Aku tahu rasanya makan ubi berbulan bulan untuk bertahan hidup
Aku tahu rasanya sakit mata mengoreksi tugasmu di bawah cahaya rembulan
Aku tahu rasanya kaki tertusuk duri melewati sarang hewan buas menuju rumah anyaman bambu, kau sebut itu sekolah
Aku juga tahu rasanya sulitnya mengirit kapur, sering juga tetesan hujan menghabiskan kapur tulis, berbulan bulan menunggu penggantinya
Aku bisa saja protes
Aku bisa saja pergi dari surga yang jauh dari listrik ini
Aku bisa saja
Aku bisa
Memang sekarang aku sedang protes
Datang padamu, mengisi pikiranmu, itulah perjuanganku
Jalan berkubang, sempit dan berulang kali aku buka sepatu agar tidak basah
Kalau di jalan itu aku menyerukan protes, hanya monyet-monyet hutan yang mendengar dan melihatku, kemudian berlalu
Aku harus bentuk kau jadi cendikiawan
Aku harus jadikan kau berguna
Aku harus jadikan kau bijak
Kau kebanggaanku di hutan ini
Kau adalah air yang menyembul dari bebatuan gunung ini, kelak kau akan mengarungi laut kehidupan.
Matahari akan mengangkatmu tinggi-tinggi, untuk kembali kesini, tempat kau diasah
Hujan darimu akan menghidupkan tumbuhan hutan perjuanganku dan kaumku
Itulah protesku, guru penikmat sengsara, penerus pengetahuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H