Silahkan menyimak sampai selesai!
Saya menyadari dan menyakini bahwa sebagian besar pembaca adalah non-Katolik (bagi pembaca yang Katolik, silahkan berdoa satu kali 'Salam Maria' untuk para Misionaris sebelum menyimak sampai selesai). Untuk itu saya akan berusaha menulis dengan sederhana pula tanpa menyebut dasar-dasar teologis atau pendasaran lain yang berat.
Desy Kartika Sari: Pastor Hidup Selibat?
Beberapa hari terakhir dikalangan Orang Muda Katolik (OMK) yang aktif di Twitter dan Instagram dihebohkan dengan sebuah cuitan dari Desy Kartika Sari di akun Twitternya (@dekaridisini). Sebagai seorang Muslim, Desy mengungkit kembali peristiwa 9 tahun lalu ketika dia sedang menulis skripsinya.Â
Desy adalah seorang Muslim, pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia (UI). Dia menulis sebuah skripsi yang menarik, dengan judul "Gambaran Resiliensi Pada Imam Katolik Dewasa Muda Dalam Menjalani Hidup Selibat". Sebagai mahasiswi jurusan psikologi, Desy mendasari skripsinya dengan pernyataan bahwa Imam Katolik yang hidup selibat dan menghilangkan semua kenikmatan duniawi adalah suatu hal yang tidak masuk akal dan menyalahi kodrat sebagai manusia karena tidak menikah. (tolong baca sub topik selanjutnya di bawah tentang selibat)
Baca juga: Latar Belakang Pendidikan Calon Imam Katolik, Tapi Bidang Pekerjaan Serabutan Saya Nikmatin
Awalnya, skripsi bab 1 ditolak oleh pembimbingnya. Dia diminta untuk membuang kacamata muslimnya dan melihat betapa sucinya seorang Imam di mata orang Katolik itu sendiri. Revisi! Karena rasa penasaran dan pantang menyerah, dia akhirnya memutuskan untuk keluar masuk Gereja, membaca Alkitab dan Kitab Hukum Kanonik (mungkin juga Katekismus Gereja Katolik), menyaksikan berlangsungnya misa atau perayaan Ekaristi, ke Perpustakaan Katolik dan tentunya menghubungi para pastor (responden).Â
Dari responden inilah Desy mendapat informasi bahwa cobaan terberat seorang Imam yang hidup selibat atau tidak menikah itu bukanlah terkait hasrat seksual, tetapi terkait KESEPIAN. Para imam Katolik juga adalah manusia biasa, hanya mereka mengerti dan tahu cara mengatasi sepi. Desy juga menemukan alasan sederhana kenapa seorang imam Katolik hidup selibat. Dia mengatakan bahwa saat mereka menjadi imam mereka sekaligus berkomitmen dan berkorban... sebab mereka telah menjadi milik Gereja. Artinya bahwa, mereka pergi meninggalkan sanak keluarga untuk sebuah pelayanan. Para imam tidak boleh berhubungan hanya dengan satu atau beberapa orang saja, sebab dia telah menjadi milik umat.
Untuk bisa berkomitmen dan berkorban seperti ini, para imam memiliki 3 kaul yang mengikat: (tolong baca sub topik selanjutnya di bawah perihal Imam Katolik yang mengikrarkan kaul dan tidak)
1). Kaul Ketaatan - menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Gereja dan patuh pada superior (Paus, Uskup, Provinsial, Rector).
2). Kaul Kemiskinan - melepas semua harta dan hak milik pribadi (juga adalah melepas segala keterikatan duniawi)
3). Kaul Kemurnian - tidak menikah dan terlepas dari segala nafsu.
Karena terikat pada 3 kaul di atas menurut Desy, seorang imam harus siap untuk hidup miskin, taat, murni. Yang keras menurut kesimpulan Desy adalah "Kalo sedih ga bisa curhat. Kalo sakit, berobat sendiri. Umat bisa bantu, tapi mereka ga boleh minta... Jika menemui kesulitan dan derita, mereka sendirian. Pasrah sepenuhnya." (tolong baca sub topik selanjutnya  di bawah terkait hal tersebut)
Alhasil, akhirnya Desy menyimpulkan bahwa komitmen, pengorbanan dan toleransi adalah bahasa cinta tertinggi umat manusia. Meski melewati proses yang begitu rumit, namun hal itulah yang membuat kita kuat sebagai manusia. Kuncinya adalah Bahasa Cinta (Kasih).
Apa itu selibat?
Selibat sebenarnya tidak pernah menyalahi kodrat seseorang sebagai manusia.
Selibat berasal dari bahasa Latin 'caelibatus' yang berarti hidup tidak menikah. Intinya adalah bahwa selibat bukanlah bagian pokok dari iman Katolik. Selibat hanyalah sebuah pilihan bebas tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dari beberapa orang Katolik yang ingin melayani Allah dengan sepenuh hati. Sekali lagi, selibat itu tidak menyalahi kodrat manusia.Â
Penulis tertarik dengan jawaban @erikhandoko membalas cuitan @dekaridisini di Twitter. Dia mengatakan bahwa, Kodrat manusia tidak harus menikah: kadang ada orang yang menikah karena secara ekonomi harus bekerja sama dalam ikatan pernikahan; pernikahan untuk kepentingan bisnis; pernikahan karena murni soulmate/teman hidup (takut kesepian). Jadi menurut @erikhandoko pernikahan adalah tuntutan kebutuhan.
Perlu diketahui bahwa, tidak hanya imam Katolik yang menjalani hidup selibat, tetapi juga biarawan- biarawati Katolik seperti Frater, Bruder dan Suster (tolong baca pembahasan lanjutannya dalam sub topik di bawah). Selain itu, juga ada awam yang memutuskan untuk hidup selibat berdasarkan pilihan bebas mereka.
Baca juga: Stamina Imam Katolik di Masa Pandemi
Kamis Besar Bahasa Indonesia V (KBBI) mencatat bahwa ada yang namanya selibat awam dan selibat imam atau religius.
1). Selibat menurut KBBI adalah pranata yang menentukan bahwa orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin (dalam Gereja Katolik Roma, para rohaniawan yang telah ditahbiskan, harus hidup membujang dan tidak boleh menikah).
2). Selibat awam menurut KBBI adalah keadaan tidak boleh menikah yang dilakukan bukan oleh para imam Katolik.
3). Selibat imam atau religius menurut KBBI adalah selibat yang dilakukan oleh para imam di lingkungan Gereja Katolik melalui penahbisan.
Mengenal Imam Katolik Diosesan dan Biarawan
Gereja Katolik mengenalinya dengan istilah RD (Reverendus Dominus) dan RP (Reverendus Pater) untuk membedakan keduanya, akan tetapi istilah ini masih belum banyak dikenal, bahkan umat Katolik sendiri ada yang belum mengetahuinya, dan dalam keseharian jika bertemu seorang Imam, mereka hanya menyapanya dengan Romo, Pastor atau Pater.
1). Diosesan
Seseorang calon imam (frater) diosesan akan ditambahkan istilah RD pada namanya setelah ditahbiskan. Nah, kembali pada penjelasan Desy Kartika Sari di atas, imam diosesan tidak  mengikrarkan ketiga kaul tersebut (taat, miskin dan murni). Meski pada hakikatnya mereka juga menghayati. Para imam Diosesan bekerja dalam suatu wilayah keuskupan tertentu di bawah bimbingan uskup. Misalnya imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bogor, Keuskupan Larantuka, dan lain-lain (dikenal juga sebagai imam Projo atau presbyter, yang biasa disingkat dengan Pr.). Jadi imam diosesan mempunyai pembimbing rohani sebagai tempat curhat dan lainnya, atau mempunyai imam atau pastor rekan yang melayani se-Gereja, yang siap membantu dan melayani.
2). Biarawan
Gereja Katolik mengenal biarawan dan biarawati sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dalam sebuah komunitas dengan menjalani semangat tertentu. Semua biarawan, juga biarawati menjalani hidup selibat. Jadi jelas di sini bahwa tidak hanya imam. Para Suster, Bruder dan Frater (kaul kekal) - karena biasanya tahapan sebelum menjadi imam adalah Frater dan Diakon, namun ada juga kongregasi atau serikat atau biara Frater Kaul Kekal, mereka tidak ditahbiskan - mereka semua menghayati hidup selibat dengan mengikrarkan ketiga kaul tersebut. Seorang biarawan setelah ditahbiskan akan mendapat gelar RP di depan namanya.
Catatan - istilah RD dan RP belum dikenal luas di Indonesia, bahkan oleh umat Katolik. Mereka hanya menyapa Romo, Pastor atau Pater untuk semua imam tergantung bahasa dan budaya daerah masing-masing.
Nah, pernyataan keras Desy Kartika Sari bahwa "Kalo sedih ga bisa curhat. Kalo sakit, berobat sendiri. Umat bisa bantu, tapi mereka ga boleh minta... Jika menemui kesulitan dan derita, mereka sendirian. Pasrah sepenuhnya..." (meski kadang para imam itu mengatasinya sendiri) sebenarnya kurang tepat, karena biarawan dan biarawati hidup bersama dalam sebuah komunitas. Mereka akan saling menolong dan menguatkan sebagai sama saudara seperjuangan, sebagai keluarga baru mereka.Â
Mereka bahkan memiliki pembimbing rohani atau rektor untuk curhat, mereka memiliki sama saudara sekomunitas yang siap melayani jika sakit (bahkan ada yang namanya kerasulan khusus melayani dan mengunjungi orang sakit). Jadi biarawan tidak pernah sendirian.... Bagi seorang biarawan atau biarawati, yang terutama adalah bahagia menjalani penggilan hidup selibat, tentu dengan dasar bahasa Cinta (Kasih) seperti yang telah dikatakan oleh Desy Kartika Sari.
Baca juga: Apakah Frater (Calon Imam Katolik) Bisa Jatuh Cinta?
Ada begitu banyak ide yang mondar mandir dalam pikiran saya, namun saya merasa cukup. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat membantu teman-teman untuk memahami satu sama lain, dan semoga menjadi salah satu sumber informasi yang bermanfaat.
Sepertinya tulisan ini terlalu panjang, mungkin sebagian pembaca berhenti di tengah artikel... tetapi bagi teman-teman yang membaca hingga selesai saya ucapkan banyak terima kasih. (Hehhee )
Bagi teman-teman yang merasa ada yang kurang atau mengganjal, silahkan menghubungi saya. Sebab tulisan ini saya tulis dengan begitu sederhana sehingga teman-teman non-Katolik juga bisa memahaminya dengan baik. Tanpa istilah atau penjelasan teologis yang berat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H