Mohon tunggu...
BASTIAN HIDAYAT
BASTIAN HIDAYAT Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Indonesia, tengah menimba ilmu di Malaysia. Penerima beasiswa Khazanah Asia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Sepenggal Siang: Syukur

11 Oktober 2013   10:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:41 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah kenapa aku begitu lelah hari ini. Kelas pagi yang dimulai pukul 08:30 saya datangi dengan langkah gontai dan juga sedikit terlambat. Mood saya sedikit membaik ketika masuk kelas UNGGAS. Di kampus saya, ada matakuliah wajib bernama University General Knowledge, UNGS, tapi kemudian kami sebut UNGGAS karena lebih gampang. Dosen kami, seorang lelaki paruh baya kelahiran Aljazair namun lulusan Kanada, seperti biasa bercerita tentang banyak hal di kelas. Dan hari ini, karena materi utamanya adalah Al Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan, beliau bercerita tentang minat baca masyarakat Islam. "Bayangkan, masyarakat Malaysia rata-rata membaca 2 halaman buku pertahun. It's terrible, disaster!" Tentu apa yang beliau katakan tersebut benar. Sebagai sebuah agama yang diturun dengan perintah pertama untuk membaca, Iqra', tentu sangatlah disayangkan apabila lantas membaca tidak menjadi kebiasaan bahkan dinilai sebagai sesuatu yang tidak lazim. "Dulu kala, sewaktu saya muda, orang yang membaca koran disebut majnun, gila! Padahal, di waktu yang sama, di Inggris, orang yang gila adalah mereka yang tidak mau membaca!" "Dimana-mana, di LRT di Bus, sekarang orang lebih memilih duduk sambil menekuri gadget mereka: bermain facebook, bermain game. Dalam berbagai meeting saya juga menemui orang-orang yang selalu asyik dengan perangkat selularnya seolah dengan mencatat sesuatu, padahal ia tengah bermain facebook! Di kantor-kantor, seringkali kita melihat pegawai yang khusyu' di depan komputer, menggunakan keyboard dengan begitu cepat. Tapi bukan untuk mengetik surat ataupun laporan, tapi menulis status!", ujarnya berpanjang lebar, sementara saya melihat beberapa student perempuan tengah fokus dengan telefon genggamnya! Saya akhirnya memutuskan untuk bergegas pulang ke kamar selepas kelas, pukul 12:30, dan tidur karena kelas saya selanjutnya baru ada lagi pukul 15:30. Rencana yang kemudian tidak benar-benar berhasil karena dari kelas saya mampir tempat jualan seorang kawan dan kemudian malah jajan dan ngobrol. Saya baru pergi dari tempat tersebut ketika azan berkumandang untuk kemudian ke masjid bersama seorang karib. Saya begitu senang ketika akhirnya saya bisa melangkahkan kaki pulang. Namun, sepertinya, Sang Pembuat Rencana sudah merencanakan sesuatu yang lain untuk saya. Entah kenapa, dari kampus saya memilih jalan yang tidak biasa saya lewati untuk pulang ke kamar. Pada akhirnya akan sampai kamar juga sih, tetapi jaraknya lebih jauh. Dan saat itulah saya mendengar suara yang sudah akrab di telinga memanggil nama saya. Suara yang datang dari bawah tangga salah satu bangunan asrama. Saya terkesiap. Ibu-ibu petugas kebersihan asrama yang tengah beristirahat siang memanggil saya untuk datang. Dan ternyata mereka sedang rujakan, sepiring mangga dan kedondong yang baru saja di kupas menyambut kedatangan saya, sungguh menggoda! Oh ya, hampir seluruh petugas kebersihan asrama adalah orang Indonesia, salah satunya pernah saya ceritakan di sini. Dan sejak awal saya masuk IIUM, saya lumayan akrab dengan beberapa orang di antaranya yang notabene selalu membersihkan kawasan asrama saya. Bahkan saya menggunakan kata "Mak" untuk memanggil mereka, kata yang selama ini hanya saya gunakan untuk memanggil Mamak, ibu saya. Kami terbiasa makan bersama saat hari Jumat atau Sabtu, hari dimana saya lebih banyak di asrama karena memang libur kuliah. Ngobrol ngalor ngidul membicarakan berbagai hal. Ditambah lagi karena memang saya orang Jawa yang sangat lancar berbahasa Jawa, sehingga hubungan di antara kamipun semakin akrab. Di awal-awal dulu saya masih menggunakan bahasa Jawa halus ketika berbicara dengan mereka, karena memang untuk menghormati mereka yang lebih tua. Tapi, lama kelamaan saya akhirnya ditegur dan disuruh untuk menggunakan bahasa Jawa ngoko saja, tingkatan bahasa Jawa yang seharusnya hanya digunakan untuk teman sebaya. "Seperti ngomong sama siapa aja!", ujar mereka. Ibu-ibu tersebut juga seringkali mengirimi kami makanan: kerupuk, pisang, rempeyek bahkan pernah kami diberi rendang dan bakso. Merekapun tak canggung meminta pertolongan apabila memang sedang perlu: mengisikan MP3 ke handphone, mengirimkan surat ke Indonesia, mengartikan surat ataupun edaran berbahasa Inggris dan pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Namun karena satu hal yang terlalu rumit untuk saya cerita, kawan akrab saya tersebut dipindah tugaskan ke tempat lain. Dan karena itulah intensitas pertemuan kami berkurang - tapi beberapa kali mereka bermaksud memberi makanan tapi karena tidak berjumpa akhirnya diberikan seorang kawan. Sehingga, bisa dibilang pertemuan tadi siang adalah semacam reunian :') Mak - Full team Saya duduk begitu saja bersama mereka di lantai. Meski sebenarnya seharian belum makan, tetapi begitu melihat potongan-potongan mangga muda di atas piring, saya langsung lahap. Sambil makan, seperti biasa, kami ngobrol. Atau lebih tepatnya saya mendengarkan berbagai cerita mereka, ada terlalu banyak hal yang sepertinya ingin mereka ceritakan sepertinya. Mulai dari seorang petugas kebersihan yang sudah melahirkan, permit kerja yang tidak kunjung keluar, mesin semprot yang rusak hingga "kehidupan" yang lebih baik di tempat kerja yang baru. Jadi, ceritanya, mereka ini sebenarnya adalah semacam petugas kebersihan teladan. Di bawah kendali mereka, saya bisa mengatakan bahwa blok asrama di mana saya tinggal adalah blok paling bersih di antara asrama-asrama lainnya. Kamar mandi kami paling mengkilat! Toilet kamipun kinclong! Area asrama juga asri, dipenuhi berbagai macam tanaman. Dan dengan kerja yang jempolan akhirnya mereka mendapat perlakuan khusus dari kantor asrama. Dan sejak saat itulah banyak pekerja lain yang iri, termasuk team leader-nya. Sehingga berbagai intrikpun berjalan yang akhirnya berujung pada pemindahan Mak petugas kebersihan asrama kami :'( Di satu sisi saya senang ketika mereka terbuka dengan kehidupan mereka, karena tandanya mereka nyaman dengan saya. Tapi, di sisi lain, dengan cerita yang demikian saya jadi kasihan. Dan itulah yang seringkali terjadi: orang-orang yang aktif kerja seringkali terkalahkan oleh mereka yang aktif bicara - termasuk di antaranya menebar fitnah. Tapi sudahlah, mereka sudah menemukan kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru. :) Bahkan mereka berusaha merayu saya untuk ikut merasakan kehidupan yang lebih baik tersebut dengan mengusulkan untuk pindah kamar saja ke kompleks asrama dimana mereka sekarang bekerja, hehe. Sang Pembuat Rencana ternyata telah menyiapkan rencana terbaiknya. Dan menghabiskan siang bersama Mak-mak tadi berhasil menjadi mood-booster saya. Apalagi tadi siang adalah hari gajian, sehingga mereka memiliki lebih banyak bahan obrolan.

Menghitung Gaji "Duit wolungngatus ringgit, telungatus dikirim kat Indon! Isih limangatus, sik rongatus dinggo arisan. Isih telongatus. Utang ke Kak Tinah, tujuh puluh, isih rongatus telungpuluh. Bayar pulsa sepuluh, rongatus rongpuluh! Yah, lumayan iso mlebu celengan!" Terjemahan: (Dapat) gaji delapan ratus ringgit, tigaratus ringgit dikirim ke Indon! Masih limaratus ringgit, yang duaratus untuk arisan. Masih sisa tigaratus. Untuk bayar hutang ke Kak Tinah tujuhpuluh, masih duaratus tigapuluh. Untuk bayar pulsa sepuluh ringgit, masih ada sisa duaratus duapuluh. Yah, lumayan bisa ditabung! "Koseeekk. Duit klambi seket urung dibayar. Duit emas satus rongpuluh. Hayoo!" Terjemahan: Sebentar. Uang membayar jahitan baju belum dibayar, limapuluh ringgit. Uang emas, seratus duapuluh ringgit. Hayooo!
Membayar Hutang Oh ya, uang emas yang Mak-mak ini maksud bukan uang untuk membeli emas, tetapi biaya menitipkan emas! Akhir-akhir ini pemerintah Kerajaan Malaysia sedang gencar melakukan razia pekerja asing tanpa izin. Dan biasanya, mereka yang tertangkap langsung dideportasi, sehingga akhirnya mereka menitipkan harta benda mereka ke seseorang dengan membayar sejumlah uang. Dan akhirnya, uang delapan ratus ringgitpun bersisa limapuluh ringgit! Tapi, mereka tetap saja tertawa, dengan begitu bahagia. Sepenggal siang yang benar-benar mengembalikan mood saya. Saya merasa begitu senang. Apalagi di akhir perjumpaan mereka mengundang saya untuk ikut santap Jum'at besok pagi. Horee.. Dan, menunya.. Tebak apa coba? Menunya katanya bubur sumsum! Aaaa, pelepas rindu banget! Yah, konklusi saya: hidup kadang memang terasa begitu sulit. Namun, ada banyak hal yang seharusnya membuat kita lebih banyak bersyukur. Orang-orang yang jauh dari tanah kelahiran. Orang-orang yang bekerja di bawah rasa takut. Orang-orang yang menerima gaji untuk kemudian habis sekali waktu. Orang-orang yang masih bisa tertawa meskipun seharusnya mereka bisa saja memilih untuk menangis ataupun mengeluh. Semoga kita menjadi makhluk yang senantiasa bisa bersyukur :') Tulisan asli: http://kaki-kata.blogspot.com/2013/10/kisah-sepenggal-siang-syukur.html
Tertawa Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun