Mohon tunggu...
Basri Amin
Basri Amin Mohon Tunggu... -

Basri Amin, lahir di Pattene, Sulawesi Selatan. Menempuh pendidikan di Universitas Sam Ratulangi (Manado), belajar sosiologi di Universitas Hawaii at Manoa (USA) dan sejak 2008 studi 'kota pulau' di Universitas Leiden, Netherlands.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Obama, Universitas dan Optimisme

12 November 2010   00:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Basri Amin

Universitas dipilih Presiden Obama menjadi tempat untuk menyampaikan tema-tema substantif dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini, 10 November 2010. Dalam tradisi Amerika, hal ini tentu bukan hal luar biasa. Universitas selalu berada di tempat yang dihargai oleh kekuasaan. Di negeri kita, tradisi seperti ini (sebenarnya) juga bukanlah hal baru. Hanya saja, universitas kita sepertinya terlanjur ditanami dengan “jiwa birokratis”, dan belum tumbuh menjadi rumah bagi pengembaraan pemikiran dan karya-karya peradaban. Kehadiran Obama di UI seolah menegaskan kembali bahwa: universitas adalah ”people” dan ”ideas”, bukan institusi dogma dan kekuasaan. Tak heran kalau dalam forum ini Obama menyebut nama Rektor UI ”sejajar” dengan nama Presiden Yudhoyono.

Melalui jasa Youtube.com, saya bisa mendengar rekaman pidato Obama di Universitas Indonesia (UI). Selain hal-hal pokok yang dia uraikan tentang (1) pembangunan, (2) demokrasi dan (3) agama, pidato dan kuliah umum Obama jelas memberi beberapa makna penting. Di luar substansi kunjungan dan ceramahnya, kita semua sudah tahu bahwa kehadiran Obama telah mempertontonkan hal nyata tentang bagaimana seorang pemimpin negara adikuasa diperlakukan atau memberlakukan “kehendak sepihak” dia di negara yang dikunjunginya.

Sebagai bangsa besar, Indonesia tak bisa berhenti belajar, selain dari perkembangan historis dirinya, juga dengan cara belajar dan berkaca dari negeri dan pemimpin lain. Obama adalah salah satu pelajaran. Dengan menyimak ceramahnya di UI, Rabu 10 November itu, seperti kita bisa melihat di layar kaca bagaimana wajah-wajah undangan menyimak Obama, kita tak bisa pungkiri bahwa Obama adalah sebuah “magnet gagasan” dan “model kepemimpinan”. Padahal, negerinya sendiri, Amerika sedang dalam goncangan domestik dan global yang tidak mudah.

Obama menyuguhkan kualitas logika dan elemen retorika. Selanjutnya, dengan modal itu ia bisa mengukuhkan sebuah magnet publik-nya karena faktor pribadinya yang kredibel dan cerdas. Tentu saja seorang presiden Amerika bernama Obama tidak lagi sebagai ”pribadi tunggal” karena demikian besarnya sistem yang ”mengawal” dirinya, segala ucapan, kebijakan dan kepentingannnya, dst.

Pembangunan adalah tema awal yang menarik dikaji lebih dalam.Obama menegaskan bahwa ”CARA kita membangun sangat menentukan kelangsungan hidup kita”. Dan membangun itu tidak sekadar ”pertumbuhan”, tapi apakah anak-anak kita (generasi) memperoleh keterampilan dan pengetahuan tentang dunia yang terus berubah.

Sebuah penegasan yang sangat substantif!

Di bagian lain, Obama menyatakan bahwa ”bangsa besar lahir karena bisa terbebas dari penjajahan dari bangsa lain. Tapi yang lebih berbahaya lagi kalau penjajah itu kini berasal dari dalam bangsanya sendiri....Kemakmuran haruslah menjamin kebebasan, karena tanpa kebebasan maka apa-apa yang dicapai itu merupakan sebuah bentuk kemiskinan yang lain...”

----------------

Obama menyatakan Indonesia adalah ”bagian dari dirinya”. Ia menyebut rekaman pribadi dia untuk menciptakan lingkaran interaksi yang emosional, tapi disaat yang sama ia sekaligus membangun argumen dan mendorong agenda-agenda besar-nya agar makin meluas terterima dan tertanam dalam benak dan pikiran setiap bangsa yang ia kunjungi, bahkan untuk dunia yang lebih luas. Apa itu? Demokrasi, pembangunan dan toleransi.

Mungkin banyak yang tercengang karena Obama bahkan meyebut “Bhinneka Tunggal Ika” sebanyak dua (2) kali, juga falsafah Pancasila, Nusantara, “Sabang sampai Merauke”, teritori kunci seperti Aceh, Jawa, Papua dan Bali. Belum lagi kata-kata yang menyentuh bagi nostalgia hidup dia (bakso, sate, enak, pulang kampung nih.., Menteng Dalam, keluarga ayah tirinya, pengabdian ibunya, dst); dan artefak penting dalam sejarah kita, seperti Istiqlal, Hotel Indonesia dan Sarinah, Islam, Kristen, dst.

Amerika harus respek dengan Indonesia karena banyak alasan. Sebagiannya sudah dijelaskan Obama dan kita bisa membaca dari banyak sumber. Tapi Obama adalah kasus yang unik karena ia adalah figur yang bisa mengkombinasi banyak hal, dan dengan modal itu pula dia sedang bertekad memajukan negerinya.

Yang bisa kita simpulkan dari uraian Obama adalah tentang optimisme. Ia menyadari bahwa perubahan tak bisa dicapai dengan pidato. Tapi ummat manusia pun punya kemampuan untuk memilih. Dalam konteks ini, Obama respek dengan Indonesia karena negeri ini adalah bangsa besar, antara lain karena punya tradisi kepahlawanan.

Dan pahlawan sejati adalah mereka-mereka yang berbuat untuk bangsanya dengan contoh-contoh nyata. Seperti itukah KITA saat ini dan ke depan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun