Tok, Komisi Keuangan DPR, secara sah menyetujui usulan penerapan Cukai Plastik dari Kemenkeu. Tidak hanya kantong plastik yang dikenai cukai, tetapi juga produk plastik lainnya, seperti botol minuman dan kemasan makanan. Besar cukai tersebut adalah Rp30ribu per kilogram, atau Rp200 per lembar. Langkah itu diambil, karena selama ini, berbagai pungutan kantong plastik di berbagai supermarket tidak jelas. Oleh karena itu, dengan cukai ini, pungutan tersebut dapat masuk kas negara, sekaligus sampah plastik bisa dikurangi. Teorinya seperti itu.
Realitasnya, dampak sampah plastik sudah sangat memprihatinkan. Di Indonesia--hingga saat ini--penggunaan plastik sudah menjadi kebiasaan keseharian masyarakat di seluruh aspek kehidupan, mulai dari rumah tangga, pasar tradisional, mini dan supermarket, hingga kantor-kantor pemerintah dan swasta. Untuk menghilangkah kebiasaan itu agar beralih ke kantong ramah lingkungan, perlu waktu sosialisasi, penyadaran, dan pembiasaan yang lama. Â Â
Sedikitnya ada lima negara yang telah secara penuh melarang penggunaan kantong plastic, yaitu Bangladesh, Rwanda, Tiongkok, Kenya, dan Prancis. Bangladesh sejak 2002 telah mewajibkan semua pusat perbelanjaan menggunakan polyethylene atau poly-propylene bahkan menghukum berat bagi pelanggarnya, termasuk pihak yang memproduksi, mengimpor, dan memasarkan plastik akan dihukum selama 10 tahun atau denda 1 juta taka, bagi pengguna akan dikenakan penjara 6 bulan atau denda  10 ribu taka.
Rwanda juga melarang warganya termasuk turis menggunakan plastik. Bagi pelanggar, selain dihukum berat juga harus mengakui kesalahannya di depan umum. Pemilik toko yang melanggar akan ditutup usahanya dan harus mengakui kesalahannya di depan umum. Tiongkok sejak 2008 telah merapkan pelarangan dan bagi pelanggarnya akan dikenakan denda 10.000 yuan.Â
Kenya, sejak 2007 telah sepenuhnya melarang penggunaan kantong plastik. Pelanggarnya akan dihukum 4 tahun penjara atau didenda 40.000 hefty. Prancis sejak 2015 telah melarang penggunaan kantor plastik, gelas plastik, dan seluruh alat makan  dari plastik. Semua itu muncul dari kesadaran dan komitmen negara dalam menjaga lingkungan.
Kini, sudah banyak negara yang secara parsial sudah melarang penggunaan plastik seperti Denmark, negara di Afrika Selatan (Uganda, Somalia, Rwanda, Botswana, Kenya, Ethiopia), hongkong dengan program No plastic bag day, Belgia (pajak kepada usaha ritel atas kantong plastik. Irlandia mengenakan pajak sebesar 0,15 euro untuk satu kantong plastik. Ada juga yang menggunakan sistem pajak bagi pengguna, plastik berbayar, dan metode lain yang sifatnya hanya mengurangi bukan secara penuh melarang.
Indonesia bisa saja meniru Bangladesh dengan cara melarang penuh penggunaan plastik dan menutup seluruh perusahaan plastik sekali pakai, dengan konsekwensi menyiapkan lapangan kerja baru bagi karyawan yang terdampak, bukan hanya menerapkan cukai plastik.Â
Hal ini tentu jauh lebih mudah daripada selamanya harus menangani sampah plastik itu sendiri yang semakin hari semakin mencemari tanah dan laut. Apakah pendapatan negera dari cukai plastik dapat mencukupi untuk biaya pengelolaan sampah plastik? Tentu masih jauh panggang dari api.
Bandingkan saja, kalau kita ke Singapura, selalu membaca kampanye Bring your own bag, sehingga mampu mengurangi 100.000 penggunaan kantong plastik dan menjual 200.000 kantong ramah lingkungan. Begitu juga kalau kita ke Australia Utara dan Selatan yang telah melarang penggunaan kantong plastik.
Sesungguhnya, sejak 21 Februari 2016 Indonesia telah menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar di seluruh mini dan supermarket, dan siapa saja yang menghendaki bungkus kresek harus membayar. Namun, pendapatan dari penarikan itu tidak jelas apakah masuk kas negara atau tidak.
DPR juga telah mengesahkan UU no 18/2008 tentang pengelolaan sampah di mana Seluruh Pemerintah Daerah harus meninggalkan open dumping system (membuang begitu saja) dan beralih ke sanitary landfill (membuang sampah dilokasi cekung, pemadatan, dan menimbunnya dengan tanah). Kementerian Lingkungan Hidup telah Mengeluarkan PP mengenai pengelolaan Sampah dengan Konsep Extended Procedure Responsibility (EPR) dengan menuntut tanggung jawab para produsen, namun semua itu belum terlihat nyata efektivitasnya.
Pemisahan sampah organic dan nonorganic yang selalu dikampanyekan juga hanya ada pada deretan bak sampak gantung berwarna-warni. Akan tetapi, kepedulian masyarakat untuk memilah sampah saat membuang sangat rendah. Bahkan, di tiap pagi buta, di jalan-jalan tertentu, ada beberapa oknum pemotor dengan sengaja menjatuhkan kantong plastik penuh sampah di tengah jalan seolah tidak sengaja barang bawaanya jatuh, dengan harapan ada petugas kebersihan yang membersihkannya tanpa harus membayar iuran  sampah.Â
Banyak juga perilaku negatif masyarakat yang menaruk sampah di trotoar-trotoar dengan harapan ada "sapu jagat" yang membersihkannya secara gratis. Banyak pula masyarakat yang mempunyai consciousness rendah malahan membuang kresek sesak sampah ke aliran sungai agar mengalir sampai jauh. "Runyam deh" jadinya.
Peneliti Jenna Jambeck dari University of Georgia, AS, (2010) menyebutkan bahwa di Indonesia merupakan negara penghasil sampah terbesar kedua di dunia setelah Cina dengan jumlah sampah 3,22 juta ton/tahun. Pada tahun 2025 diprediksi akan meningkat menjadi 7,42 juta ton/tahun. Kenaikan grafik tersebut tentu akan terus melaju naik manakala tidak direm dengan kebijakan negara secara ketat tentang pelarangan penggunaan plastik sekali pakai.
Metode peningkatan kesadaran akan nilai manfaat sampah dalam bentuk pendirian Bank sampah juga belum efektif mengurangi jumlah sampah plastik. Gojek, melalui gerakan GoGreen telah melakukan inisiasi dalam pengiriman pesanan makanan seara ramah lingungan. Tragedi di Leuwigajah Kota Cimahi Jawa Barat, tanggal 21 Februari 2005 yang menewaskan 157 orang karena longsor tempat pembuangan akhir sehingga tanggal itu dijadikan hari peduli sampah nasional (HPSN), merupakan bukti betapa mengerikannya dampak pengelolaan sampah plastik.
Saat ini, ancaman terhadap sampah plastik sudah di depan mata, Pulau sampah Pasifik Raya (Great Pasific Garbage Patch) yang kini luasnya telah melebihi luas Texas atau negara Prancis, menjadi monumen alam (symbol) betapa menakutkan dampak sampah bagi generasi mendatang.Â
Saat inilah waktu yang paling tepat bagi para pemangku kepentingan seperti pemerintah, perusahaan, dan seluruh unsur masyarakat untuk melakukan pendekatan preventif maupun reaktif dalam pengelolaan sampak secara ramah lingkungan.Â
Model evaluasi yang bersifat solusi seperti pengelolaan limbah sampah plastik menjadi aspal untuk membangun jalan dapat terus dilanjutkan. Mengurangi pengemasan menggunakan plastik secara berlebihan dan pelarangan seluruh unsur plastik untuk kehidupan harus terus digalakkan.
Investasi yang dibutuhkan untuk mengatasi limbah plastik jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapat dari pembiaran penggunaan plastik, dengan penerapan cukai plastik. Penghilangan jejak lingkungan dari unsur hara plastik yang sangat berbahaya juga membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar, melebihi keuntungan yang diperoleh negara saat menerapkan cukai plastik.
Target nol limbah plastik menjadi kian sulit dicapai manakala negara melegalkan plastik dengan bentuk cukai plastik. Pertanyaannya, "Mau nggak berhenti menggunakan kantong plastik agar Indonesia lebih cantik dan bebas banjir?"
Syaratnya, semua pihak baik pemerintah pusat, pemda, perusahaan, dan masyarakat harus sadar dan peduli akan bahaya sampah plastik, dan mulai hari ini teguhkan dalam hati untuk niat ingsun tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai dalam seluruh sendi kehidupan. Semoga saja cukai plastik, langkah awal menuju pelarangan plastik secara total. Semoga.
Oleh Dr. Basrowi (Pemerhati Kebijakan Publik, Alumnus S3 Ilmu Sosial Unair Surabaya, dan S3 MSDM UPI YAI Jakarta, serta Penggiat Ekonomi Syariah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H