Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ade Armando Dihakimi

11 April 2022   19:15 Diperbarui: 11 April 2022   19:20 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ade Armando babak belur. (Antara Foto/ Galih Pradipta)-cnnindonesia.com 

Pekikan lailahaillallah terdengar. Serentak dari mulut orang-orangan marah itu. Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Kolak di depan saya tidak habis. Mau muntah rasanya. Ibu mertua saya. Sedang dari tadi memperhatikan. Menegur saya. "Kenapa tidak dimakan kolaknya?"

Saya terhentak. Lalu menenangkan diri. Video itu tidak dapat saya pikirkan. Bagaimana mungkin kalimat lailahaillallah dipakai sekejam itu. Merampas hak asasi orang lain. Dan membuatnya kehilangan darah.

Masih dalam video itu. Tampak sudah banyak orang. Mengelilingi Ade. Membantu menghalangi amarah orang-orangan. Semacam tamen manusia. Begitulah seharusnya. Lagian, apa bangganya menjadi suci. Jika mesti menista orang. Atau bahkan melukai. Sungguh itu tidak masuk akal.

Video lainnya. Ade sudah tampak berdiri. Dibopong bapak polisi-- dikiri dan dikanan. Ade tampak tak bisa bergerak. Ia berjalan tapi tergopoh-gopoh. Rambutnya basah-- mungkin keringat. Atau juga siraman ludah orang-orangan marah tadi.

Terlihat celana Ade sudah hilang. Tersisa celana dalamnya. Itu juga tidak karuan-- kasian. Sudah banyak bapak polisi yang mendampingi. Mereka juga kena marah. Hantaman dan tendangan melayang. Tidak membalas. Hanya lari. Dari kerumunan orang-orangan itu.

Saya tahu Ade. Sangat licin. Kasusnya yang diduga menista agama tidak jalan --di kepolisian. Ade memang sering melawan arus. Terutama soal nalar-nalar pikirnya. Tentang agama. Sebagian orang tidak suka. Jika boleh jujur. Saya pun tidak suka.

Tapi bukan berarti saya harus membenci. Lalu mencaci. Apalagi memukul dan melukai. Tidak. Saya tidak ingin begitu. Main hakim sendiri sangat sulit bagi saya. Biarkan proses hukum itu berjalan. Jika toh macet di tengah jalan. Ada jalur lain. Telah disediakan konstitusi.

Ini juga seharusnya jadi pelajaran. Kepada bapak-bapak polisi. Jika menangani satu kasus. Harus adil. Dan terbuka kepada publik. Jika kasus di SP3 harus disampaikan terbuka. Lalu memberi pelajaran kepada pelapor. Juga kepada warga. Bukankah salah satu tugas bapak polisi-- melindungi dan mengayomi.

Disisi lain. Ade juga mesti instrospeksi diri. Atau paling tidak bercermin. Tentang sikap dan prilakunya selama ini. Mungkin apa yang disampaikan baik. Tapi ketika cara. Atau metodenya tidak tepat. Sesuatu yang baik itu akan ditangkap lain. Apalagi jika warga yang kurang literasi. Ditambah lagi, penuh amarah.

Ketika saya posting video Ade di story. Banyak yang berkomentar. Ada yang senang. Ada juga bilang kasian. Itu semua hak. Dan baiknya ditempatkan pada porsinya masing-masing. Agar seimbang. Tidak miring ke kiri. Atau miring ke kanan.

Bukankah hidup memang demikian. Terlalu kiri rasanya tidak enak. Mau kemana-mana rasanya tidak tenang. Terlalu ke kanan juga tidak enak. Pertanggungjawabannya susah. Lagian, semua sikap. Semua kata. Semua tindakan. Akan kembali kepada pemiliknya-- diri sendiri. Begitu juga dengan Ade. Dan kali mungkin waktunya.

#akumencintaimu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun