Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imam Mahmud dan Ceramahnya

29 April 2022   15:12 Diperbarui: 29 April 2022   15:21 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak dari depan, rumah Imam Mahmud sangat sederhana/dokpri

Ketika seorang muslim hendak berkurban. Kambing yang dicari. Bahkan, kisah Nabi Ibrahim. Ketika hendak berkurban. Atas perintah Tuhan yang maha kuasa. Nabi Ismail digantingkan kambing. Atas kisah itu. Kambing merasa lebih bermanfaat dari Anjing.

Sementara si Monyet. Hanya diam. Raut wajahnya yang hitam itu. Berubah jadi pucat pasi. Monyet merasa tidak berguna. Apalagi untuk manusia. Bahkan, kadang jadi musuh. Jika merusak lahan pertanian. Tidak sedikit monyet diburu. Dan ditembak mati.

Di tengah kebingungan itu. Dan penuh tekanan-- Anjing dan Kambing. Monyet berpikir. Apa gerangan yang dapat membuatnya tidak kalah. Hingga ditemukanlah ide gila itu. Maka dengan penuh rasa bangga. Juga percaya diri. Monyet berdiri. Raut wajahnya kini cerah. Meski tetap hitam legam.

Monyet lalu berkata. Saya bersyukur kepada Tuhan yang maha kuasa. Saya bangga lahir dan hidup sebagai monyet. Bukan sebagai manusia-- tuan Anjing dan Kambing. Rela hidup dengan kemunafikan-- untuk kekuasaan. Hatinya busuk. Dan kata-katanya tidak dapat dipercaya.

Seketika itu pula. Anjing dan Kambing terhentak. Kata Imam Mahmud mengakhiri ceramahnya. Disambut penuh tawa seluruh jamaah. Seingat saya. Sepanjang ceramah itu. Tidak orang terkantuk-kantuk. Sebaliknya, semua tertawa. Tertawa kepada diri mereka sendiri.

Selain kerana ceramahnya. Imam Mahmud juga dikenal sangat sopan. Bahkan kepada orang yang lebih muda. "Iye ndi". "Iye Puang". Adalah kalimat yang tidak lepas dari mulutnya. Nada suranya juga sangat pelan. Saya berani bersaksi atas itu.

Sekalipun, saya tidak pernah. Mendengar suara keras Imam Mahmud. Suaranya yang pelan itu adalah ciri khasnya. Ketika mendengar suaranya. Tanpa melihat wajahnya pun. Saya dapat menebak dengan mudah. Bahwa itu Pak Imam Mahmud. Barangkali, orang di kampung pun sama.

Dan untuk hari ini. Selama belasan tahun berlalu. Saya tidak pernah menemui. Imam atau ustad. Atau pemuka agama seperti itu. Entah di kampung. Juga diperantauan di Makassar ini. Rasa-rasanya sulit menemukan yang sepadan. Atau setidaknya mendekati.

Jika tentang ilmu. Barangkali banyak yang melebihi Imam Mahmud. Tapi untuk yang lain. Sangat sulit ditandingi. Utamanya soal pelaksanaan isi ceramah. Dalam bentuk sikap dan tindakan. Rasanya tidak ada duanya. Hidupnya sederhana. Berkebun dan beternak ayam.

Tidak seperti para penceramah kondang. Hidup mewah dan bergelimang harta. Kendaraan Imam Mahmud hanya ada motor buntut tua. Seingat saya itu tidak pernah diganti. Mungkin itu juga yang dipakai. Ketika hadir di acara pernikahan saya. Tahun lalu.

Ada satu cerita. Cukup menarik bagi saya. Jika Imam Mahmud minta diganti. Dari posisinya sebagai Imam Kelurahan. Alasannya, cukup logis. Imam Mahmud tahu diri. Mau ada regenerasi. Tapi, warga menolak. Warga sangat mencintainya. Dan itulah beratnya menjadi Imam Mahmud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun