Mohon tunggu...
Penulis Pinggiran
Penulis Pinggiran Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia on STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan. Broadcaster on 105 RAUFM Padangsidimpuan, Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Genggaman Malaikat

27 September 2014   14:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:18 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Basuki

Cintaku telah menyatu dengan mega itu, angin membawa cintaku entah kemana, ia dibawa angin seperti angin membawa hu

[caption id="attachment_362010" align="alignright" width="404" caption="Tangan"][/caption]

jan ke daerah yang terpencil dan kumal

Dingin. Ditambah lagi angin yang berdesau menerpa tubuhku yang dari hari ke hari semakin kerontang karena terus memikirkannya di sore itu. Angin itu merembes lagi menerobos ke sumsum tulangku yang begitu rapuh seolah-olah tak berbentuk dan tak mampu digerakkan lagi, karena semuanya benar-benar telah rentan karena kebekuan yang telah menggetarkan seluruh ragaku dan jiwaku sendiri.

Entah apa yang membuatku terus-terusan memikirkan orang yang telah menyia-nyiakan cintaku. Padahal sudah sebulan yang lalu ia meninggalkan Aku tanpa sebab yang jelas. Harus ku akui itu sangat melukaiku. Tanpa dia tahu betapa Aku sangat mencintainya. Aku tak pernah menyakitinya. Betapa Aku tulus mencintainya. Mengapa dia tidak pernah membalas kasih dan sayangku padanya. Mungkin karena Aku terlampau berharap mendampingi hayatnya sampai rambutnya memutih, matanya tak dapat melihat lagi, pipinya kempot karena tak bergigi, bahkan senyumnya yang kini manis dan nantinya akan sadis, Aku akan tetap mengharapkannya. Karena Aku mencintainya bukan karena rupa dan kemolekannya, tetapi cinta memang sangat membutakan segala mata dan hati manusia. Itulah yang kualami ketika betul-betul hatiku terjun ke hatinya dan menyelam di sana. Bertahan sekian lama dan berakhir dengan derita. Tragis.

Apakah hukum alam itu berlaku. “Jika mencintai maka akan dikhianati” kalau begitu apa artinya cinta jika memang disakiti. Buat apa lagi hidup jika akan mengalami kesulitan dan penderitaan yang seolah-olah enggan lekang dari kehidupanku. Seakan-akan keperihan akan selalu kurasakan tanpa sedetikpun kebahagiaan setelah Aku betul-betul kehilangan sosok yang sangat Aku harapkan dan Aku dambakan.

Aku masih ingat betul suaranya, ketika ia mengatakan “Betapa Aku mencintaimu” saat itu Aku merasa sangat tergoda dengan kata-katanya. Jika syair-syair yang dilantunkan dan diiringi dengan melodi-melodi yang indah dinyanyikan oleh diva ternama. Namun bagiku suaranya lebih indah dari segalanya. Walaupun tanpa nada dan tanpa melodi yang mengalun begitu merdu. Suaranya saja sudah membentuk simponi yang menggetarkan, membuat insan terlena dengan kelembutan suaranya, bahkan suaranya mampu memberikan kesegaran dan berupa inspirasi bagi yang mendengarnya.

Ketika cintaku berdampingan dengan mega yang suci, Aku sangat bahagia, merasa bahwa dunia ini begitu sempurna. Namun ketika cintaku telah menyatu dengan mega itu, angin membawa cintaku entah kemana, cintaku dibawa angin seperti angin membawa hujan ke daerah yang terpencil dan kumal. Kumallah diriku kini yang kotor karena cintaku yang ternodai oleh zat kimia yang begitu mengerikan dan sampah-sampah yang menyebarkan penyakit.

Debu cintamu menyusup ke relung hatiku, menjadikan hatiku semakin sesak tak dapat bernafas lagi. Pertama hadir debu itu belum kurasakan, karena dia menyelinap dibawa angin yang merembes. Engkau begitu lihai meniupkan cinta bercampur partikel debu yang tak kurasakan sama sekali. Setelah nafasku betul-betul sesak dan tersengal hampir mati, baru Aku sadari bahwa engkau telah mencemari ruang hati dan cintaku yang suci.

Padahal engkau adalah orang yang pertama singgah di hatiku 3 tahun yang lalu, yaitu di usiaku yang labil. Belum tau menghadapi hidup yang penuh tanda Tanya dan penuh rekayasa. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa sweet seventeen itu puncak kebahagiaan, tetapi kenapa di saat itu saja Aku tak mendapatkan sesuatu kemanisan, malah kepahitan yang tiada tara tercecapi.

“Tok… tok... tok…” suara pintu itu memcahkan lamunanku yang sudah di atas awan.

“Siapa?” Tanyaku dari dalam kamar yang betul-betul tak mau diganggu.

“Ini Aku Rara Bay” Jawab seseorang yang betul ku hapal suaranya.

“Masuk! Pintunya tak dikunci” Jawabku dengan sekenanya.

Rara membuka pintu perlahan dan mendapati diriku yang sangat mengkhawatirkan. Ia begitu terkejut melihat keadaanku. Bahkan ia tak pernah mengira bahwa hidupku saat ini sangat kusut, semeraut dan keadaan diriku sudah seperti kapal pecah saja. Kamar ku sendiri tak terurus, kehidupanku benar-benar kacau.

“Kamu sudah seperti orang gila” Sungut Rara.

“Aku tidak gila, tapi jika masih ada kata yang bisa mewakili di atas gila maka kata itu pun belum bisa dipadankan dengan keadaanku saat ini” Jawabku dengan rasa tidak peduli. Bahkan tatapan mataku kupertajam ke arah Rara yang membawa makanan dan segelas susu panas.

“Aku tak pernah mengira kalau keadaanmu sudah se gawat ini Bay” Tutur Rara lagi.

“Kau tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya,”. Rara mencomel semakin menjadi-jadi, karena khwatir dengan keadaanku yang sudah betul-betul tersesat dalam kehidupan yang sudah dibekali peta dan kompas.

Namun pada saat itu Aku hanya ingin mengurung di kamar tidurku sendirian. Mukaku pucat pasi seperti sudah kehilangan nyawa. Aliran darah seperti telah dihisap drakula. Dan rambutku aut-autan.

Kulihat Rara yang sedari tadi memperhatikanku lalu mendekatiku. Tiba-tiba ia meletakkan tas di meja belajarku. Rara membawa makanan serta segelas susu yang sengaja dibawanya. Lalu ia menghampiriku dan tepat duduk di sampingku sambil menyentuh tanganku yang dingin seperti mayat hidup.

“Bay, bagaimanapun keadaanmu, kamu makan ya. Ini aku bawakan gulai kesukaanmu” Bujuk Rara. Namun aku tetap tak bergeming. Lalu ia meletakkan makanan dan segelas susu itu di atas nampan.

Tangannya kembali menggenggam tanganku yang dingin hampir beku. Sebenarnya Aku kaget dengan genggamannya, apalagi sentuhannya kali ini bukan sentuhan biasa. Tetapi Aku sedikit merasa aneh dengan genggaman tangannya di kulitku. Seperti ada aliran listrik yang menyetrum hingga ke ulu hatiku. Pertama Aku ragu, setelah tangan kirinya mulai mengelus-elus punggung tanganku. Usapannya bagaikan belaian seorang ibu kepada buah hatinya, Aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perlakuannya kepadaku.

“Tolong lepaskan tanganku” Pintaku dengan suara agak tinggi. Namun sebenarnya dalam hati, Aku sangat ingin berlama-lama digenggam oleh tangan malaikat itu.

“Kenapa?” Tanya Rara dengan ukiran ribuan kerutan di keningnya. Dan Ia pun langsung berdiri tepat di hadapanku.

“Aku tidak suka diperlakukan begini” Bentakku lagi. Namun di hatiku sekali lagi menegaskan bahwa Aku masih ingin berlama-lama digenggam oleh tangan malaikat itu.

“Ok! kau tak pernah tahu masih banyak orang lain di luar sana yang membutuhkanmu, yang masih mencintaimu, kau selalu memikirkan perasaanmu saja. Orang lain tak pernah engkau anggap ada. Padahal manusia itu diciptakan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahannya. Engkau selalu bisa memotivasi orang lain, menasehati orang lain, menyuruh orang lain. Tapi kenapa kau tak pernah bisa mengerti dan jujur sekalipun kepada dirimu sendiri?” Rara marah seperti kesurupan jin Ifrit. Suaranya menggelegar. Berubah dari lembut menjadi sangar. Aku sempat kaget dengan bentakannya.

Rara mengambil tasnya yang tadi diletakkannya di meja belajarku.

“Ptraaarr” Suara pintu itu teramat sangat mengagetkanku. Ia berlari dan menutup pintu dengan bantingan yang teramat keras. Sehingga memecahkan kebekuan dan kebuntuan yang ada di pikiranku. Seolah-olah benturan pintu itu sebagai jampi mujarab yang bisa membangunkan segala gairahku untuk hidup kembali menapaki sedepa demi sedepa realita kehidupanku yang penuh dengan teka-teki dan tanda tanya.

Sebenarnya Aku tak ingin melihatnya, tapi sekali lagi kutegaskan dalam hatiku bahwa Aku masih ingin digenggam oleh tangan malaikat yang sangat lembut itu. Dengan segera kulangkahkan kakiku mengarah ke jendela meski ada perasaan berat. Lalu mataku jelalatan mencuri-curi pandang kemana arah Rara melangkah.

Ku lihat seonggok tubuh rara yang menangis tertahan sambil membungkukkan sedikit tubuhnya menghadap ke tanah. Agak samar terlihat olehku kalau Air matanya tak dapat dibendungnya lagi. Setelah ia kelaur dari rumahku Rara betul-betul meraung dan menangis. Sambil mendongakkan mukanya ke arah langit. Entah ia berdoa kepada Tuhan atau ia sedang melepaskan kekecewaannya terhadap sikapku yang sama sekali tak diinginkannya.

Kulihat ia sedang mengerang dan tambah mengerang lagi. Aku sebenarnya menyesal dengan apa yang sudah Aku perbuat terhadap Rara. Ketika Rara menyeberang, tiba-tiba.

“Aaaaahhhkkkk” Teriakan itu sangat mengejutkanku.

Tanpa pikir panjang Aku langsung berlari keluar dari kamar tidurku. Langsung menghampiri Rara yang sudah terpental jauh sekitar 10 meter dari tempat berdirinya.

Aku mendapati Rara yang sudah terkulai lemas tak berdaya. Sesekali nafasnya menerpa wajahku dan agak tersengal. Itu dapat kurasakan dari suara nafasnya yang menerpa wajahku. Kulihat mukanya membiru akibat benturan mobil yang mementalkan dirinya. Aliran darahnya menetes di bagian belakang kepalanya. Kulihat darah itu benar-benar segar di telapak tanganku. Aku tersentak. Harus ku akui bahwa Aku belum pernah menyentuh darah sesegar itu.

Tanpa menunggu perintah dari siapapun. Aku melarikan Rara yang terkulai lemas dan rambutnya menjuntai indah. Aku membopong Rara dengan mengerahkan segala sisa tenagaku yang masih tersisa.

Ketika Aku berlari membopong Rara, tangan malaikat itu kembali menggenggamku. Dan keinginanku pun jadi terwujud. Malaikat itu tersenyum kepadaku, senyumannya seperti memberikan suatu isyarat yang belum bisa kumengerti. Dari air mukanya yang kuperhatikan ia seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Namun Aku tak peduli. Karena bagiku keselamatannya sudah menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.

Setelah sampai di rumah sakit, perawat dan dokter siap bergegas membantuku dan langsung membawanya ke UGD. Sedangkan Aku di bangku tunggu resah gelisah memikirkan keadaan Rara yang begitu mengenaskan. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan dia? Apa yang mesti kulakukan?

Kekacauan yang telah mendera pikiranku membuat Aku tak mampu mengendalikan perasaanku sendiri. Pikiranku yang semeraut karena memikirkan mantanku yang telah menyia-nyiakan cintaku kini telah berganti menjadi keresahan dan kekhawatiran terhadap Rara.

“Dek!” Suara itu memecahkan kekacauan pikiranku.

“Bagaimana keadaannya Dok?” Tanyaku dengan nada tak teratur dan suara yang tak tersengal-sengal.

“Alhamdulillah lukanya tidak terlalu serius. Sehingga hanya membutuhkan beberapa hari dia sudah bisa dibawa pulang” Jawaban dokter itu melegakan perasaanku yang sedari tadi tak menentu.

“Bisa saya menjumpainya sekarang Dok?” Tanyaku dengan penuh harap.

“Boleh. Tapi dia sekarang sedang tertidur. Tunggu saja di dalam sampai dia siuman” Balas dokter.

Sungguh, hatiku benar-benar telah bahagia mendengar ucapan dokter itu. Tanpa sadar, Aku memegang kedua tangan dokter itu, lalu Aku menciumnya tiga kali sebagai tanda sukur ku.

Aku menghampiri malaikat yang terkulai lemas di kejauhan sana. Setelah benar-benar bisa ku raih tangan malaikat itu. Aku langsung mengenggamnya erat-erat. Dalam hati Aku berucap. Maafkan aku yang telah membuatmu celaka. Aku bersumpah demi Bumi yang kupijak dan langit yang kujunjung ini, Aku sangat menyesali semua yang telah aku lakukan.

Genggaman tanganku tak pernah kulepaskan dari tangan malaikat itu. Sesekali tanpa kupinta airmataku menetes mengenai tangan malaikat yang sangat lembut itu. Namun, karena sudah larut malam. Kelopak mataku tak kuasa lagi untuk menahan rasa kantuk yang menderaku. Dengan tangan yang masih menggenggam tangannya, Aku tertidur.

“Baayyy” Suara berat parau dan gerakan tangannya membangunkanku yang tertidur membungkuk di samping ranjang tempat Rara dirawat.

“Ia Ra, maafkan Aku yah!” Ucapku sekaligus meminta dengan raut muka antara memelas dan berharap.

“Tak ada yang perlu dimaafkan Bay, tanpa harus kau meminta maaf aku sudah memaafkanmu”. Jawabnya dengan penuh ketulusan dan keihklasan. Itu bisa kulihat dengan ukiran senyuman yang menenangkanku.

Inilah saatnya Aku katakan bahwa Aku mencintainya. hatiku berbisik, namun masih ragu.

Namun sebelum Aku mengutarakan kata-kata itu tiba-tiba…

“Aku mencintaimu”. Ucap Rara. Sontak mataku terbelalak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun