Mohon tunggu...
Basyar
Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sriwijaya

Halo saya mahasiswa Universitas Sriwijaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengaruh Tiongkok dalam Geopolitik terhadap Keamanan Batas Wilayah Laut Cina Selatan

6 Desember 2024   17:34 Diperbarui: 6 Desember 2024   17:34 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang Konflik Laut Cina Selatan

Sejak dahulu, wilayah Laut Cina Selatan memiliki peran dan arti geopolitik yang sangat besar karena menjadi titik temu antara Tiongkok dengan negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan lainnya yang sebagian besar merupakan negara anggota ASEAN dan memiliki beberapa masalah territorial, keamanan, dan kedaulatan. Secara historis, konflik Laut Cina Selatan sudah terjadi lebih dari 20 tahun lamanya sejak 1974 hingga 2011. Namun, ketegangan yang barubaru ini terjadi menimbulkan suatu kekhawatiran baru di kawasan ini dan semakin mengancam ketahanan dan keamanan dunia. Titik sengketa Laut Cina Selatan adalah Kepulauan Spratly, sengketa atas kepemilikan kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel yang mempunyai riwayat yang panjang dan berbatasan dengan wilayah perairan dari beberapa negara, seperti Filipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Laut Cina Selatan (LCS) merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan. Laut Cina Selatan menjadi perairan yang memiliki banyak potensi besar karena kandungan minyak bumi dan gas alam dan melalui jalur distribusi terkait minyak dunia, perdagangan perkapalan ataupun pelayaran secara internasional. Sejak dulu, lingkup wilayah LCS memliki peran geopolitik yang penting diantara negara-negara yang berbatasan dengan LCS sendiri, yang dimana sebagian besar itui negara-negara ASEAN dan sejauh kepentingan yang terjadi pada LCS mengalami masalah teritorial, keamanan dan bahkan mengganggu kedaulatan negara. Ketegangan pada Laut Cina selatan belakangan timbul dilema keamanan pada kawasan tersebut dan mengancam kepentingan dan keamanan dunia.

Sengketa perebutan laut cina selatan bermula bagaimana munculnya klaim Tiongkok terhadap kepulauan spratly dan paracel di tahun 1974 dan 1992. Dan dari hal ini dipicu dengan Tiongkok yang mengeluarkan peta klaim dengan memasukkan kepulauan spratkly, paracels dan pratas. Dari klaim tersebut negara-negara ASEAN memberi respon yang mana klaim tersebut mengancam perbatasan yang bersinggungan langsung antara negara kawasan Asia Tenggara dan Laut China Selatan. Diantara negara ASEAN tersebut adalah Vietnam, Brunei darussalam, Filipina, Malaysia. Klaim dari Tiongkok ini yang disebut dengan klaim dari historis "Nine Dash Line". ini merupakan garis sepihak yang semata-mata dibuat oleh Tiongkok yang tidak daitur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS1982). Pemerintah Tiongkok atas klaim LCS berdampak pada kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ada pada perairan perbatasan Indonesia. klaim Tiongkok hingga mengarah pada perairan Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan Tiongkok, mengacu pada batas wiklayah Tiongkok sejak zaman Dinasti Ming. Namun keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait hukum laut yang tercatat dalam UNCLOS 1982 memutuskan bahwa perairan Natuna adalah bagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)

Dimensi Geopolitik terhadap wilayah LCS

Pengupayaan diplomasi sebagai jalur damai dalam menjaga hubungan dalam sengketa dalam perbatasan LCS, walaupun sejauh ini perundingan untuk penetapan garis batas ZEE antara Tiongkok dan Indonesia di perbatasan perairan Natuna. Karena Tiongkok sendiri dengan negara ASEAN yang memiliki klaim wilayah Laut Cina Selatan belum terjadinya kesepakatan. Bagi Indonesia sendiri pentingnya upaya diplomatik guna agar dilema konflik tidak meluas ke wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna, dengan menggunakan diplomasi sebagai alat dalam menyelesaikan sengketa LCS. Pengimplementasian efektifitas dari Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yaitu menumbuhkan rasa kepercayaan, peningkatan kerjasama, menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan. Lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Prinsip Non Intervence yang dimana dalam prinsip ini keutamaannya adalah sebagai kunci utama, karena jika kembali dari Historis terhadap negara anggota ASEAN dengan kesamaan yang dimiliki pada masa kolonialisasi melalui intervensi. Karena dengan kebijakan ini pengimplimentasian nilai intervensi yang dilakukan ditentang keanggotaan ASEAN dengan prinsip non-interfence yang disuarakan.

Upaya Indonesia dalam perjalanan menyelesaikan konflik di LCS telah bergerak semenjak tahun 1990. Indonesia telah memprakarsai untuk pengadaan lokakarya yang membahas Laut Cina Selatan dengan agenda Workshop for Managing Potential Conflict in the South Tiongkok Sea diselenggarakan di Bali. Runtutan lokakarya inilah yang membuka pendekatan kerjasama dalam mengesahkan Declaration on the Conduct in the South Tiongkok Sea tahun 2002. Indonesia menjadi negara yang cukup aktif dalam menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan karena kawasan LCS merupakan strategis pemerintahan Indonesia.

Dampak dari konflik LCS

Kompleksitas yang terjadi pada wilayah Laut Cina Selatan cukup rumit, karena sengketa LCS pasti akan berdampak pada kedaulatan kawasan Asia Tenggara. Pada studi kasus LCS dapat diteliti bagaimana prinsip keamanan dan hubungan kerjasama hadir dalam memahami konflik, kepentingan hingga latar belakang. Sehingga melihat interaksi global yang terjadi dapat membentuk keadaan yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri. Poin dimana keuntungan dari kebijakan indoensia mengenai diplomasi dapat berpotensi dalam mengeratkan hubungan bukan hanya target kepada tiongkok yang menjadi fokus utama, tetapi juga keeratan keanggotaan negara-negara ASEAN. Regionalisasi yang terbentuk tidak menutup kemungkinan membangun proses dan pengaruh yang meningkatkan rasa saling percaya terahdap negara keanggotaan, oleh karena dengan terbentuknya aliansi kawasan merupakan strategi untuk memenuhi kepentingan dan jaminan dalam ikatan kerjasama kedepannya. Lalu dalam pandangan yang dimiliki tiongkok dalam hubnugan bilateral yang dilakukan bersama Indonesia menjadi suatu kebijakan yang dikenal dengan Belt-Road Initiative dengan upaya mewujudkan nilai visi poros maritim dunia bersama Indonesia sehingga kesepakatan terjadi guna membangun infrastruktur dari prospek proyek kerjasama BRI.

Lalu dimana kebijakan ini menghadirkan kerugian jika ASEAN tetap menggunakan prinsip Non Intervence akan berdampak negatif dan kemungkinan berpotensi bubarnya ASEAN. Non Intervence, pada tingkat dasarnya merupakan wujud nyata atas penghormatan kedaulatan kenegaraan anggota ASEAN, hal ini bertujuan meredam sikap saling tidak percaya antar negara anggota ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN memiliki entitas One Vision, One Identity, and One Community. Entitas tersebut mematahkan relevansi prinsip Non Intervence jika negara tersebut ingin berintegrasi dalam negara yang lebih besar harus memindahkan kedaulatannya pada cakupan kerangka yang lebih luas, dengan membangun integarasi ASEAN yang lebih bersatu Dan bahwasanya aturan terkait Kode Etik yang penerapannya belum tentu dapat mengurangi klaim yang menimbulkan konflik karena pada dasarnya LCS merupakan tempat strategis kepetingan negara lain yang bahkan diluar perbatasan Laut Cina Selatan dapat ikut campur dalam kekuasaan wilayah ini.

Peran Indonesia dalam masalah LCS

Pada dasarnya Indonesia sendiri dalam pengaruh meluaskan kebijakan dalam sengketa LCS, berperan aktif sebagai mediator atau penengah dalam kasus LCS diantara Tiongkok dengan negara-negara yang juga memiliki kepentingan pada LCS dalam penerapan Declaration on the Conduct (DOC) of Parties in the South Tiongkok Sea. Opsi pemerintah dalam menggunakan berbagai metode dalam mencari solusi dapat terwujudkan sebagaimana Indonesia dengan kebijakan bebas dan aktif yang menjadi aksi sebagai menjalin hubungan dialog internasional. Pendekatan Geopolitik yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi diterapkan dengan konsep dasar hubungan politik dengan geografis Indonesia. Indonesia sebagai negara maritim menegaskan bahwa sebagai negara yang mempunyai potensi Poros Maritim Dunia dengan berada diantara dua samudra yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dialog keamanan harus terus dijaga guna mengurangi keterlibatan konflik sehingga potensi prospek kerjasama maritim akan dapat lebih dibicarakan dalam ruang internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun