Basri Amin
Meskipun bencana demi bencana masih meliputi kita, tapi kita tak bisa mundur untuk menjadi bangsa yang berjiwa kerdil.
Indonesia adalah negeri besar. Di negeri inilah berbagai puncak peradaban pernah dicapai oleh manusia dalam sejarahnya. Bagaimana hal itu pernah ada, dan mestinya terus ada? Karena tradisi perjumpaan dan penciptaan pernah dikerjakan dan tumbuh subur di negeri ini. Bangsa ini didirikan dengan cita-cita dan etos besar, bukan oleh jiwa-jiwa kerdil dan manusia-manusia picik hati.
Apa bukti perjumpaan itu? Bukankah Indonesia, pada awalnya adalah kata Asing, tepatnya bahasa Latin, Indus dan Nesioi (kata jamak dari Nesos), yang artinya gugusan pulau-pulau yang terletak antara daratan China dan Persia; yang populer disebut Hindia ketika itu. Sebutan ini dipakai oleh penjelajah Eropa awal, yang kemudian dipopulerkan tahun 1884 oleh seorang dokter, etnolog dan antropolog Jerman dari Universitas Berlin, Adolf Bastian. Tapi Bastian bukanlah yang pertama menemukan kata Indonesia itu. Adalah James Logan-George Earl yang menggunakannya pertama kali (Indunesia, 1850) pada Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Vol. IV, 1850) (baca: Musim Gugur di Kubur "Penemu" Indonesia, majalah Tempo, 2 November 2008: 66-67). Oleh Bung Hatta dan teman-temannya di negeri Belanda, tepatnya tahun 1922, kata Indonesia dipakai sebagai nama dan cita-cita bangsa, melalui organisasi mereka "Perhimpunan Indonesia".
Dalam konteks ini, barangkali kita perlu mengingat ungkapan Tagore:
"…Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan itu berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus." Dalam bahasa Inggris, Tagore menggunakan kata distinction." Menurut Kleden, kata ini tak ada dalam bahasa Indonesia saat ini, dan mungkin juga dalam bangsa Indonesia (Kleden, 2008: 79).
Sebagai salah satu pusat perubahan-perubahan besar di dunia, Indonesia mestinya mampu kembali merebut sebuah martabat terhormat. Bukankah misalnya pemahaman dunia tentang sumber daya alam lahir dari negeri kita. Dari sebuah pulau kecil, di Ternate sana, Alfred Wallace menggoyah pemahaman Eropa tentang "seleksi alam", ketika surat panjang yang ditulisnya tahun 1858 tiba di Inggris (baca: Ternate Paper, Februari 1858).
Selama ini dunia banyak membicarakan kita, tapi kita sepertinya masih lemah "berbicara" kepada dunia. Tentang capaian-capaian kita, tentang konsistensi kita membangun kemakmuran rakyat, tentang sikap-sikap dan kebijakan negeri kita untuk lingkungan hidup dan pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan yang baik. Sepertinya, demokrasi politik -–yang tampaknya tidak akan pernah menjadi sistem yang sempurna itu—telah menyeret negeri kita kehilangan kapasitasnya untuk berkeringat, mencipta etos kerja, dan karakter kolektif, untuk masa depan bersama yang adil.
Mari kita merenung sejenak. Sebenarnya, berapa banyak diantara kita yang sungguh-sungguh bekerja?
Bekerja dengan hurup "B" besar. Bekerja dengan keringat, dengan dedikasi waktu, pikiran, dan tenaga. Kesan saya, yang banyak kita produksi adalah posisi, organisasi dan kapitalisasi, dan bukan eskalasi produktifitas.
Kita butuh penyegaran di mana-mana. Kita butuh kepemimpinan baru: Kepemimpinan yang lebih interaktif dan visioner –yang konsisten memobilisasi cita-cita, nilai-nilai, dan transformasi gagasan dan institusi--; dari pada kepemimpinan posisional yang basisnya adalah semata sandaran legalitas-administratif, organisasi, dan mobilisasi massa dan uang an sich.