Lokus tulisan ini adalah masyarakat pesisir selatan Kedu. Daerah ini sering juga dijuluki daerah Urut Sewu. Di daerah ini, Islam sesungguhnya telah berkembang lama, akan tetapi perkembangannya tidak stabil, terkadang sangat gencar, terkadang sebaliknya. Semuanya sangat tergantung keseriusan tokoh yang mengkomandoi.
Hingga saat ini, masyarakat penganut Islam di pesisir selatan Kabupaten Purworejo sudah sangat banyak. Akan tetapi masih banyak juga yang percaya dengan animisme dan dinamisme.Â
Masyarakat yang demikian, menyebut dirinya sebagai masyarakat abangan atau Islam kejawen. Islam kejawen dicirikan banyaknya pesta komunal di sekitar slametan dan ritual seperti larungan, wayangan, sesajian, dan lain-lain. Â Â
Mereka percaya dengan makam tua (pepunden), petilasan sesepuh desa, batu keramat, tugu tua, sumur keramat, pohon keramat, Nyi Roro Kidul, hari Keramat, sesajen, pusaka tua, selamatan, dan berbagai hal yang bermau mistik.
Jumlah gendera abang (wong abangan) masih tetap saja banyak. Gendera abang yang sudah mau ke masjid meskipun hanya pada hari jumat (Jumatan), atau hari raya (dua shalat 'ied), termasuk setiap ada kegiatan keagamaan di Masjid, disebut sebagai wong kedhusan (sedikit 'mambu' agama).Â
Tiga Faktor Dominan
Islamisasi yang terjadi di sana lebih dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu sosial, ekonomi, dan politik.
Faktor sosial lebih terlihat dari berbagai upaya para Kyai, Ustadz, mubaligh muslim, pen-tabligh, dan para pemuda asli daerah yang sudah pulang dari pesantren.
Faktor ekonomi lebih telihat dari semakin makmurnya petani 'tanah pasir' akibat kemajuan teknologi pertanian yang berhasil diaplikasikan oleh masyarakat pesisir dalam melakukan perubahan jenis tanaman dari tebu menjadi semangka, papaya Thailand dan Calivornia, melon, cabe merah rawit dan keriting, kacang panjang, sawi, kacang tanah, jagung pioner dua tongkol, terong pentil, dan berbagai tanaman produktif lainnya.Â
Dengan semakin makmurnya masyarakat, menyebabkan semakin banyaknya masyarakat yang mengundang Kyai, mubaligh, dan penceramah untuk 'manggung' Â di sana. Faktor ekonomi juga menjadi penyebab semakin banyaknya masjid dan Taman Pendidikan Alqur'an (TPQ/TPA) yang didirikan oleh masyarakat di sana.Â
Faktor politik lebih terlihat dari banyaknya partai berhaluan Islam yang mengembangkan sayapnya hingga pesisir yang juga membantu proses islamisasi di sana.Â
Mereka membangun mushala dan mengangkat ta'mir yang bisa menjadi motor penggerak partai. Selain itu secara politik juga ada kewajiban desa untuk mengangkat Kaur Kesejahteraan (Kesra) yang disebut sebagai "Kaum" yang turut andil mempercepat proses islamisasi di sana.
Empat Kelompok Keagamaan
Daerah Urut Sewu hingga saat ini sedang mengalami islamisasi yang massif yang dilakukan oleh organisasi NU, LDII, Jaulah dan Muhammadiyah. Semuanya saling melakukan kontestasi di tengah masyarakat yang mayoritas generasi tuanya masih menganut Islam Abangan, dan sebagian lagi Aboge (Alif Rebo Wage).
NU lebih banyak melakukan pengajian umum dan pengiriman santri-santri senior untuk membina keagamaan di sana. NU lebih banyak melakukan kegiatan keagamaan seperti mauludan, tahlilan, manakiban, ambengan, nariyahan, yasinan, rejeban, ruwahan, nyadran (punggahan dan pudunan), sawalan, kendurian, terbangan, qasidahan, hadrahan. Semua kegiatan ritual kelompok NU itu dalam rangka menarik masyarakat abangan agar tertarik ke masjid dan menganut agama Islam.
Muhammadiyah dalam melakukan islamisasi lebih banyak mendirikan TPA untuk menyasar anak-anak SD agar bisa mengaji mulai dari buku IQRA' karya As'ad Humam yang begitu monumental. Muhammadiyah lebih banyak berdakwah untuk menghilangkah tahayul, bid'ah, dan khurafat (TBC). Muhammadiyah lah yang paling gencar melakukan pelarangan kegiatan larungan, berbagai sesajen, pemotongan hewan dibawah pohon besar, dan berbagai rutual yang tidak ada tuntunannya baik di Al-Qur'an maupun Hadits Shahih. Â
LDII dengan pengikut yang sudah di Bai'at membangun masid di daerah pesisir seperti di Desa Awu-Awu, Ketawangrejo, dan Cokroyasan (Meskipun desa yang ketiga ini agak jauh dari pesisir). Di dalam komplek masjid di Desa Cokroyasan juga dibangun pesantren dengan santri dari seluruh daerah di Indonesia.
Kelompok Jaulah lebih banyak melakukan tabligh dan singgah beberapa hari di masjid yang ada di pesisir. Mereka happy di daerah pesisir karena sekarang sudah mudah sarana transportasi, listrik, dan berbagai sarana lainnya.Â
Apalagi di daerah 'merah' ini sudah tidak ada lagi 'grandong' (sebutan untuk penjahat di derah pesisir). Tidak heran saat ini, di daerah pesisir Urut Sewu banyak orang berjenggot (lihyah) dengan celana cingkrang (isbal).Â
Kontestasi di ruang Publik
Saat ini, Islam selalu hadir di ruang publik dengan lebih banyak dibantu oleh berbagai acara TV yang menghadirkan berbagai acara keagamaan. Banyak sekali gadis muslim yang menggunakan jilbab meskipun trend ibu-ibu hanya menggunakan kerudung selendang yang tidak menutup sempurna.
Banyak anak-anak yang dipondokkan oleh tuanya di Pesantren tradisional dan modern. Banyak juga yang bersekolah di Madrasah, SMP/SMA Muhammadiyah, dan kuliah di Universits Muhammadiyah.
Kehadiran islam di public sphere dimaknai oleh Kasinu (2013) sebagai bagian dari ekspresi etika dan kebudayaan. Aksentualisasi simbol-simbol agama dan pembentukan institusi agama (TPQ) pada wilayah publik telah melahirkan kesadaran agama bagi anak dan orang tua. Terbukti, mayoritas orang tua mengijinkan anaknya untuk mengaji di TPA/TPQ, masuk pesantren, madrasah, dan sekolah berbasis agama.
Mushala dan masjid-masijd yang ada di daerah itu, dahulunya sepi jamaah, kini telah ramai dengan si'ar Islam. Islam di daerah Urut Sewu tidak lagi termarjinalkan.Â
Hal itu seiring dengan semakin bagusnya sarana transportasi seperti jalan Daendels yang lebar dan beraspal hotmix, menjamurnya motor, jaringan listrik, BTS dan lainnya. Banyak sekali daerah 'merah' yang mendapat kiriman santri dari berbagai pesantren untuk 'ngolahi' warga abangan agar mau ke masjid.
Keterbukaan masyarakat pesisir Urut Sewu yang demikian itu mengundang banyak penyebar agama Islam dari kelompok LDII, Jaulah, NU dan Muhammadiyah untuk bersama-sama melakukan islamisasi secara massif. Semua kelompok itu berhasil membangun komunitasnya masing-masing di daerah itu.
Resistensi dan Negosiasi
Namun, hingga saat ini proses islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah, NU, LDII, dan Jaulah pun masih terjadi ketegangan terselubung terutama oleh kelompok tua yang ingin melanggengkan 'Islam KTP' mereka yang sangat kental dengan budaya TBC. Sementara itu, kelompok muda lebih bersifat akomodatif.
Kelompok tua tidak ingin meninggalkan sesaji dan berbagai budaya lokal mereka. Mereka selalu ingin menghidupkan ritual budaya mereka. Muhammadiyah dan NU (sebagai kelompok dominan) yang selalu bersama masyarakat, secara istiqamah berusaha mengurangi dengan melakukan berbagai negosiasi.
Selamatan desa dengan 'nanggap wayang' tidak dilakukan tiap tahun. Sawalan dengan melarung sesaji ke laut juga tidak dilakukan tiap tahun. Pemotongan kerbau di bawah pohon besar tidak dilanjutkan dengan penguburan kepala kerbau.Â
Dalam seluruh acara itu, tokoh NU dan Muhammadiyah hadir untuk selalu mengingatkan akan keesaan Allah SWT, mengucapkan secara bersama-sama sahadat dan melakukan berbagai doa secara Islami yang lebih banyak dipimpin oleh 'wong' NU.
Negosiasi seperti itulah yang hingga saat ini ditawarkan oleh NU dan Muhammadiyah yang sama-sama membina masyarakat pesisir Urut Sewu. Kedua kelompok dominan itu meyakini bahwa bentuk negosiasi itu dapat dijadikan jalan tengah untuk mengurangi resistensi kelompok Islam abangan (termasuk Aboge) yang selalu bertekad mempertahankan budaya.
*) Dr. Basrowi, lahir, besar, dan meneliti Resistensi Abangan terhadap Kelompok Keagamaan di Daerah Urut Sewu, Kab. Purworejo Jawa Tengah (Dengan Anggota Tim Peneliti Dr. Akhmad Kasinu, M.Pd.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H