Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat adm bisnis Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, S3 Asia e University

Man Jadda Wa Jadda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapitalis, Birokrat, dan Penderitaan Raykat

4 Mei 2020   21:30 Diperbarui: 4 Mei 2020   21:29 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inovasi para kapitalis yang telah menghantarkan perkembangan dunia industri mencapai perkembangan 4.0, seolah mengalami antiklimaks dengan adanya covid-19. Aras perputaran ekonomi seolah telah diasuh oleh keheningan. Kelokan demi kelokan yang pada mulanya sebagai seni perubahan, kini telah berubah. Kelokan yang terjadi bukan hanya tern left atau tern right, tetapi telah diubah haluannya menjadi u-tern (putar balik) pada kondisi satu hingga dua dekade.

Letupan dan kejutan perubahan ekonomi yang dipandu oleh para birokrat yang canggih dalam memanfaatkan IT, seolah oleh dibungkam erat oleh Corona. Denyut kehidupan hanya terdengar lirih, pelan, dan seolah tak bernyawa lagi. Deru mesin hasrat mengeruk lapisan, kulit hingga isi bumi yang kemarin riuh redam dibiarkan liar, kini semuanya dipaksa berhenti. 

Nilai-nilai kapitalisme telah terdevaluasi oleh corona menjadi nilai-nilai kemanusiaan, nilai gotong royong, dan nilai tolong menolong. Hari ni semua orang harus memenjarakan diri dalam suasana menahan emosi, karena seluruh hari minim konsumsi, sementara pendapatan tiada arti. Anak-istri telah berprihatin diri, memandangi Televisi yang semakin ngeri, karena ekonomi sedang terpatri oleh suasana pandemi. 

Sepinya hari telah membuka hati, sesungguhnya yang hakiki adalah jiwa suci, yang di dalamnya tumbuh bersemi akan kesyukuran hati atas semua yang dimiliki, tanpa harus iri dengan hingar bingar duniawi.

Pembajakan logika, agar semua orang bekerja, dalam suasana penuh harapan, ternyata tidak menghasilkan apa-apa, ketika ditempa oleh Corona yang membabi-buta, tak mengenal di miskin dan si kaya, semuanya berpeluang terkena imbasnya, hingga semua lupa akan tertawa, yang ada hanya duka, nistapa, dan sengsara.

Upaya menormalkan kurva normal yang sudah tidak lagi normal, sudah sangat sulit untuk diupayakan. Meskipun dipandu dengan trilyunan harta para imperial, akan tetapi yang terjadi hanya hingar-bingar, dan terasa kurang bernilai esensial kecuali ekspresi ritual, karena rakyat tidak mau mematuhi berbagai signal.

Kapitalis yang Materialis 

Empuknya tahta yang diduduki para kapitalis dalam bilik-bilik hasrat egoisitasnya, karena adanya gravitasi kekayaan yang selalu menukik kepada mereka yang bertahta. Di saat resesi seperti ini, mereka belum terasa, karena masih bisa menghindar jauh dari ancaman pandemi. Seolah mereka masih hanyut dalam akumulasi nafas kebahagiaan, sebaliknya si miskin telah didera oleh rentetan dan deretan keprihatinan.

Niat kenegaraan para kapitalis perlu dikalibrasi ulang, karena telah terjadi kehampaan akan nilai refleksi dan seolah kehilangan daya pikatnya, manakala mereka melakukan riswah. Saat inilah perlunya melakukan kontemplasi diri, dalam rangka meluruhkan dan membersihkan kekusutan hati dan jiwa agar semuanya lepas dari embel-embel citra

Measurement subjektif yang selama ini membuncah telah dilakukan oleh para kapitalis ternyata terasa mandul dan kering, karena telah membajak logika dan memampatkan pola nalar akan keadilan.  Saatnya para kapitalis membuka jerat kemiskinan, dengan meneguhkan solidaritas dengan cara memberikan nutrisi hati dan jiwa untuk rakyat yang sengsara dampak Corona.

Saatnya para kapitalis memendarkan emosi yang selama ini menggelegak tanpa bosa basi untuk berhenti mengejar duniawi. Saatnya para kapitalis untuk segera menegaskan dan meneguhkan solidaritas sebagai momen kontemplatif dan korektif atas tindakan diri.

Emosi ekonomi para kapitalis yang selama ini membuncah serta mengagungkan hasrat hedonimse sudah saatnya untuk dienyahkan dalam rangka menghilangkan nomadisme dan pemborosan yang pada akhirnya hanya memperlebar ketimpangan ketidakadilan.

Para kaitalis yang selama ini selalu berusaha meningkatkan dan mengeruk kekayaan materi telah menjadi mimpi buruk secara massif bagi rakyat yang menjerit kelaparan karena ketimpangan yang sangat 'njomplang'. 

Pengembaraan para kapitalis melalui mekanisme teknologi telah menghadirkan kenisbian suasana hingga membuahkan stereotif yang menganga mendorong semua orang untuk mengadu kompetensi yang tiada henti.

Hari ini, pandemi telah mendatangkan sifat empati para kapitalis sebagai nilai tanda (sign value) bahwa partikel-partikel kehidupan sejati telah bersemi dalam nurani. Pemberhalaan dan pemujaan harta yang selama ini telah menjadi rentetan kontinum dan terpatri daalm sanubari diharapkan dapat luntur berubah menjadi panggilan hati untuk bersama mengarungi ibu pertiwi yang sedang dirundung hati.

Birokrat dan Pembangunan Martabat

Begitu juga para birokrat jangan berhenti pada tataran procedural, tetapi marilah turut berkolaborasi sehingga dapat dijadikan sebagai detoksifikasi sifat korup menuju normalisasi tatanan ekonomi yang dipandu oleh etos malu. Sikap seperti itu juga diharapkan dapat mengobatai kanker kepongahan yang diekspresikan melalui kesadaran kolektif untuk saling membantu.

Syahwat kekuasaan sudah seharusnya di rem, dalam rangka melatih kesabaran. Para birokrat tidak boleh terjebak dalam lumpur yang penuh pamrih. Mereka juga tidak boleh berhenti dalam tangga kehidupan yang penuh tendensi materialistis. 

Para birokrat yang selama ini tiada henti menggeber gas roda ekonomi dalam rangka menghasilkan tumpukan harta sudah saatnya untuk dievaluasi. Bahwa kebutuhan nalar insani yang dipenuhi oleh hasrat untuk menikmati harus dikekang jangan sampai keluar dari logika konsumsi yang selalu ingin menguasai.

Imunitas para birokrat terhadap laku tindak yang kurang manusiawi juga harus segera direvisi agar menjadi humanis yang selalu menghargai kapasitas kemanusiaan

Ilustrasi rutinitas yang selama ini ditunjukkan lewat panggung depan para birokrat sebagai sebuah ekstravagan mencitai rakyat harus direalisasikan. Jangan sampai yang terjadi pada panggung belakang adalah realitas sebaliknya. Rakyatnya terjungkal dalam jurang kemiskinan dan telah jatuh dalam lubang hina laksana jasad tanpa jiwa.

Keheningan dalam keprihatinan 

Sunyinya hati, menyadarkan diri, bahwa rutinitas berpeluh keringat tiap hari, sesungguhnya adalah drama kehidupan hakiki yang terjadi karena adanya diferensiasi tersembunyi yang terstrukturisasi.

Kehadiran Covid-19 telah menyembulkan kebutuhan dasar manusia tidak lagi tercukupi. Para birokrat gagap bahkan telah kehilangan fungsi utilitasnya. Mereka banyak yang tiarap tanpa mampu berbuat banyak. Kenyataan pahit dan getir yang dirasakan rakyat telah hening akan makna. 

Kesadaran reflektif yang seharusnya menjadi lecutan dan ditonjolkan oleh para birokrat berubah menjadi kesadaran semu. Para birokrat menjadi nihil kinerja, termasuk nihil kinerja religinya.

Bualan retorika yang selama ini didengungkan lewat kempanyenya, laksana terbungkam oleh kehadiran corona. Pemberian bantuan yang seharusnya bermakna kemanusiaan justru berubah menjadi penanda kelas yang berparas politisasi.

Secara kontemplatif, di saat ekonomi susah seperti ini, rakyat laksana mengail tanpa umpan. Dalam mengarungi laku hidup fase pengasingan massal yang dtemui hanyalah kesenyapan dan keterjarakan dengan para birokrat. Eksterioritas yang diperlihatkan oleh para birokrat justru menjadi glorifikasi yang menyediakan mimpi tanpa realitas.

Deraan wabah, telah membuat semua rakyat melakukan kekang diri, khidmat di rumah masing-masing agar dapat menyelami makna hakiki akan pentingnya berbuat baik antar sesama, agar tidak mati gaya.

Rantai corona menutup semua akses kehidupan, bahkan telah membelenggu semua roda ekonomi, roda industri dan roda liberalisasi. Korona hadir menggilas kepongahan para kapitalis. Corona telah berhasil melakukan preskripsi terhadap hasrat para penguasa. 

Sudah saatnya mulai hari ini kita melakukan refleksi dan restrukturisasi ekonomi. Jangan sampai, semua kemajuan teknologi yang tersistem dibongkar dan dirampungkan oleh Corona. 

Sudah saatnya kita saling menguatkan satu sama lain tanpa melihat status sosial melalui segenap aktivitas yang substansial agar tragedi ini segera terhenti. Jangan sampai apa yang kita lakukan dalam ruang sunyi menyendiri berbuah sia-sia tiada arti.

Hari ini kita melihat bahwa pandemi telah mampu menghadirkan sifat kemandirian dan sifat kompromi bahwa penderitaanmu berarti deritaku. Corona telah menjadi pendulum zaman akan pendedahan dan penggembaraan jiwa yang penuh derita. Keintiman untuk bekerja sama sesama manusia dalam panggung sejarah dilakukan dalam rangka pemenuhan nilai dan pendisiplinan hasrat untuk meluruhkan dan memetik hikmah untuk mengerem keinginan duniawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun