Mohon tunggu...
Bataona Noce
Bataona Noce Mohon Tunggu... Freelancer - Aku... Nanti, kalian akan mengenaliku di sana....

Mencintai bahasa dan sastra, seperti mencintai dirinya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Permintaan "Maaf" Sudah Tidak Relevan?

21 Juli 2018   12:05 Diperbarui: 21 Juli 2018   12:19 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, setahun terahir benar-benar hilang dari dunia literasi. Banyak yang bertanya, "Mengapa?", dan aku hanya menjawab, "Aku hanya butuh waktu untuk menyepi, mengisi sela-sela kekosongan". Nah, anggaplah kalian sangat menantikan setiap tulisan 'keren' yang saya terbitkan (hitung-hitung sebagai fans, dih, pede amat ya...). Dan kalian pura-pura bertanya: "Kamu koq tega banget! Kemana aja setahun  ini? kita kangen banget tau...." Lalu aku menjawab santai (sellow), "Maaf ya teman-teman...." Apakah kalian dengan lapang dada bersedia menerima maafku?

Jelas bahwa jawaban teman-teman akan ada yang menerima, tetapi ada juga yang akan menolak (dih, ngapain coba!). Pertanyaannya adalah apakah permintaan maaf masih diperlukan?

Maaf merupakan sebuah tuntutan pembebasan, sama seperti kata ampun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata maaf memiliki tiga pemahaman, yaitu tuntutan pembebasan, permintaan ampun dan permohonan. Pada kesempatan ini kita akan melihat pemohaman maaf yang pertama dan kedua. Sebab pemahaman yang ketiga hanya lebih seperti permintaan izin.

Pertama, maaf sebagai tuntutan pembebasan dari sebuah hukuman dan denda, misalnya, "Saya minta maaf atas kejadian kemarin!". Kedua, maaf sebagai permintaan ampun, misalnya, "Maafkanlah saya yang telah menyakitimu!" atau "Ampunilah saya yang telah menduakanmu!" Sejak kecil, kita semua pasti diajarkan perihal bermaaf-maafan. 

Kita pelajari, kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari (meski ada yang tidak, iya kan? hhhhe) dan kita tumbuh berkembang hingga dewasa berdasarkan etika bermaaf-maafan. Secara tidak sengaja, permaafan telah terbentuk dan mengakar kuat dalam pikiran sehat kita, sehingga kita lupa fungsi sesungguhnya dan menjadikannya hanya sebagai sebuah kebiasaan.

Selanjutnya saya akan memberikan sebuah challenge kepada teman-teman. Datangi pacar kalian dan katakan dengan tegas kalau kamu meminta putus, bahwa dia adalah orang yang egois dan tidak pantas bersama kamu. Atau yang lebih ekstrim (contoh), kalian temui siapapun di jalanan lalu menusuk perutnya  dengan sebuah pisau hingga meninggal dunia (maaf, agak keras.... lho penulis sendiri minta maaf... ahaaha). 

Setelah itu teman-teman mendatangi keluarganya dan meminta maaf. Apakah kalian akan dimaafkan? Iya, ada kemungkinan dimaafkan. Apakah setelah meminta maaf, masalah tersebut akan terselesaikan? Sepenuhnya tidak... toh orang yang kamu tusuk perut sudah meninggal dunia.

Jadi, dengan tegas saya mengatakan bahwa sebenarnya permintaan maaf sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Dulu atau sebelumnya iya, tetapi tidak untuk zaman sekarang! Sebab yang terpenting dan terutama adalah berubah. Maaf saja tidak cukup. Sering terlambat ke sekolah tidak akan terselesaikan hanya dengan permintaan maaf, tetapi dengan sebuah perubahan, berubah untuk tidak mengulangi hal yang sama.

Salam santun dari saya! (Bataona Noce)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun