum menjalankan tugasnya berdasarkan data yang dipegang kepolisian dan juga laporan laporan masyarakat.

Bagaimanapun juga dalam soal ini kita harus adil menilai, Isu Buwas dicopot adalah ketika ia menjalankan tugasnya menggeledah ruang direksi Pelindo II. Ini artinya ia berada dalam wilayah tugasnya, misalnya Buwas dicopot maka akan memberikan kesan, negara justru kalah dengan mereka yang dicurigai maling uang negara.

Jokowi sudah bekerja keras membenahi negara, sementara Komjen Buwas sedang menjalankan tugasnya membongkar jaringan mafia, baik mafia pangan, mafia migas, mafia kelautan sampai mafia pajak.  Kata "Jangan diganggu kerjanya" oleh Rini Soemarno, jelas ini menyimpangkan keadaan, "Bekerja adalah kewajiban, tapi menjadi pejabat yang jujur adalah pertanggungjawaban" apakah moralitas ini juga dimiliki Rini M Soemarno?

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun