Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat adm bisnis Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, S3 Asia e University

Man Jadda Wa Jadda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melanggengkan Budaya Berbagi

13 Mei 2020   21:36 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:23 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era pandemi covid-19, budaya berbagai (prososial) perlu terus dipupuk. Hal itu dilatarbelakangi oleh realitas banyaknya masyarakat yang terdampak dan sangat membutuhkan uluran tangan kita semua. Dampak yang mereka rasakah bukan hanya pada tataran ekonomi tetapi juga kesehatan. Karena ekonomi dan kesehatan merupakan suatu yang substitusional saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Wirawan (2020) menilai bahwa tradisi berbuat  baik di Turki tentang kebiasaan berbagi patut ditiru. Mengapa kita tidak mengadopsi kebiasaan mulia ini dalam kehidupan masyarakat kita? karena di dalam tradisi berbagai itu, ada nilai-nilai kejujuran, nuansa charity, & kesediaan berbagi di antara sesama. Perilaku mulia seperti ini bisa diajarkan kpd anak-anak kita mulai dari TK bahkan Paud hingga PT. 

Tradisi Berbagi sebagai Warisan Leluhur

Wahyono  (2020) berpendapat bahwa, tradisi berbagi seperti itu di berbagai budaya lokal yang tersebar di daerah-daerah Nusantara banyak sekali--tidak harus dari luar--di Indonesia ini, banyak sekali praktik-praktik budaya yang sudah menjadi lokalitas yang mampu menjadi subjek aktif terus bernegosiasi dengan gempuran modernitas dan global ketika mempertahankan pengetahuan dan kearifan lokal--tradisionalitas melampaui modernitas.

"Saya kalau berbuat yang mengandung nilai berbagi cukup meniru Wo Amat Raji dan mbah Giman tetangga sebelah yang selalu berbagi, tidak harus niru Abu Bakar, Pilatus, atau Robinhood, terlalu jauh dan ideologis," imbuhnya.

Selanjutnya dijelaskan Wahyono (2020) bahwa di sekitar kita banyak orang baik. Itu kan taktik semut menghadapi strategi gajah, menghadapi strategi triple double-nya gajah. Memang banyak juga di sekitar kita orang serakah dan koruptif. Boleh jadi itu karena masih banyak memahami budaya secara esensialistik,  bahwa nilai itu tetap dan baku, sehingga kalau ada orang korupsi itu dianggap sebuah penyimpangan, yang disalahkan orangnya bukan sistem nilai nilainya. Kalau konstruktivisme budaya kata para antropolog budaya adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, lama-lama menjadi kebiasaan, meskipun secara moral ditolak, jadi korupsi itu ya budaya.

Di sini manusia adalah agen yang aktif mengkonstruksi budaya, maka harus diakui bahwa korupsi itu adalah budaya kita. Pengakuan jujur bahwa korupsi adalah juga budaya kita biasanya akan menjadi energi yang mendorong untuk mengubahnya dan anti korupsi. Kalau korupsi tidak diakui sebagai budaya kita, karena itu dianggap sebuah tindakan yang menyimpang, maka tidak akan berusaha menghilangkannya.

Oleh karena pandangan esensialistik inilah salah satu mengapa kita menjadi masyarakat munafik, banyak nilai-nilai luhur tapi praktiknya berdanding terbalik.

Menurut Wirawan (2020) Pikiran saya merujuk pada realitas kekinian. Kita memang punya dan mewarisi nilai-nilai altruisme dari kakek nenek kita. Tapi zaman terus berubah, pengaruh nilai-nilai eksternal masyarakat lain juga tidak dapat dibendung entah yang baik entah yang buruk menurut ukuran umum.

Perlu dilihat sifat-sifat yang terimplementasi ke dalam prilaku kolektif (sebagai hasil kesepakatan kolektif) warga masyarakat dan bukan lagi prilaku individual/orang perorangan (Perspektif Durkhemian). Realitas yang saya tangkap saat ini, sifat-sifat dan perilaku seperti ini tinggal terekspresi secara orang perorang (individual) bukan kolektif.

Menurut Wirawan (2020), "Saya punya pengalaman saat jadi RT, membagikan sembako saat menjelang Romadhan. Beberapa warga saya masih mencantumkan nama saudaranya atau adiknya yang sudah meninggal ke dalam daftar penerima bantuan. Ketika saya cek secara teliti, yang bersangkutan malah marah-marah dan berujung pada dendam sampai sekarang. Sekali lagi ini realitas. Mungkin salah jika saya generalisir."

Membaca semua uraian di atas dapat dipahami bahwa budaya berbagai harus kita langgengkan karena sangat sesuai dengan nilai-nilai gotong royong, nilai kebersamaan, nilai persatuan, nilai religius, nilai keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun