Pada sebuah kajian ilmu yang diisi oleh pemateri terkenal; para peserta yang mayoritas adalah orang tua, sedang mengikuti dengan semangat.Â
Sejak awal, Bapak dan Ibu peserta sudah dibuat terbahak oleh pemateri yang beberapa kali  melontarkan humor dan kelakar. Komunikasi dua arah pun terjadi. Setiap Pemateri bertanya, dengan sigap mayoritas peserta menjawab. Sehingga suasana kajian makin ramai; macam pengajian Kyai Anwar Zahid.
Saat pemateri kembali bertanya,"Bapak dan Ibu pengen putrane dadi solih-sholihah ?". Tanpa aba-aba atau komando dari dirigen, paduan suara orang tua sepakat menjawab "PENGEN !!!!"
Sayangnya, keramaian itu tak berlangsung lama. Setelah menyusul pertanyaan berikutnya," Berarti njenengan sedaya sampun dados contoh ingkang sae, sampun ngrencangi putro sinau, sampun caket kaleh atine putro, nggih ? ". Seperti rumah yang ditinggal penghuninya pergi, kajian itu mendadak sepi. Tak ada lagi kekompakan paduan suara. Komunikasi dua arah hilang. Pikiran para orang tua kembali melihat dapur pendidikan di rumahnya masing-masing.
Cerita ilustrasi di atas adalah sebuah gambaran, betapa setiap orang tua ingin anaknya menjadi pribadi berperangai baik, pintar di sekolah dan pintar agama. Namun, keinginan hanyalah keinginan; tanpa disinergikan dengan upaya yang tepat dan optimal, maka keinginan tetap menjadi angan-angan.
Anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian. Orang tua adalah orang yang pertama kali dikenal anak, di mata anak orang tua adalah sosok yang luar biasa, serba hebat dan serba tahu, anak akan selalu mencontoh apa yang dibuat oleh orang tuanya.
Tapi, paham sebagian orang tua bahwa tanggung jawab mendidik anak telah "gugur" ketika telah memastikan anaknya mengenyam pendidikan di sekolah. padahal,pendidikan adalah proses terus-menerus dari rumah, sekolah, ke masyarakat, dan kembali ke rumah lagi.
Yusinta Dwi Ariyani, Salah seorang dosen di Universitas Alma Ata Yogyakarta mengatakan  bahwa peran orangtua dalam pendidikan memegang pengaruh penting, sama pentingnya dengan guru dan lingkungan dalam memengaruhi prestasi dan potensi siswa di sekolah. Ikutnya orangtua berperan aktif dalam pendidikan memberikan dampak yang besar yang besar dalam proses belajar siswa.
Selain itu, banyak teori psikologi perkembangan anak, terbukti bahwa anak yang didampingi orang tua di rumah akan cenderung lebih baik dalam proses pembelajarannya.
Contoh mudah dari hadirnya orang tua dalam pendampingan pendidikan anaknya adalah kebersamaan kebiasaan baik ketika di rumah. Jika orang tua terbiasa membaca, maka ajaklah anak untuk mengenal buku dan membaca bersama. Jika ingin taat ibadahnya, maka keduanya bersama salat berjamaah. Jika ingin baik nilainya, maka orang tua harus mendampingi kegiatan belajar pelajaran ketika di rumah.
Janganlah sampai keinginan kita memiliki anak yang baik, hanya menjadi angan-angan belaka. Sebagaimana peribahasa Arab berikut :
...
"Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalan keselamatan. Sesungguhnya kapal itu tidak mungkin berlayar di atas daratan."
Kita mengharap putra-putri yang baik, Â tapi tidak menempuh caranya. Apakah adil ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H