Mohon tunggu...
Basri Muhammad Ridwan Sangadji
Basri Muhammad Ridwan Sangadji Mohon Tunggu... Penulis - bukan aktivis

Perjalanan menuju dan meraih dunia baru (masa depan) memang berat.tapi yakinlah dengan usaha yang keras pasti akan sampai pada tujuanmu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mahasiswa dalam Pusaran Idealis Utopis dan Realis Pragmatis

8 Mei 2023   08:07 Diperbarui: 8 Mei 2023   08:35 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fgoodstats.id%2Farticle%2Fterjadi-peningkatan-intip-jumlah-mahasiswa-di-indonesia-dari-tahun-ke-tahun

Kurang-lebih sama seperti usia Indonesia, istilah mahasiswa sudah menjadi kuda hitam dalam papan catur politik negara sejak awal muncul. Berbagai sumbangsih pemikiran dan pergerakan jalanan telah membawa eksistensi mahasiswa pada titik yang paling diperhitungkan.

Sedikit-banyak, senior-senior di kampus selalu mencekoki mahasiswa baru dengan cerita heroik mahasiswa dalam kumpulan episode. Episode pertama membahas mengenai pergerakan nasional dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, sampai Sumpah Pemuda I maupun II.

Episode kedua menceritakan Soe Hok Gie dan Gelombang Tritura. Sementara episode puncak yang menjadi epilog dari bualan senior di kampus adalah terkait reformasi yang diawarnai aksi dan korban mati.

Seperti itulah gambaran kampus sekarang. Nyatanya kehidupan kampus memang didominasi oleh senior-senior haus akan kredit eksistensi, kaderisasi, dan atensi mahasiswa baru menjadi santapan nikmat untuk dibawa kepada dua pilihan menjadi idealis atau realis-pragmatis.

Tak ayal kadang muncul gelombang penolakan dari kelompok yang menamai diri sebagai golongan netral. "Aneh, jadi mahasiswa kok netral-netralan," begitulah ungkapan Najwa Shihab kepada golongan tersebut.

Ya, golongan yang dianggap tidak berani mendominasi pikiran terhadap pilihan, entah menjadi idealis seperti kebanyakan senior aktivis kampus, atau menjadi skeptis terhadap organisasi dan lebih cenderung menuruti setiap perintah dosen, senior, karyawan layanan kelas guna mendapat kesempatan nilai A (realis).

Padahal merupakan sebuah kesempatan menjadi mahasiswa, untuk bertindak merdeka dan sebebas-bebasnya. Sebab menjadi mahasiswa sama halnya sebagai seorang alim, suci yang berperilaku layaknya nabi. Bukannya memberi pemahaman dan kuliah jalanan terhadap kelompok tertindas sama halnya seperti Nabi?

Sebab mahasiswa itu tugasnya, ya, mengabdi kepada masyarakat tertindas. Ingatkan soal tusi (tugas dan fungsi) mahasiswa---agent of chance, social control, iron stock, guardian of value, moral force---semua nabi dan rasul sejatinya mempunyai lima tugas itu yang akan dibawa kepada kaum kaum durhaka nan serakah.

Lantas mengapa mahasiswa masih bersifat siswa yang harus dibina? secara ia merupakan simbol perlawanan kaum tertindas, sudah saatnya bersikap menjadi idealis yang heroik, atau realis yang pragmatis.

Benarkah Idealisme Mahasiswa Merupakan Harta Terakhir yang Dimiliki

Gambar Milik Penulis Secara Pribadi
Gambar Milik Penulis Secara Pribadi

Kawan-kawan tentu mengenal sosok pemikir bernama Tan Malaka. Ia merupakan satu dari banyaknya keturunan minang yang diakui pemikirannya. Sepanjang karier pengajaran dan pelariannya, Tan pernah berkata "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda".

Lalu benarkah yang demikian itu, sebab belakangan sikap seperti itu hanya terdapat pada masa Tan, Gie, Sjahrir, Hamka, Soekarno, Bung Hatta?

Tokoh-tokoh di atas membanggakan idealismenya lebih dari godaan kepentingan. Mereka rela menjadi martir kekuasaan, dicaci, dihujat, dan difitnah, namun tetap menggenggam erat idealismenya. Sejak dari masa pendidikan---entah itu HIS, HBS, Kweekschool, dan sekolah kolonial setara sekolah rakyat lainnya---mereka tetap bangga menjadi inlanders atau pribumi.

Secara historis, dari masa keemasan kerajaan nusantara sampai kepada periode pergerakan nasional, pemuda Indonesia dikenal dengan semangat perjuangannya. Dinamika yang dibangun oleh pemuda maupun tetua berkutat pada gagasan adat, agama, serta budaya.

Jika membedah lebih dalam mengenai kalimat Tan di atas, maka jelas terlihat bahwa ia mencoba merangkai dua diskursus menjadi satu masalah serius. Diskursus pertama adalah idealisme, kemudian diskursus kedua ialah pemuda.

Idealisme yang dipunyai mahasiswa dan/atau pemuda memang seyogyanya merupakan kemewahan yang dimilikinya. Sikap idealis telah banyak membantu singkap tabir dalam kotak pandora, seperti tritura, maupun reformasi.

Memang jelas hal tersebut merupakan tanggung jawab moral yang harus disikapi secara benar. Sebab bila tidak, justru sikap idealis yang katanya menjadi kemewahan terakhir malah akan mengubur mahasiswa tersebut kepada pusaran kepentingan.

Belakangan mahasiswa di manapun universitasnya, mereka memang paling membanggakan sikap idealisnya, sampai-sampai ada ungkapan "kita orang itu harus bertanggung jawab kepada rakyat, kalau tidak siapa yang bela rakyat." Atau jika kalian pernah ikut dalam barisan demonstrasi, pasti kalian pernah tau atau mendengar mengenai sumpah Mahasiswa Indonesia.

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan.

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan.

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan.

Frasa dalam sumpah mahasiswa tersebut merupakan bukti adanya idealisme mahasiswa dalam setiap arah geraknya. Bayangkan saja, trisila yang kerap dilantangkan mahasiswa tersebut bisa menjadi titik balik patriotisme mahasiswa.

Tidak percaya? Lihat saja reformasi yang berhasil menggulingkan piramida kekuasaan Soeharto selama 32 tahun jabatan. Jadi menjadi idealis adalah pilihan mulia, yang mampu menjadi stamina bagi perubahan di dalam papan catur politik Indonesia.

Mahasiswa realistis juga tidak salah, yang salah adalah mahasiswa traitorisme!

Katakanlah pada diri kalian kawan, ingin jadi apa kalian setelah lulus pendidikan universitas? tentu banyak pilihan bukan, yang pasti selinier dengan jurusan kawan-kawan, bisa juga keluar jalur, PNS, karyawan bank, masuk parpol untuk caleg.

Pilihan dari kawan-kawan merupakan pilihan realis, yang sudah menjadi acuan ketika masih duduk dalam kelas kelas SKS yang di program. Untuk sebagian mahasiswa realis, mereka cenderung terlihat disiplin, datang tepat waktu, menjadi ketua kelas, sampai mencoba menjilat dosen untuk menjadi asisten dosen.

Tidak salah bukan, itu adalah pilihan mulia guna mencapai tujuan, untuk membanggakan keluarga, bangsa, dan agama. Kelak sikap realisme yang diaplikasikan akan mendapat kredit dari pihak-pihak yang merasa terbantu oleh kalian.

Tapi kawan, kadang kala kalian jangan terlalu sering menjadi pragmatis hanya karena pandangan realis, takutnya ketika terbutakan justru hanya jadi subjek pemanfaatan.

Karena sekolah adalah tempat untuk belajar, jadi belajarlah selayaknya pendiri bangsa kita belajar, yaitu belajar untuk menolak segala tawaran-tawaran, dan mengubah sesuatu yang nothing to be something dengan kerja keras, cerdas, dan tegas.

Tidak salah menjadi realis, namun jangan meninggalkan esensi mahasiswa untuk menjalankan tusinya (tugas dan fungsi). Salah jika saat mahasiswa tidak menjadi apa-apa (idealis maupun realis), namun hanya diam karena ketakutan dan keberadaan rasa malu.

Mahasiswa yang takut dan malu adalah seorang pengkhianat, dia berkhianat kepada harapan orang tua, berkhianat kepada kebanggaan keluarga, dan berkhianat kepada anak-anak yang tidak mampu bersekolah.

Kadang golongan tersebut mendapat istilah golongan traitorisme. Mereka yang traitorisme juga mempunyai tujuan ketika berpendidikan di univeritas, namun tidak mampu beradaptasi karena terbelenggu rasa malu dan takut.

Oleh karena itu, menjadi realis dan pragmatis tidak salah. Namun jika tidak menjadi keduanya (realis dan idealis), itu adalah masalahGambar Mahasiswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun